Wednesday, March 28, 2012

[Kolom] Labia Sebuculans


SAYA berkumis. Adasebutan keren untuk orang berkumis: labia sebuculans, sebagaimana judul kolom ini. Itu adalah istilah latin yang arti harafiahnya kira-kira: pemakai sweater bibir! 

Kalau ada yang bertanya, kenapa saya berkumis, saya tak tahu. Tentu ada penjelasan ilmiah kenapa di beberapa bagian tubuh lelaki ditumbuhi rambut, yang kalau TKP-nya di antara hidung dan bibir atas dinamakan kumis itu.

Adasejenis hormon yang bertanggung-jawab pada pengaturan produksi sel jantan, memperberat suara dan termasuk menumbuhkan rambut-rambut di kawasan 'cagar alam'. Jika hormon itu tak ada atau kadarnya kurang, pada seorang lelaki, maka terbukti lelaki tersebut klimis. Itu juga yang terjadi pada perempuan.


Saya kira-kira mulai menemukan kumis melebat di wajah saya ketika berusa di awal 30 tahun. Sebelumnya hanya selapis rambut lembut yang tipis. Tentu saja saya tidak kaget, ketika tumbuh lebih lebat dan lebih tebal rambut di wajah saya. Soalnya, ayah saya - sebagaimana tujuh saudara laki-lakinya - berkumis juga.

Saya pikir ada untungnya juga berkumis. Saya memperhatikan penampilan penyanyi legendaris Iwan Fals. Pada usia 20-an ia kelimis. Memasuki usia 30-an, antara lain bisa kita lihat pada sampul album Mata Dewa dia punya kumis baplang. Dengan kumis itu, Iwan tampak gagah. Ditambah lagi rambutnya yang gondrong keriting. Penampilan seperti itu bertahan hingga usia 40-an tahun.

Memasuki usia setengah abad, sebagaimana kita lihat sekarang, ketika uban mulai mendominasi rambutnya, Iwan membersihkan wajahnya dari kumis, merapikan lagi rambutnya. Dengan manajemen penampilan seperti itu, Iwan Fals jadi 'awet muda'. Ini manajemen penampilan yang baik, dan tak ada salahnya saya meniru dia. Maka, inilah salah satu alasan kemudian, kenapa saya berkumis: meniru Iwan Fals supaya pada usia 50-an nanti tampak tak terlalu tua.

Komentar terbaik soal kumis saya saya dengar dari ibu mertua saya. "Meneruk-nerukkan diri," katanya dengan bergurau. Artinya, sengaja menjelek-jelekkan diri sendiri. 


*

DI Amerika ada semacam institut perkumisan. Nama lengkapnya American Mustache Institute (AMI). Tujuannya satu: melawan diskriminasi terhadap orang-orang berkumis, terutama di Amerika.

Urusan kumis ternyata tidak sesederhana soal malas bercukur atau menghemat silet. Ini juga berkaitan dengan politik. Sesudah Perang Dunia ke-2, yang dimenangi oleh Amerika dan sekutunya, pamor kumis dan pria berkumis mulai anjlok. Soalnya, lawan yang dikalahkan adalah negara-negara sekutu yang salah satu pemimpinnya berkumis, yaitu Adolf Hitler sang pemimpin Jerman.

Jika soalnya adalah kumis Hitler, sebenarnya ada riwayat sahih, yang bisa menyelamatkan harkat kumis. Hitler punya alas an mencukur habis kumisnya. Dalam satu serangan, Hitler dikabarkan terhirup gas racun syaraf. Kumis Hitler semula melenting tajam juga ala orang Prusia, mungkin seperti kumis pelukis Salvador Dali.  Setelah serangan itu, Hitler harus memakai masker. Kumis kebanggaanya ternyata menghalangi masker tersebut dari posisi pemasangan yang paling aman.

Pilihan bagi Hitler: cukur kumis atau jiwa terancam karena gas racun? Hitler menawar, bagaimana kalau ujung-ujungnya saja yang dipotong? Kisah itu, akhir kita tahu kini menjadi sejarah.  Hitler pun terkenal selain dengan tangan besinya, juga dengan kumis khasnya. Model kumis itulah yang kemudian menjadi olok-olok oleh Charlie Chaplin, sineas komedi Amerika yang melegenda dengan film-film bisunya. Kumis serupa juga dicontek oleh Jojon, dan Asmuni, dua dari sekian nama pelawak terbaik kita.

