ADRIENNE Rich, 28 Maret 2012 lalu, meninggal pada usia 82 tahun di rumahnya. Dia adalah pelopor penyair dan esais feminis terkemuka di Amerika. Karya-karya amat banyak dikutip, dibahas, dan diantologikan. Saya kira nama dan sajak-sajaknya tak banyak dibaca di Indonesia. Saya meski selintasan ada membaca namanya, tak terlalu tertarik untuk membaca karya-karyanya. Bukan karena kualitasnya (tentu saja sajak-sajaknya amat bermutu), tapi karena selera saja. Saya terjemahkan satu sajaknya. Ini adalah sajak ke-2 dari rangkaian 21 Sajak Cinta. Selamat menikmati.
21 Sajak Cinta
II.
AKU terbangun di kamarmu. Dan tersadarkan, mimpi itu baru saja. Terlalu lekas, alarm jam memisah-leraikan kita, dari kita, sudah berjam-jam aku duduk di meja kamarmu. Aku tersadarkan, itu tadi mimpi apa: sahabat baik kita, penyair itu, berkunjung ke kamarku kamar yang telah berbilang hari aku menulis di situ, kertas draf, karbon, sajak-sajak berserakan, di mana-mana, dan aku ingin tunjukkan padanya satu sajak, bait-bait kehidupanku. Tapi lalu aku menggamang, dan terbangun. Engkau mengecupi rambutku dan aku terbangun. Aku bermimpi bahwa engkau adalah sajak, Aku katakan, engkau sajak yang ingin kutunjukkan pada seseorang... dan aku tertawa, lalu bermimpi lagi tentang keinginanku menunjukkan engkau pada siapa saja yang aku cintai, kita membuka-menyatakan cinta kita bersama dalam sentak-hentak gravitasi, yang tak sederhana, yang membawa bulu-bulu rerumputan jauh jatuh ke udara yang tak ternafaskan.
SAYA berkumis. Adasebutan keren untuk orang berkumis: labia sebuculans, sebagaimana judul kolom ini. Itu adalah istilah latin yang arti harafiahnya kira-kira: pemakai sweater bibir!
Kalau ada yang bertanya, kenapa saya berkumis, saya tak tahu. Tentu ada penjelasan ilmiah kenapa di beberapa bagian tubuh lelaki ditumbuhi rambut, yang kalau TKP-nya di antara hidung dan bibir atas dinamakan kumis itu.
Adasejenis hormon yang bertanggung-jawab pada pengaturan produksi sel jantan, memperberat suara dan termasuk menumbuhkan rambut-rambut di kawasan 'cagar alam'. Jika hormon itu tak ada atau kadarnya kurang, pada seorang lelaki, maka terbukti lelaki tersebut klimis. Itu juga yang terjadi pada perempuan.
Saya kira-kira mulai menemukan kumis melebat di wajah saya ketika berusa di awal 30 tahun. Sebelumnya hanya selapis rambut lembut yang tipis. Tentu saja saya tidak kaget, ketika tumbuh lebih lebat dan lebih tebal rambut di wajah saya. Soalnya, ayah saya - sebagaimana tujuh saudara laki-lakinya - berkumis juga.
Saya pikir ada untungnya juga berkumis. Saya memperhatikan penampilan penyanyi legendaris Iwan Fals. Pada usia 20-an ia kelimis. Memasuki usia 30-an, antara lain bisa kita lihat pada sampul album Mata Dewa dia punya kumis baplang. Dengan kumis itu, Iwan tampak gagah. Ditambah lagi rambutnya yang gondrong keriting. Penampilan seperti itu bertahan hingga usia 40-an tahun.
Memasuki usia setengah abad, sebagaimana kita lihat sekarang, ketika uban mulai mendominasi rambutnya, Iwan membersihkan wajahnya dari kumis, merapikan lagi rambutnya. Dengan manajemen penampilan seperti itu, Iwan Fals jadi 'awet muda'. Ini manajemen penampilan yang baik, dan tak ada salahnya saya meniru dia. Maka, inilah salah satu alasan kemudian, kenapa saya berkumis: meniru Iwan Fals supaya pada usia 50-an nanti tampak tak terlalu tua.
