MALAM itu saya dan Furqon Elwe makan malam di Plaza Soto, Pekanbaru. Restoran dengan desain minimalis modern ini menawarkan berbagai jenis soto - ini paduan yang agak bertabrakan – termasuk satu jenis soto bernama: Soto Pekanbaru! Sahabat saya Furqon yang lahir besar di Pekanbaru pun baru tahu kalau kotanya punya sejenis sotonya sendiri. Kami memilih menu tersebut. Soto Pekanbaru adalah genre baru soto berkuah santan kental, seperti Soto Kediri atau Soto Betawi. Berbeda dengana genre soto lain yang berkuah bening nonsantan: Soto Kudus misalnya, atau Soto Banjar – favorit saya.
Yang membedakan Soto Pekanbaru dengan soto lain adalah taburan amplang yang mengapung, sejenis panganan kerupuk bulat dengan rasa udang. Ini pengamatan fisik. Harus dilakukan investigasi lebih jauh pada divisi bumbu, apakah soto ini menggunakan racikan khusus yang dirahasiakan.
Sebenarnya, bukan Soto Pekanbaru yang kami cari di Plaza Soto malam itu. Kami ingin melihat, di situ, bagaimana sebuah komunitas stand up comedy tumbuh, sehingga Pekanbaru sekarang bisa disejajarkan dengan kota lain. “Open mic-nya nanti, malam Sabtu,” kata Pramusaji, “tapi kalau mau ketemu bisa aja, itu mereka sedang kumpul.” Saya melihat arah yang ditunjuk olehnya, ke pojok dekat meja kasir. Di sana sekelompok anak muda, sibuk dengan gadget masing-masing sambil mengobrol dan nonton siarang langsung Seorang tengah berkonsentrasi dengan tablet.
Open mic adalah acara terbuka. Di situ siapa saja boleh datang menjajal kemampuan mengocok perut, ber-stand up comedy. Dari situlah biasanya muncul bakat-bakat comic - ini istilah lain dari stand up comedian, atau singkatnya ya komedian saja. Jika ia tampil rutin di open mic, maka jalan akan terbuka untuk menjadi komedian perofesional.
Setelah siaran sepakbola selesai, saya dan Furqon bergabung ke meja para komedian penggerak stand up comedy Pekanbaru tersebut. Segera saja perbincangan kami menghangat oleh tawa yang berpecahan. Saya mengenalkan diri sebagai orang yang ingin belajar pada mereka. Eh, mereka malah menganggap saya guru yang turun gunung. Mereka memang lucu.
“Kami mulai dengan open mic, ya di sini ini,” kata Indra, yang oleh kawan-kawannya diperkenalkan sebagai kepala suku. Indra adalah sosok anak muda berbadan besar, menandakan kemakmuran.
“Waktu itu kita mulai dengan open mic di sini. Itu panggungnya,” kata Indra. Ia menunjuk ke bidang di kanan restoran itu. Ada sedikit panggung meninggi dengan latar belakang lembaran digital print bergambar tiang mikropon dan mikroponnya, serta tulisan “viva la komtung”. Ini plesetan dari ucapan masyhur “viva la comedia”. Komtung adalah singkatan dari komedi-tunggal. Di situ juga ada tanda tangan para komedian, dan akun twitter @standupindo_PKU.
Di panggung itulah setiap malam Sabtu, komedian-komedian lokal Pekanbaru bergiliran tampil. Sekarang, kata Indra, ada sekitar 25 orang yang sudah dianggap jadi. Setiap malam Sabtu pengunjung memadat. Komunitas dan penikmatnya sudah terbina dengan baik. Mereka bahkan sudah berhasil menggelar acara komersil di ballroom sebuah hotel besar dan berhasil. Kepada kami ditunjukkan foto-foto acara mereka. Full tawa!
“Waktu itu kami mengundang Ernest, Mongol, dan Mo Sidik,” kata Indra. Tiga nama itu adalah komedian profesional yang kini mulai dapat tempat, dan punya harga. Indra menyebut angka yang berbeda antara harga komersil dan harga kegiatan komunitas. Saya menghitung dengan tampil dua kali seminggu di acara komersil, para komedian itu sudah sangat makmur.
