TAPI aku hanya punya kata: "takut", 
"pedih", "kabur", dan "sia-sia". Sajak 
apa yang bisa ditulis dari kata-kata itu? 
Bait apa yang bisa dibuat dalam sebuah 
sajak cinta, yang memuat kata "takut"? 
Mungkin begini: aku takut membaca
kata yang kutahu itu adalah namamu,
karena semakin lama aku melihat
huruf-hurufnya, aku seperti melihat
huruf-huruf itu berubah menjadi
bentuk-bentuk aneh, musykil, ganjil,
seperti huruf dari aksara asing,
yang aku tak tahu bagaimana harus
membacanya. Masihkah itu namamu? Atau
itu kata-kata peringatan? Atau ancaman? 
Aku tak tahu, dan itu sebabnya aku
merasa takut...
* 
Lalu bagaimana dengan kata "pedih"?
Aku ingin menelepon M Aan Mansyur. 
Aku kira dia sangat tahu arti kata 
itu, dan dia paling lihai memakai 
kata itu dalam sajak-sajaknya. Tapi, 
pukul 11.28 malam, dan wilayah waktu 
kami berselisih dua jam, sudah sangat 
larut  waktu hanya untuk mempercakapkan 
bagaimana memakai sebuah kata "pedih" 
untuk sebuah sajak cinta. 
Lagi pula aku teringat satu bait 
sajaknya: Cinta adalah jatuhnya reranting 
kering,  untuk setumbuh tunas yang 
mungkin... Bait yang saya petik dari 
sajaknya "Cinta Adalah" dalam buku 
"Hujan Rintih-Rintih". 
Tak ada kata "pedih" dalam petikan itu. 
Tapi, terasa ada pedih yang cukup pedih 
di larik itu. Betapa jatuh daun adalah 
sebuah pasti, sementara tumbuh tunas 
yang diuntukkannya, adalah sebuah mungkin 
yang hanya. 
Jadi, aku kira, kata "pedih" yang kupunya
juga tak cukup bagiku untuk menulis sebuah
sajak cinta malam ini. 
* 
"Kabur" sesungguhnya adalah kata yang 
baik. Ia bisa berarti samar, bisa pula 
berarti pergi tanpa izin. Ini kutulis 
begitu saja tanpa melihat kamus. Tapi, 
karena tadinya malam ini aku ingin 
menuliskan sebuah sajak cinta, dan aku 
sangat tidak siap untuk itu, aku lalu 
terbawa pada sebuah bait sajak W.S. Rendra
penyair yang saat kutulis sajak ini, 
belum lagi 40 hari wafatnya. 
Aku pergi dan kakiku adalah hatiku.Sekali 
pergi menolak rindu. Ada duka, pedih dan 
air mata biru, tapi aku menolak rindu.
Aku tak bisa lepas dari bait yang amat 
kuat, dari sajak "Lagu Angin", dalam buku 
"Empat Kumpulan Sajak" itu. Ini bait 
tentang kepergian? tentang keinginan untuk 
berpisah? Tentang rindu yang dipastikan 
akan ada? Tapi si "aku" dalam sajak itu 
(ah betapa bodohnya) merasa bisa menolaknya? 
Kata-kata dalam petikan larik itu, begitu 
sederhana, tapi ia digubah dengan sempurna,
sehingga menciptakan lapisan metafora, 
jalinan makna, yang tak habis-habisnya kutafsirkan 
sendiri, malam ini, di sini.
Dahsyatnya! Dahsyatnya! Aku berdaya, 
sekaligus begitu tak berdaya dibuatnya. 
Serasa aku jadi akan bisa membuat bait 
yang sebertenaga itu, tetapi tidak malam 
ini, malam aku matikata!
*
Aku percaya tak ada yang sia-sia, itu
sebabnya, kata "sia-sia" juga tak mampu
kusajakkan malam ini, untuk sebuah sajak
cinta yang ingin kutulis. 
Aku ingat, aku pernah membaca membaca
sajak Gus tf (begitulah memang namanya
ditulis, dengan tf kecil). Sajak yang
judulnya "Kita Pernah". Ini bukan 
tentang kesia-siaan, ini tentang bagaimana
sebuah pernah dimakna, walau hanya sebagai 
sebuah, ah... aku petikkan saja dulu bait
sajak dari buku "Sangkar Daging" itu: 
tapi kita pernah berkenalan. berulangkali  
kaukunjungi aku, sebagai aduh dari kepedihan.
Lihat, perkenalan, kunjungan, yang 
berulang kali, mungkin bisa jadi sia-sia
karena beban yang ada dalam pertemuan itu, 
justru menjadikan sebuah sakit, sebuah 
perih. Tapi, itulah yang membuatnya tak 
jadi sia-sia: ada sesuatu yang bisa
disebagaikan, meskipun itu adalah sebuah
"aduh dari kepedihan"! Tak sia-sia bukan?
Ya, malam ini tadinya aku ingin 
menulis sebuah sajak cinta. Ya....