Komentar terbaik soal kumis saya saya dengar dari ibu mertua saya. "Meneruk-nerukkan diri," katanya dengan bergurau. Artinya, sengaja menjelek-jelekkan diri sendiri.
*
DI Amerika ada semacam institut perkumisan. Nama lengkapnya American Mustache Institute (AMI). Tujuannya satu: melawan diskriminasi terhadap orang-orang berkumis, terutama di Amerika.
Urusan kumis ternyata tidak sesederhana soal malas bercukur atau menghemat silet. Ini juga berkaitan dengan politik. Sesudah Perang Dunia ke-2, yang dimenangi oleh Amerika dan sekutunya, pamor kumis dan pria berkumis mulai anjlok. Soalnya, lawan yang dikalahkan adalah negara-negara sekutu yang salah satu pemimpinnya berkumis, yaitu Adolf Hitler sang pemimpin Jerman.
Jika soalnya adalah kumis Hitler, sebenarnya ada riwayat sahih, yang bisa menyelamatkan harkat kumis. Hitler punya alas an mencukur habis kumisnya. Dalam satu serangan, Hitler dikabarkan terhirup gas racun syaraf. Kumis Hitler semula melenting tajam juga ala orang Prusia, mungkin seperti kumis pelukis Salvador Dali. Setelah serangan itu, Hitler harus memakai masker. Kumis kebanggaanya ternyata menghalangi masker tersebut dari posisi pemasangan yang paling aman.
Pilihan bagi Hitler: cukur kumis atau jiwa terancam karena gas racun? Hitler menawar, bagaimana kalau ujung-ujungnya saja yang dipotong? Kisah itu, akhir kita tahu kini menjadi sejarah. Hitler pun terkenal selain dengan tangan besinya, juga dengan kumis khasnya. Model kumis itulah yang kemudian menjadi olok-olok oleh Charlie Chaplin, sineas komedi Amerika yang melegenda dengan film-film bisunya. Kumis serupa juga dicontek oleh Jojon, dan Asmuni, dua dari sekian nama pelawak terbaik kita.
Sekejatuhan Hitler, maka tentara-tentara Amerika sejak saat itu memangkas habis kumis dan mencitrakan itulah 'wajah baru Amerika'. Segera saja model itu merebak ke seluruh lelaki Amerika. Dalam deretan nama presiden Amerika, pun hanya ada sedikit yang berkumis, di antaranya Theodore Roosevelt dan terakhir William Howard Taft. Setelah itu semuanya klimis, hingga Barack Obama sekarang ini.
Kumis juga jadi simbol musuh Amerika ketika Amerika memulai perang dingin dengan Rusia kala dipimpin oleh Joseph Stalin (yang berkumis subur) dan Kuba yang juga diperintah oleh presiden berkumis, yaitu Fidel Castro. Kumis ternyata amat politis!
Perjalanan kumis di Amerika tampaknya memang tak mulus. Ada masa-masa ketika wajah dengan kumis seperti aktor Burt Reynold menjadi momentum penting mengembalikan kejayaan kumis. Lalu, pada masa lain Presiden John F Kennedy turun tangan menggunakan otoritasnya memangkas kumis dari wajah seluruh pria Amerika.
Secara sangat serius Kennedy menggalakkan kampanye wajah bersih Amerika, yang artinya 'say no to kumis". Ini antara lain dilakukan dengan menyebarkan hasil survei (yang entah valid atau tidak) yang mengatakan bahwa pria tanpa kumis, rata-rata 38 persen lebih ganteng dibandingkan pria yang berkumis. Saya kira, kalau ibu mertua saya ada di Amerika saat survei itu dilaksanakan, beliau pasti termasuk yang berpendapat dalam 38 persen itu.
AMI berdiri di tahun 1965 berkaitan dengan puncak perlawan terhadap pajak kumis. Ya, pajak kumis! Pada tahun itu di Amerika lewat sebuah pemungutan suara yang a lot pemerintah akhirnya mengesahkan pencabutan Undang-Undang tentang Amandeman Pajak Kumis Federal yang dinilai diskriminatif terhadap orang hitam yang kebanyakan berkumis, dan lebih luas lagi kepada orang berkumis, apapun warna kulitnya.
