Sunday, September 6, 2009

Sajak Apa Ini!

TIDUR di kamar - akuarium sangkar malam,
lapar sekali ikan-ikan mimpi, mematuki
mata-kosongku, memasuki masa-kosongku

dari perut-perut ikan itu, mata-mataku
melihat sendiri pada gelisah tubuhku dan
gelak kisah waktu: selimut koyak itu.

Apa yang tetap aku pada lelaki lelap itu?



*

Siapa yang menjaga di jendela? Sepasang
burung hantu, yang lama puasa memangsa,
ikan-ikan tak menggiurkan lapar cakarnya.

Lagi lupa, apa enaknya sepotong mimpi?

Mereka pun tak mau mata-kosongku yang tak
pernah memejam di lambung ikan itu, akan
bisa melihat aku dari perutnya: nanti
gelisah tubuhku tentu akan sangat berbeda.

Aku tadi ingin mimpi apa sebenarnya?

*

Aku terbangun dengan lapar yang asing.

Mataku masih menyimpan ikan-ikan. Berenang
dalam airmata yang tak pernah kutangiskan.

Jendela kosong. Aku tahu tadi ada sepasang
burung hantu di situ, matanya mengincar
ikan di genangan mataku. Harusnya, di jendela
itu tidak ada bulan, agar sempurna kekosongan.

Harusnya di luar itu juga tidak ada hujan.

*

Apa yang bisa kumakan? Mimpi sendiri?

Di kulkas, botol-botol berisi jerit cairan,
dingin sekali, dan luka-luka dalam kaleng
awetan. Beku? Tidak, mana mau darah itu
mengental, darah yang rindu tertetes, tercecer,
seperti pada mekar luka segar yang aku petik
dulu di tamanmu, untuk kesematkan di tubuhku.


*

Aku kini menduga, sepasang burung hantu itu
adalah ayah dan ibuku. Dulu mereka menakut-nakuti
aku agar aku lekas tidur, sebelum mereka pergi
berburu. Ayah, Ibu, kalau benar aku anakmu,
di mana dulu sarang tempat kalian erami aku?

Aku hanya ingin tahu pesan apa yang tertulis
di cangkang yang tak sempat kubaca itu. Mungkin
ada semacam manual takdir yang harus kujalani?

*

Kalau aku menangis, ikan di dalam mataku pasti
ada yang terperangkap ke luar. Di kulkas ada
garam. Dengan sedikit luka di pangkal sisiknya,
kukira cukup nikmat rasa pedih itu untuk kusantap,
sekedar penahan laparku. Lagi pula dari perutku
sendiri, mungkin aku bisa lain melihat diriku.