KITA PADA SELEMBAR MORI
Sajak Liza Samakoen
Hidup hanyalah selembar mori yang terbentang di atas lantai dingin, sebelum takdir menggoreskan warna-warna.
Dan betapa nyeri menunggu seseorang yang kau cinta; entah tersembunyi pada wiru yang mana, entah tersangkut serat suratan takdir.
Ingatkah kau kalimat terahir yang dituliskanNya sebelum lenganNya berhenti membentuk wiru-wiru pada selembar mori: bahwa kisah kita cuma serat yang tak beraturan ~ di sana.
SAJAK bagi saya juga seperti rumusan-rumusan filsafat yang praktis dan mengundang permenungan. Kebenaran-kebenaran sederhana yang diabaikan, jadi terasa indah ketika dihadirkan dalam sajak.
Sajak di atas, yang dihasilkan dalam satu ‘poem session’ di sebuah grup Blacberry Messenger, adalah sajak pada sejenis seperti disebut di alinea pertama ulasan ini.
Penulis sajak di atas berhasil memanfaatkan tiga kata kunci: wiru, mori, dan serat dengan luwes. Hasilnya adalah sebuah sajak yang sangat utuh.
Utuh, artinya, ada satu tema yang kuat yang segera terasa setelah lewat sepembacaan, yaitu kepasrahan pada takdir, atau pengakuan pada kuasa Tuhan.
Pada sisi lain, kebulatan tema itu berhasil dibentangkan dalam jejeran imaji yang dibangun berlapis-lapis, saling timpa, saling susul, saling melengkapi, juga saling mengingkari.
Saya kasih satu contoh: yang dilipit atau diwiru itu adalah kain batik bukan? Bukan mori, kain putih yang belum diproses jadi batik?
Di bait akhir, wiru itu justru disebutkan ada pada mori. Ini pengingkaran yang keren. Dan ia menciptakan peluang pemaknaan kepada pembaca.
Apalagi ketika dibikin metafora bahwa hidup - dengan segala kisahnya - seperti serat yang tak beraturan. Apa selembar kain adalah selembar kain jika seratnya berantakan?
Menarik. Sungguh menarik. Dengan kata lain: pelik. Itu yang bikin sajak ini tak selesai dalam sekali baca. Ia menuntut kita mengulang lagi dengan ikhlas.