Inti dari adalah setiap pria berkumis maka padanya dikenakan pajak tiga persen dari pendapatan tahunan. Bukan itu saja, Bung. Apabila istri si pria berkumis tadi juga tampak seperti berkumis – mungkin kita harus membayangkan Iis Dahlia – maka ada tambahan pajak lagi dua persen. Mungkin ini semacam Pajak Pertambahan Kumis.
Agar diskrimasi tak berulang, maka berdirilah AMI, yang digagas oleh Dr. Schnurrbart Snor. Ia yang popular dengan nama Dr Snor adalah orang pertama yang menerima sertifikat ahli ilmu perkumisan alias MustacheologydariCityCollegeof Newark. Saya tak tahu ini kira-kira setingkat apa, apakah sejenjang S1 atau S2. Saya tak tahu apakah dosen-dosen pengajar dan mahasiswanya berkumis semua.
Dr Snor sendiri tentu saja berkumis, tipis dan rapi. Ya, tidak setebal kumis Tom Selleck. Model kumisnya yang cukup ampuh untuk melawan kesan bahwa kumis adalah jorok pada saat itu dan terlebih lagi dengan kesan rapid an gantengnya itu, dia mempersenjatahi diri untuk memulai perjuangannya menghapuskan pajak kumis di Amerika
Dr. Snor pada masa-masa awal gerakannya bersama AMI juga mengadvokasi atlet renang Mark Andrew Spitz agar tetap bisa berkumis sementara sang atlet mempersiapkan diri untuk Olimpade 1968. Spitz yang kumisnya kira-kira mirip aktor Dr Fadli menyumbangkan banyak medali emas untuk Amerika. Ia juga memegang 30 rekor dunia, dan menjadi perenang terbaik dunia tiga kali. Terbukti: kumis sama sekali tak menghambat prestasi, bahkan dicabang renang sekalipun.
“…Pertumbuhankumisadalah salah satusolusi untukmemperbaiki penampilan orang Amerika menjadi lebih baik.Mengurangikeburukan!" kata Dr Snor, yang mungkin dengan kata lain ia mau bilang, bahwa kelimis itu culun! Hidup Kumis! ***
HIDUP itu sederhana: Engkau membuat beberapa karya. Ada yang gagal. Ada yang berhasil. Engkau membuat lebih banyak karya yang berhasil . Kalau karyamu yang berhasil itu menjadi karya besar, akan ada orang lain yang meniru. Lalu engkau membuat sesuatu yang lain lagi. Siasatnya adalah bagaimana kita membuat sesuatu yang berbeda itu ~ Leonardo da Vinci.
ADA seekor ular berdiam dalam tiap buah apel yang dulu kita yang menanam.
Ini sudah musim panen, di kebun liar kita. Kita masygul, kenapa semakin lebat kecemasan?
Kita tak berani memetik.
Juga tak berani memungut yang jatuh. Karena tak ada lagi, di tangan, tempat untuk sakit yang lain. Jejak sepasang taring jadi luka-luka. Tak akan kering.
Hati akan jadi keranjang kosong yang kita seret pulang. Kita sepasang petani, berselisih jalan di jalan ke rumah yang berbeda alamat dan arah.
MENGUTIP bait atau baris sajak lain di awal sajak kita sendiri, kadang bisa dengan sangat bagus menguatkan sajak kita sendiri. Kutipan sajak lain di awal sajak, bisa dengan cepat membawa pembaca ke suasana yang dimaukan oleh penyair. Sajak di bawah ini dimulai dengan satu kutipan yang kebetulan mirip sekali dengan satu baris sajak Chairil "Pembarian Tahu". Lengkapnya begini: Kupilih kau dari yang banyak, tapi sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring. Sementaranya, Hyde Asmarasastra, penyair yang sajaknya kita bahas kali ini menulis: kupilih kau dari yang lain.
