INI tanggapan saya untuk artikel Aguk Irawan MN "Ketika Puisi Mengalienasi Kita", Kompas, Sabtu (5/9/2009). Aguk Irawan bilang saat ini kita (saya jadi ingat kalimat pembawa acara Ruben Onsu: Kita? Lo aja kali, gue nggak!") menyaksikan puisi ini dalam nasib yang paling getir. Gejalanya? Buku puisi tak laku, penerbit menolak menerbitkan puisi, rubrik puisi di beberapa surat kabar ditutup.
Kenapa "kegetiran" itu terjadi? Ini jawaban Aguk: (karena) "...puisi-puisi mutakhir kita justru jadi semakin elite dan eksklusif. Bahasa dan diksinya semakin njelimet, sukar dipahami."
Juga karena: "...Mereka (penyair Indonesia, maksudnya) sepertinya terjebak dalam romantisisme atau labirin lirisisme klasik yang terpaku pada keindahan dan tema-tema ”abadi” yang kehilangan konteks kekiniannya.
Akibatnya? Mereka (masih penyair itu, maksudnya) terasing dari peristiwa-peristiwa penting yang terjadi tak jauh kakinya berpijak. Peristiwa memilukan, suara terbungkam dan kesengsaraan yang membutuhkan puisi sebagai mikrofon dari suara hati mereka.
Aguk merindukan puisi-puisi ini bernasib seperti puisi Hamzah Fansuri yang berasal dari Aceh abad ke-16 dan ke-17 masih berpengaruh pada puisi transendental masa kini.
Ia juga membayangkan puisi Indonesia seperti puisi-puisi karya Chairil Anwar, yang katanya, turut membakar semangat kebangsaan dan kemerdekaan. Ia juga ingin melihat lagi sajak-sajak seperti sajak Rendra yang katanya tak bisa dinafikan ikut mendorong perubahan politik di negeri ini.
Pokoknya Aguk ingin meyakinkan kita bahwa puisi Indonesia itu memprihatinkan nasibnya. Siapa yang harus bertanggung jawab? Yang pertama, kata Aguk, adalah para penyair sendiri.
"Bukankah tingkat apresiasi masyarakat terhadap puisi itu ditentukan kualitas sebuah puisi?" tanya Aguk, "Jika puisi bisa merebut hati masyarakat, rasanya nasib puisi tak akan telantar."
Demikianlah, sebuah kecemasan sudah dipaparkan. Siapa yang bertanggung jawab sudah ditunjuk hidungnya. Dan sebuah jalan keluar pun sudah ditawarkan. Sekarang, mari kita menjawab Aguk. Sebagaimana dia ajak di akhir artikelnya itu.
***
Karena Chairil juga dijadikan contoh oleh Aguk, untuk menunjukkan bahwa lewat dia, puisi pernah tidak terasing dari pembaca, maka saya juga ingin menunjukkan kenyataan lain soal Chairil.
Sampai meninggal, (ini perlu dicek lagi, tapi rasanya memang) Chairil tidak pernah menerbitkan bukunya sendiri. Maka, jalan puisi Chairil untuk sampai ke pembaca yang paling sering adalah lewat majalah-majalah dan surat kabar yang terbit pada saat itu. Kalau kesulitan menerbitkan buku puisi ini dianggap sebuah kegetiran, maka sebenarnya nasib puisi sejak dulu ya memang getir.
Di buku Nasjah Djamin "Hari-hari Terakhir Sang Penyair" disebutkan ada guru di Medan yang mengecam Chairil Anwar karena sajak-sajaknya dianggap merusak bahasa. Sajak Chairil saat itu tidak dimengerti. Sajak Chairil memakai istilah Aguk: elite, njlimet dan susah dimengerti!
Lima tahun setelah Chairil meninggal, Asrul Sani menulis: ... Sajak-sajaknya yang dulu hanya dikenal oleh segolongan kecil, sekarang dikenal oleh golongan yang lebih luas. Tetapi, Asrul mencatat kecemasan, sebab para pengagum Chairil - lima tahun setelah ia meninggal - hanya menjadi epigon yang tidak tahu di mana letaknya prestasi penyair ini yang terbesar. Sekali lagi, sajak Chairil, bahkan sesudah disukai orang banyak pun, tetap saja tidak dimengerti.
Sepanjang tahun 1945, Chairil hanya menulis tiga sajak, yaitu 'Kepada Penyair Bohang', 'Lagu Siul', dan 'Malam'. Tiga sajak itu bukan sajak perjuangan. 'Lagu Siul' adalah sajak yang ditulis ulang dari sajak 'Tak Sepadan' (1943). Kenapa Chairil tidak menulis sajak tentang proklamasi kemerdekaan peristiwa besar itu? Kalau ini dianggap sebagai keterasingan penyair dari 'masalah aktual' maka betapa terasingnya Chairil, bukan?