Ketika komedian yang disebut Indra tadi adalah segelintir nama yang dibesarkan televisi. Ya, televisi sudah cukup membantu membuat stand up comedy mewabah di Indonesia. Dari Jakarta, komunitasnya merebak ke berbagai kota. Saya dan beberapa orang kawan di Batam sedang mengupayakan agar seni komedi ini juga bisa tumbuh dengan baik. Anda ingin ikut bergabung? Hubungi saya di akun twitter @haspahani atau @standupBTM.
Indra dan kawan-kawan sudah mulai bergerak sejak November tahun lalu. Setiap komik dari Jakarta yang punya acara di Pekanbaru mereka culik untuk memberi workshop. Biasanya, kata Indra, mereka dengan sukarela membantu. Dari situlah kemampuan para komik lokal tumbuh. “Besok siang,” kata Indra, “ada stand up show di kampus.” Ia menyebut salah satu kampus di Pekanbaru yang sudah hidup juga komunitas komediannya.
Selain televisi, stand up comedy juga terbantu oleh merebaknya penggunaan twitter. Semua komik identik dengan akun twitternya masing-masing. Pengumuman open mic atau stand up show juga bisa dilakukan dengan sangat efektif lewat media sosial ciptaan Jack Dorsey tersebut. Komunitas-komunitas tersebut juga mengikat diri dengan satu akun twitter, seperti @stanupindo_PKU tadi.
***
Apa bedanya stand up comedy alias komedi tunggal dengan lawak. Pada dasarnya keduanya sama saja. Tujuannya satu: menghibur penonton dengan membuat perutnya terkocok dengan kelucuan-kelucuan si penampil.
Seorang stand up comedian tidak tampil sebagai badut. Ia tampil rapi, bahkan parlente, karena bukan kekurangan atau ekplorasi fisik yang diandalkan untuk mengilik-ngilik urat tawa penontonnya. Ada juga yang tampi dengan alat bantu, atau kostum seadanya untuk menyesuaikan dengan tema yang ingin dibawakan.
Seorang komedian mengajak penonton berpikir dengan mengutak-atik logika. Itu bisa dilakukan lewat serangkaian cerita humorik, atau lelucon pendek, atau kalimat pendek yang kelucuannya langsung menohok yang disebut one-liner alias lelucon-sebaris-kalimat. Rangkaian dan racikan semua itu, disebut monolog, atau routine, atau act. Di Inggris, pada abad ke-18 dan 19, pertunjukan stand up comedy sudah merebak. Mereka tampil gedung konser. Mungkin sebagai selingan dari acara musik. Beberapa nama dari masa itu kini menjadi legenda stand up comedy di negeri itu. Lalu pertunjukan ini dapat tempat khusus di klub-klub komedi.
Apakah ada akarnya pertunjukan sejenis ini di Indonesia? Saya ingat seorang pemadihin di kampung saya nun di Kalimantan Timur sana. Anton Badri nama kerennya. Ia bisa dibilang sampai saat ini, Allah memberinya umur panjang, adalah satu-satunya tukang madihin di kampung kami. Madihin adalah seni bertutur dengan iringan rebana. Kisah, atau pesan disampaikan dengan lagu bernotasi khas dan yang penting adalah lucu. Di Batam saya pernah melihat penampilan sepasang tukang Madihin dari Tembilahan, namanya Horman dan Asni. Umumnya madihin dibawakan oleh seorang penampil tunggal. Saya yakin, di beberapa subkultur kita seni pertunjukan sejenis bisa ditemukan.
Saya sangat ingin melihat seni pertunjukan stand up comedy bisa tumbuh subur di Batam. Kota yang ‘keras’ dan ‘kaku’ struktur sosialnya, harus dilemeskan dengan seni pertunjukan yang berfungsi bak pelumas, mengurangi gesekan-gesekan yang bisa bikin panas. Saya percaya, seni pertunjukan stand up comedy ini bisa kita gunakan untuk tujuan itu. Siapa mau bergabung, menjajal jadi komedian? Saya tunggu.