Tapi, sesungguhnya, bukan itu yang ingin kita bahas. Paragraf di atas anggap saja bonus. Kita ingin membahas satu bentuk sajak bernama ode. Ode adalah satu varian dari sajak liris. Ode dalam sajak klasik adalah sejenis sajak formal, sajak dengan bentuk yang tertib dan tetap. Ode dalam sajak modern, tak lagi harus terikat dengan aturan baku, tetapi bentuk batinnya tetap, yaitu berisi pujian, pengagungan. Karena itu lazimnya ode ditulis untuk seorang pahlawan, raja, atau tokoh besar.
Pablo Neruda mempermainkan ode dengan sangat berhasil, ketika ia menulis serangkaian ode untuk benda-benda remeh-temeh. Inilah 'kenakalan' Neruda, sajak yang biasanya ditulis untuk orang besar, ia gunakan untuk benda-benda kecil, seperti bawang putih, bawang merah, apel, barang-barang rusak, garam, ikan tuna, tomat, pakaian yang belum disetrika, dan lain-lain. Saya tak tahu adakah ini dengan ideologi politiknya. Kita tahu, dia adalah anggota kongres Chile dari partai Komunis.
Hyde menulis ode untuk guling. Bagi saya sajak ini berhasil menjadi sajak yang baik, karena ia bisa jadi apa saja. Pertama, dia adalah ode yang baik, tapi juga tak penting lagi ia mau disebut ode atau tidak, karena batin sajaknya sendiri sudah melampaui bentuk tetap itu.
Kedua, si penulis sajak ini berhasil menghidupkan sajak - ini jurus personifikasi - menjadi sosok yang bukan lagi benda mati. Tapi, sampai pada level itu, tak lagi penting itu adalah guling benda mati teman bantal itu, ataukah hanya metafora dari seseorang yang perangainya seperti guling, dan itu sebabnya si penulis sajak "memilih dia dari yang lain". Ia butuh seseorang yang mengerti, menampung, memahami, mengisi kosong jiwanya.
Ketiga, setelah pembacaan kesekian kalinya, saya makin tak yakin sebenarnya yang bicara itu aku si penulis sajak, ataukah aku yang guling. Bagi saya, jika ini sajak diberi judul "Monoloh Sebuah Guling", pun tak jadi masalah, dan saya sangat bisa menerima, dengan penerimaan yang sama hormatnya, ketika diberi judul sebagaimana penyair menjudulinya. Yang terbaca di tubuh teks sajak ini bisa juga dianggap keluh-kesah di guling itu sendiri, sebagai metafora dari apapun guling itu. Nah, saya semakin lebay, ada baiknya saya berhenti, dan mari kita baca saja sajaknya.
Ode bagi Guling
Sajak Hyde Asmarasastra
: kupilih kau dari yang lain
Sebab hanya dadamu yang sudah menamatkan erat pelukan dari kulit keras badanku menampung dan menimbang lorong hitam menggigil ini
sebab hanya jantungmu yang rela mengasihi denyut retakan dari sulit napas hidungku menjelajahi dan memisahkan lendir kental mengeras ini
sebab hanya tubuhmu yang mampu membuntuti letih pertanyaan dari gerit bebal kepalaku menjawab dan menahan gosong diam mengganjil ini
tapi sebab hidup yang begitu jenuh adalah sebab paling pasti yang memeram ode kosong di kalbu ini.
Seusai Memperagakan Diri yang Lain Sajak Raditya Nugie
: Erie Prasetyo
seusai melangkah di punggung panggung, seusai memperagakan diri yang lain, kita terjebak dalam ruang: percakapan panjang.
gaun kembang, cuma memenjara betis yang ragu.
ada sisa cahaya di dinding, ada bayangan beranjak naik. dan cermin itu, cermin di sudut lain itu, menampakkan jalan menuju diri.
Jakarta, 2012
ADA dua kalimat kunci yang membuat sajak di atas menjadi kuat. Pertama, ‘seusai memeragakan diri yang lain’. Kedua, ‘menampakkan jalan menuju diri’. Ibarat sel hidup, dua kalimat itu menjadi inti sel pemaknaan sajak ini.
Sajak ini ditulis berdasarkan selembar fotograf. Foto beberapa pemeraga busana, seusai atau sebelum tampil. Kata kunci sajak ini: punggung, betis, cahaya di dinding, dan gaun kembang.