Chairil menulis banyak pada tahun 1946. Setahun itu dia menulis 15 sajak. Ini periode proktif kedua setelah tahun 1943 di mana pada tahun itu dia menulis 33 sajak. Tetapi, sajak-sajaknya yang ia tulis di tahun 1946 itu juga bukan sajak-sajak perjuangan. Pada tahun itu ia menulis banyak sajak lirik. Ia menulis dalam bentuk tetap soneta, kwatrin terbaiknya pada masa itu.
Sepanjang waktu menyairnya, sajak-sajak Chairil yang kalau mau dianggapi bisa meniup-niup api perjuangan hanya ada empat: 'Diponegoro' (1943), 'Siap Sedia' (1944), 'Persetujuan dengan Bung Karno' (1948), dan sebuah sajak saduran yang hebat 'Krawang Bekasi' (1948).
Chairil tidak jago dan tidak betah menulis sajak yang harus dibaca dengan mengacungkan kepalan tangan. Sajak-sajak terbaiknya adalah sajak lirik, dengan 'tema abadi' itu. Maka, kalau kini Aguk bilang bahwa sajak lirik dan tema-tema romantis itu menjebak penyair, dan mengasingkan dari tema 'kekinian' maka sebenarnya Chairil sendiri sudah terjebak juga. Ia terasing dari tema kekiniannya saat itu yaitu Penyataan Kemerdekaan yang kita tak perlu berdebat betapa bernilai peristiwa itu. Aneh juga ya, kenapa Chairil tidak tergoda untuk menyajakkannya?
***
Saya hanya ingin bilang, bahwa lirisisme yang buruk memang bisa menjebak. Tapi, jangan salahkan lirisisme kalau penyair terasing dari kekinian. Yang dicemaskan Aguk adalah pilihan tema sajak. Aguk ingin mengajak penyair menulis tema-tema aktual, mungkin tragedi lumpur Lapindo itu, mungkin teror bom bunuh diri itu, mungkin soal pemilu. Mungkin Aguk membayangkan harusnya lebih banyak sajak-sajak pamflet yang ditulis, seperti pamfletnya Rendra yang ramai muatan kritik yang menghantam penguasa yang tak beres itu, dan "mendorong perubahan politik" itu.
Aguk mungkin memang mengharapkan lebih banyak penyair yang menyajakkan "..peristiwa memilukan, suara terbungkam dan kesengsaraan yang membutuhkan puisi sebagai mikrofon dari suara hati mereka".
Saya ingin lagi mengajak kita belajar pada sajak-sajak Chairil. Berapa banyakkah karyanya yang menyajakkan peristiwa memilukan? Yang menyaringkan suara terbungkam? Yang menjadi mikrofon bagi kesengsaraan? Sedikit sekali. Chairil sibuk dengan sajak-sajak yang mengurusi kemalangan perkasihannya, kerisauan jiwanya berhadap-hadapan dengan Tuhan. Chairil terutama adalah seorang penulis sajak lirik yang hebat.
Jasa terbesar Chairil saya kira adalah semangatnya mencari dan menemukan cara ucap yang khas, yang baru dan terus-menerus membaru. Sajak Chairil kini terasa tak pernah lampau. Ia seperti ditulis pada zaman kita ini. Bandingkan dengan bahasa sajak-sajak Balai Pustaka yang terasa amat kuno itu. Artinya, bukan pencarian dan keunikan atau kekinian tema yang terutama kita teladani dari Chairil. Chairil melakukan perombakan bahasa, dan inilah yang justru dirisaukan Aguk sebagai kerja "seni untuk seni" itu.
Jadi, jangan salahkah lirisisme itu. Itu adalah jiwa sajak. Ia tidak bertentangan dengan tema apapun. Sajak-sajak Wiji Thukul yang banyak menggarap tema yang disebutkan Aguk, sesungguhnya banyak yang ditulis dalam bait-bait yang amat liris. Wiji menguasai lirisme dan memakainya untuk menggarap tema-tema yang disebutkan oleh Aguk itu. Sekali lagi, lirisme bukanlah si tertuduh! Lirisisme tidak serta-merta mengasingkan penyair dari tema-tema terkini.
Kalau Aguk menandai bahwa kini bahasa dan diksi puisi kita semakin njelimet, dan sukar dipahami, maka yang harus disalahkan adalah si penyairnya sendiri, yang kalau memakai istilah Sutardji Calzoum Bachri memang hanya bermodal bakat yang dangkal. Lalu, mereka pun menempuh jalan sajak yang semu: menulis sajak rumit dan sukar dipahami bahkan oleh mereka sendiri. Ditambah lagi kemalasan untuk mendalami betapa luas kemungkinan yang bisa digali dari dunia puisi itu. Itu saya kira yang tengah terjadi, itulah jebakan itu! Dan ada beberapa penyair terbaik kita saya kira sudah menyadari dan berhasil berkelit dari jebakan itu.