Sekejatuhan Hitler, maka tentara-tentara Amerika sejak saat itu memangkas habis kumis dan mencitrakan itulah 'wajah baru Amerika'. Segera saja model itu merebak ke seluruh lelaki Amerika.  Dalam deretan nama presiden Amerika, pun hanya ada sedikit  yang berkumis, di antaranya Theodore Roosevelt dan terakhir William Howard Taft. Setelah itu semuanya klimis, hingga Barack Obama sekarang ini.

Kumis juga jadi simbol musuh Amerika ketika Amerika memulai perang dingin dengan Rusia kala dipimpin oleh Joseph Stalin (yang berkumis subur) dan Kuba yang juga diperintah oleh presiden berkumis, yaitu Fidel Castro. Kumis ternyata amat politis!

Perjalanan kumis di Amerika tampaknya memang tak mulus. Ada masa-masa ketika wajah dengan kumis seperti aktor Burt Reynold menjadi momentum penting mengembalikan kejayaan kumis. Lalu, pada masa lain Presiden John F Kennedy turun tangan menggunakan otoritasnya memangkas kumis dari wajah seluruh pria Amerika.

Secara sangat serius Kennedy menggalakkan kampanye wajah bersih Amerika, yang artinya 'say no to kumis". Ini antara lain dilakukan dengan menyebarkan hasil survei (yang entah valid atau tidak) yang mengatakan bahwa pria tanpa kumis, rata-rata 38 persen lebih ganteng dibandingkan pria yang berkumis. Saya kira, kalau ibu mertua saya ada di Amerika saat survei itu dilaksanakan, beliau pasti termasuk yang berpendapat dalam 38 persen itu.

AMI berdiri di tahun 1965 berkaitan dengan puncak perlawan terhadap pajak kumis. Ya, pajak kumis!  Pada tahun itu di Amerika lewat sebuah pemungutan suara yang a lot pemerintah akhirnya  mengesahkan pencabutan Undang-Undang tentang Amandeman Pajak Kumis Federal yang dinilai diskriminatif terhadap orang hitam yang kebanyakan berkumis, dan lebih luas lagi kepada orang berkumis, apapun warna kulitnya.  

Inti dari adalah setiap pria berkumis maka padanya dikenakan pajak tiga  persen dari pendapatan tahunan. Bukan itu saja, Bung. Apabila istri si pria berkumis tadi juga tampak seperti berkumis – mungkin kita harus membayangkan Iis Dahlia – maka ada tambahan pajak lagi dua persen. Mungkin ini semacam Pajak Pertambahan Kumis. 

Agar diskrimasi tak berulang, maka berdirilah AMI, yang digagas oleh Dr. Schnurrbart Snor. Ia yang popular dengan nama Dr Snor  adalah orang pertama  yang menerima sertifikat ahli ilmu perkumisan alias Mustacheology  dariCity Collegeof Newark. Saya tak tahu ini kira-kira setingkat apa, apakah sejenjang S1 atau S2. Saya tak tahu apakah dosen-dosen pengajar dan mahasiswanya berkumis semua.

Dr Snor sendiri  tentu saja berkumis, tipis dan rapi. Ya, tidak setebal kumis Tom Selleck. Model kumisnya yang cukup ampuh untuk melawan kesan bahwa kumis adalah jorok pada saat itu dan terlebih lagi dengan kesan rapid an gantengnya itu, dia mempersenjatahi diri untuk memulai perjuangannya  menghapuskan pajak kumis di Amerika

Dr. Snor pada masa-masa awal gerakannya bersama AMI juga mengadvokasi  atlet renang Mark Andrew Spitz agar tetap bisa berkumis sementara sang atlet mempersiapkan diri untuk Olimpade 1968. Spitz yang kumisnya kira-kira mirip aktor Dr Fadli menyumbangkan banyak medali emas untuk Amerika. Ia juga memegang 30 rekor dunia, dan menjadi perenang terbaik dunia tiga kali.  Terbukti: kumis sama sekali tak menghambat prestasi, bahkan dicabang renang sekalipun.

 “…Pertumbuhankumis adalah salah satu solusi untuk memperbaiki penampilan  orang Amerika menjadi lebih baik. Mengurangi keburukan!" kata Dr Snor, yang mungkin dengan kata lain ia mau bilang, bahwa kelimis itu culun! Hidup Kumis! ***