Saya memilih membahas sajak ini, dari beberapa sajak lain yang sama baiknya, sebab ia bisa lepas dari fotograf yang menjadi titip tolak penulisannya. Kita di dalam sajak itu, bisa saja dianggap sebagai kita yang bukan para pemeraga busana itu.
Secara luas saya memaknai sajak ini dengan kalimat begini: kita sering lupa diri sendiri, atau sengaja menjadi orang lain dengan sengaja. Lalu kita sibuk bicara, yang hanya memerangkap, tak membebaskan, apalagi menemukan siapa kita sebenarnya.
Lalu, bait akhir itulah kunci kekuatan makna sajak ini: ada cermin - tempat atau kesempatan untuk melihat diri sendiri - yang tak disadari keberadaannya, padahal itulah jalan menuju diri.[]
Hidup hanyalah selembar mori yang terbentang di atas lantai dingin, sebelum takdir menggoreskan warna-warna.
Dan betapa nyeri menunggu seseorang yang kau cinta; entah tersembunyi pada wiru yang mana, entah tersangkut serat suratan takdir.
Ingatkah kau kalimat terahir yang dituliskanNya sebelum lenganNya berhenti membentuk wiru-wiru pada selembar mori: bahwa kisah kita cuma serat yang tak beraturan ~ di sana.
SAJAK bagi saya juga seperti rumusan-rumusan filsafat yang praktis dan mengundang permenungan. Kebenaran-kebenaran sederhana yang diabaikan, jadi terasa indah ketika dihadirkan dalam sajak. Sajak di atas, yang dihasilkan dalam satu ‘poem session’ di sebuah grup Blacberry Messenger, adalah sajak pada sejenis seperti disebut di alinea pertama ulasan ini.
Penulis sajak di atas berhasil memanfaatkan tiga kata kunci: wiru, mori, dan serat dengan luwes. Hasilnya adalah sebuah sajak yang sangat utuh.
Utuh, artinya, ada satu tema yang kuat yang segera terasa setelah lewat sepembacaan, yaitu kepasrahan pada takdir, atau pengakuan pada kuasa Tuhan.
Pada sisi lain, kebulatan tema itu berhasil dibentangkan dalam jejeran imaji yang dibangun berlapis-lapis, saling timpa, saling susul, saling melengkapi, juga saling mengingkari.
Saya kasih satu contoh: yang dilipit atau diwiru itu adalah kain batik bukan? Bukan mori, kain putih yang belum diproses jadi batik?
Di bait akhir, wiru itu justru disebutkan ada pada mori. Ini pengingkaran yang keren. Dan ia menciptakan peluang pemaknaan kepada pembaca.
Apalagi ketika dibikin metafora bahwa hidup - dengan segala kisahnya - seperti serat yang tak beraturan. Apa selembar kain adalah selembar kain jika seratnya berantakan?
Menarik. Sungguh menarik. Dengan kata lain: pelik. Itu yang bikin sajak ini tak selesai dalam sekali baca. Ia menuntut kita mengulang lagi dengan ikhlas.
SEBAGAI pencinta puisi, saya selalu dapat kejutan dari ingatan saya sendiri. Kejutan itu datang setiap tanggal 21 Maret. Itu adalah tanggal yang sejak 1999 ditetapkan Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) sebagai Hari Puisi Dunia.
UNESCO berharap, pada hari itu, dunia mengingat kembali peran puisi yang menyumbangkan keberagaman kreatif, dengan mempertanyakan lagi faedah kata dan segala hal-ihwal bagi kita, juga menggugat model-model persepsi dan pemahaman kita kepada dunia!
Mohon baca sekali lagi kalimat terakhir pada paragraf di atas. Tanda seru itu dari saya. Saya menerjemahkannya dengan seindah-indahnya dari apa yang dipaparkan UNESCO di laman web mereka. Ketika menuliskan itu saya membacanya berulang kali. Sedemikian itulah pentingnya peran puisi di mata para petinggi UNESCO kala itu. Jadi jangan heran kalau saya yang kadang berani juga menyebut diri sebagai penyair ini jadi besar kepala.