***
Lalu kenapa buku puisi tidak laku? Apakah kita harus risau karena itu dan menganggap ini sebagai kegetiran nasib puisi? Saya kira tidak perlu. Sebab saya pikir ini adalah ranah industri perbukuan. Sampai kapanpun saya kira, buku puisi tidak akan pernah terjual laku selaris buku resep masakan Ibu Sisca Suwitomo atau buku serial penggugah jiwa suntingan Mark Victor Hansen dan kawan-kawan. Tidak akan pernah!
Kondisi ini kalau mau dicari perbandingannya adalah seperti musik klasik atau musik sastra (pakai istilah Ananda Sukarlan) dan musik dangdut atau musik rock. Pertunjukan musik sastra itu tak akan pernah ditonton puluhan ribu orang di sebuah stadion, seperti konser dangdut atau rock. Apakah kita lantas bilang bahwa musik sastra itu nasibnya getir dan terasing dari masyarakat? Lantas tidak harus dimainkan karena tidak menyuarakan kemalangan orang banyak?
Puisi mungkin seperti kue tar. Ia bukan makanan pokok. Jadi jangan dibandingkan dia dengan nasi uduk. Apakah kue tar itu harus dianggap sebagai makanan yang terasing dari masyarakat banyak, dan karena itu tidak perlu dibuat dan para juru masak harus memasak nasi uduk saja sebanyak-banyaknya?
***
Tidak ada apresiasi puisi kalau tidak ada puisi. Tidak ada kritik puisi kalau tidak ada puisi. Apresiasi puisi adalah perayaan atas puisi-puisi yang baik. Kritik puisi adalah peta yang meletakkan dengan jelas di mana tempat untuk sajak yang baik, mana sajak yang buruk.
Saya bukan kritikus. Saya adalah penikmat puisi. Saya kira, banyak sekali puisi Indonesia saat ini yang pantas dirayakan. Saya kira puisi-puisi Indonesia saat ini menunggu juru peta yang baik, yang tekun, bukan juru peta gadungan. Puisi-puisi Indonesia saya kira tidak terlalu memerlukan seorang sekadar komentator, seperti yang diperankan Aguk lewat artikelnya itu.
"Bukankah tingkat apresiasi masyarakat terhadap puisi itu ditentukan kualitas sebuah puisi?" tanya Aguk, "Jika puisi bisa merebut hati masyarakat, rasanya nasib puisi tak akan telantar."
Lihatlah itu komentar Aguk. Ia menuntut sajak yang berkualitas. Apa yang menentukan kualitas sebuah sajak? Banyak hal - seperti bagaimana perangkat puitika diberdayakan, dan bagaimana struktur batin dan fisik puisi ditata oleh penyair - dan tentu saja tidak hanya tema (tema hanya salah satu dari penentu kekuatan puisi) "yang tak terasing dari kekinian" seperti yang Aguk paparkan.
Ketika hati masyarakat terebut oleh sebuah sajak yang membela mereka, apakah itu sebuah apresiasi, dan nasib puisi lalu terselamatkan? Saya kira tidak! Sutardji pernah mengkritik Rendra dengan keras. Katanya, ketika Rendra menulis pamflet (yang tema-temanya menyuarakan jerit hati nurani rakyat), maka di kala itu, berhentilah dia sebagai penyair! Dengan kata lain Sutardji mau bilang bahwa yang ditulis Rendra adalah sajak yang kualitasnya buruk!
Seperti para penikmat sajak di Indonesia, saya membaca dan menulis sajak. Saya banyak menulis sajak. Saya menulis tentang bermacam-macam tema. Saya tak membatasi diri. Sajak-sajak saya, saya tampilkan di blog saya, belakangan juga di facebook. Ada yang serta-merta memantik komentar pembaca dan artinya sajak saya itu dibaca. Ada yang saya kirim ke surat kabar. Ada yang dimuat ada yang tidak. Ketika ada kesempatan sajak saya saya bukukan. Laku? Buku pertama habis, cetaknya cuma seribu eksemplar, saya sedang berusaha untuk mencetaknya lagi. Buku kedua? Sedang terpajang di toko-toko. Lakukah? Saya tahu beberapa orang mencari, membeli dan menyukai buku itu.
Apakah sajak saya terasing dari masyarakat? Saya kira tidak, tapi memang tak banyak yang membaca sajak di dunia ini, bukan? Dan memang tidak perlu semua orang di dunia ini membaca dan menyukai sajak, bukan?
Saya tak bisa memaksa orang banyak untuk menykai sajak-sajak saya, sebagai mana saya juga tak dipaksa untuk menulis sajak, dan memilih tema apa saja yang ingin saya sajakkan. Saya yakin mereka yang tertindas nasibnya, yang termiskinkan oleh sistem tidak adil di negeri ini, mereka yang diamnya disuarakan oleh sajak-sajak Wiji Thukul, mereka itu tidak membaca sajak Thukul. Salahkah Thukul menulis sajak itu? Tentu tidak.
Ah, mungkin bukan jawaban seperti ini yang diinginkan Aguk.***