Ini penting. Maksud saya, besar kepala itu penting bagi seorang penyair, sebab menulis puisi bukanlah soal yang praktis di zaman yang menuntut segalanya serba praktis ini. Penulis puisi nyaris tak dapat imbalan berharga yang serta-merta diterima selepas ia menuliskan puisi terbaiknya.
Peran puisi di mata UNESCO relevan dengan apa yang dinyatakan oleh penyair Rida K Liamsi yang saya dengar kemarin. Katanya, apa yang dengan mudah menautkan kita yang hidup sekarang dengan abad 19 di masa-masa ketika Kerajaan Melayu Riau masih berdiri di Penyengat dahulu? Apa yang dengan amat dahsyat mengaitkan keunggulan kebudayaan Melayu dengan pusat-pusat kebudayaan dunia dulu dan sekarang? Sastra. Karya-karya Raja Ali Haji. Surat-suratnya dengan sahabat-sahabat asingnya. Atau kalau mau disebut dengan lebih khusus lagi, itu adalah sehimpun puisi bernama Gurindam Duabelas.
Menulis puisi adalah kerja yang dengan mudah bisa ditinggalkan. Itu sebabnya penyair adalah makhluk yang sangat minoritas. Padahal dengan peran pentingnya seperti yang disadari oleh UNESCO, menulis puisi bukanlah kerja yang sia-sia. Sejarah peradaban dunia ini telah menyenaraikan banyak bukti untuk membenarkan hal itu.
*
Apa yang harus dilakukan para Hari Puisi Dunia itu? Galakkanlah pembacaan, penulisan, dan penerbitan, serta pengajaran puisi di seluruh dunia. Atau dalam bahasa resmi UNESCO: berikanlah perkenalan dan dorongan yang segar bagi gerakan-gerakan puisi di tingkat mana saja, di level nasional, regional, maupun internasional. (Baiklah, UNESCO, saya mengikuti saran itu dengan menulis kolom ini saja. Cukup?)
"Di dunia yang terus-menerus berkembang, dunia dengan perubahan dan transformasi sosial yang cepat, para penyair punya tempat bersisian dengan gerakan masyarakat. Dan para penyair itu tahu bagaimana memberi peringatan tanda bahaya dari hati nurani kepada dunia yang tidak adil - seperti peran mereka yang baik dalam membuka mata untuk menghargai keindahannya," kata Direktur Jenderal UNESCO Irina Bokova.
Perempuan Bulgaria, 59 tahun itu, juga melihat potensi di teknologi pesan pendek dan penyebarannya di jaringan sosial, yang terbukti memberi nafas segar bagi kehidupan puisi, yang menyeronokkan kreativitas dan menyebarkan puisi dan syair. Hal itu, katanya, bisa membantu kita terlibat lebih penuh dengan dunia ini.
Aha, saya ingat sebuah akun Twitter termoderasi bernama @sajak_cinta. Para pengiringnya - jumlahnya lebih dari 77 ribu - kemarin juga ikut merayakan Hari Puisi Dunia dengan menggubah sajak yang dipersembahkan pada nama atau sosok besar. Maka sepanjang siang kemarin, bermunculanlah sajak-sajak yang merujuk pada Siti Jenar, Hemingway, Tagore, Armstrong, Rendra, Norah Jones, Pram, Afrizal, Du Fu, Rumi, Neruda, Basho, sampai Chairil. Keterbatasan karakter ternyata membuka kemungkinan kreatif yang tak berbatasan. Begitulah, puisi dirayakan, diberi perhatian, di tengah hidup yang amat sibuk ini.
*
Puisi adalah tawaran untuk berdialog. Puisi adalah ajakan untuk menyadari keberagaman. Di dunia yang dibangun dengan keberadan banyak hal ihwal yang beragam ini, dialog itu sangat penting. UNESCO meyakini, bahwa bahasa puisi dengan keluwesan asosiasinya, kekayaan metaforanya, dan tata bahasa yang hendak dibikin baru oleh penyair, adalah wajah lain untuk berdialog antar-kebudayaan.
Puisi memperkaya kemungkinan dialog itu. Puisi adalah aliran mahabebas bagi gagasan-gagasan melalui kata. Puisi adalah tantangan dan kemungkinan kreativitas yang tak berbatas. Puisi adalah inovasi yang tiada henti. Hari Puisi Dunia, sebagaimana disebutkan UNESCO, adalah undangan untuk berefleksi dalam kekuatan bahasa dan pengembangan sepenuhnya pada kesanggupan kreatif setiap manusia.
Sehebat itu? Ah, saya curiga, jangan-jangan para petinggu UNESCO itu adalah penyair? Jika tidak, mereka adalah orang yang amat menghargai puisi. Bukan sekadar membuat besar kepala para pecinta puisi seperti saya ini.
*
Adalah sebuah kebetulan belaka, Hari Puisi Dunia itu berimpit selang sehari dengan hari lahir Sapardi Djoko Damono, penyair besar kita yang banyak memberi inspirasi dan menjadi model dan modal beranjak bagi banyak penyair di negeri ini. Saya adalah salah satunya.
Buku puisi pertama yang saya beli adalah DukaMu Abadi, buku kumpulan puisi pertama Sapardi. Ini pertemuan yang tak terlupakan dan bikin saya jatuh cinta pada puisi, pada puisi Sapardi, dan juga pada sosok Sapardi itu sendiri. Saat itu saya masih kelas 1 SMA. Saya tidak mengerti, tapi saya terus-menerus digoda oleh puisi-puisi itu untuk membaca dan memaknainya. Dalam setiap kali pembacaan, kerap kali saya gagal. Atau melihat sesuatu yang samar di balik bait-bait yang terbentang bak labirin, meski dibentuk dengan pilihan kata-kata yang tak asing bagi saya kala itu. Tiap kali saya rasa inginmenyerah, maka saat itu juga puisi Sapardi di buku meningkatkan kadar rayuannya. Ah, puisi yang baik mungkin memang demikian, ia tak henti-hentinya menantang kita untuk memaknainya.
Saya beruntung kelak, sekian tahun kemudian, saya duduk di meja pembicara, dengan Sapardi di depan saya, dan kala itu saya menjadi salah satu dari dua pembahas puisi-puisinya. Sapardi membela hasil bacaan saya atas puisi-puisinya, ketika ada peserta diskusi yang menggugat pendapat saya. Malam itu, saya pun memenuhi undangan beliau untuk menginap di rumahnya yang penuh buku sastra.
"Selamat ulang tahun, Penyair. I love you full," kata saya lewat pesan pendek kepada Sapardi, tanggal 20 Maret kemarin. Tahun ini, penyair yang panjang umur, dan panjang pula nafas kreativitasnya itu berumur 72 tahun. Sapardi sampai hari ini masih menulis puisi. Sapardi - tak lama kemudian - membalas pesan pendek saya: "Terima kasih. I love you big!" Saya ingin menggunakan kalimat itu kepada Puisi.[]
MALAM itu saya dan Furqon Elwe makan malam di Plaza Soto, Pekanbaru. Restoran dengan desain minimalis modern ini menawarkan berbagai jenis soto - ini paduan yang agak bertabrakan – termasuk satu jenis soto bernama: Soto Pekanbaru! Sahabat saya Furqon yang lahir besar di Pekanbaru pun baru tahu kalau kotanya punya sejenis sotonya sendiri. Kami memilih menu tersebut. Soto Pekanbaru adalah genre baru soto berkuah santan kental, seperti Soto Kediri atau Soto Betawi. Berbeda dengana genre soto lain yang berkuah bening nonsantan: Soto Kudus misalnya, atau Soto Banjar – favorit saya.
Yang membedakan Soto Pekanbaru dengan soto lain adalah taburan amplang yang mengapung, sejenis panganan kerupuk bulat dengan rasa udang. Ini pengamatan fisik. Harus dilakukan investigasi lebih jauh pada divisi bumbu, apakah soto ini menggunakan racikan khusus yang dirahasiakan.
Sebenarnya, bukan Soto Pekanbaru yang kami cari di Plaza Soto malam itu. Kami ingin melihat, di situ, bagaimana sebuah komunitas stand up comedy tumbuh, sehingga Pekanbaru sekarang bisa disejajarkan dengan kota lain. “Open mic-nya nanti, malam Sabtu,” kata Pramusaji, “tapi kalau mau ketemu bisa aja, itu mereka sedang kumpul.” Saya melihat arah yang ditunjuk olehnya, ke pojok dekat meja kasir. Di sana sekelompok anak muda, sibuk dengan gadget masing-masing sambil mengobrol dan nonton siarang langsung Seorang tengah berkonsentrasi dengan tablet.
Open mic adalah acara terbuka. Di situ siapa saja boleh datang menjajal kemampuan mengocok perut, ber-stand up comedy. Dari situlah biasanya muncul bakat-bakat comic - ini istilah lain dari stand up comedian, atau singkatnya ya komedian saja. Jika ia tampil rutin di open mic, maka jalan akan terbuka untuk menjadi komedian perofesional.
Setelah siaran sepakbola selesai, saya dan Furqon bergabung ke meja para komedian penggerak stand up comedy Pekanbaru tersebut. Segera saja perbincangan kami menghangat oleh tawa yang berpecahan. Saya mengenalkan diri sebagai orang yang ingin belajar pada mereka. Eh, mereka malah menganggap saya guru yang turun gunung. Mereka memang lucu.
“Kami mulai dengan open mic, ya di sini ini,” kata Indra, yang oleh kawan-kawannya diperkenalkan sebagai kepala suku. Indra adalah sosok anak muda berbadan besar, menandakan kemakmuran.
“Waktu itu kita mulai dengan open mic di sini. Itu panggungnya,” kata Indra. Ia menunjuk ke bidang di kanan restoran itu. Ada sedikit panggung meninggi dengan latar belakang lembaran digital print bergambar tiang mikropon dan mikroponnya, serta tulisan “viva la komtung”. Ini plesetan dari ucapan masyhur “viva la comedia”. Komtung adalah singkatan dari komedi-tunggal. Di situ juga ada tanda tangan para komedian, dan akun twitter @standupindo_PKU.
Di panggung itulah setiap malam Sabtu, komedian-komedian lokal Pekanbaru bergiliran tampil. Sekarang, kata Indra, ada sekitar 25 orang yang sudah dianggap jadi. Setiap malam Sabtu pengunjung memadat. Komunitas dan penikmatnya sudah terbina dengan baik. Mereka bahkan sudah berhasil menggelar acara komersil di ballroom sebuah hotel besar dan berhasil. Kepada kami ditunjukkan foto-foto acara mereka. Full tawa!
“Waktu itu kami mengundang Ernest, Mongol, dan Mo Sidik,” kata Indra. Tiga nama itu adalah komedian profesional yang kini mulai dapat tempat, dan punya harga. Indra menyebut angka yang berbeda antara harga komersil dan harga kegiatan komunitas. Saya menghitung dengan tampil dua kali seminggu di acara komersil, para komedian itu sudah sangat makmur.
Ketika komedian yang disebut Indra tadi adalah segelintir nama yang dibesarkan televisi. Ya, televisi sudah cukup membantu membuat stand up comedy mewabah di Indonesia. Dari Jakarta, komunitasnya merebak ke berbagai kota. Saya dan beberapa orang kawan di Batam sedang mengupayakan agar seni komedi ini juga bisa tumbuh dengan baik. Anda ingin ikut bergabung? Hubungi saya di akun twitter @haspahani atau @standupBTM.
Indra dan kawan-kawan sudah mulai bergerak sejak November tahun lalu. Setiap komik dari Jakarta yang punya acara di Pekanbaru mereka culik untuk memberi workshop. Biasanya, kata Indra, mereka dengan sukarela membantu. Dari situlah kemampuan para komik lokal tumbuh. “Besok siang,” kata Indra, “ada stand up show di kampus.” Ia menyebut salah satu kampus di Pekanbaru yang sudah hidup juga komunitas komediannya.
Selain televisi, stand up comedy juga terbantu oleh merebaknya penggunaan twitter. Semua komik identik dengan akun twitternya masing-masing. Pengumuman open mic atau stand up show juga bisa dilakukan dengan sangat efektif lewat media sosial ciptaan Jack Dorsey tersebut. Komunitas-komunitas tersebut juga mengikat diri dengan satu akun twitter, seperti @stanupindo_PKU tadi.
***
Apa bedanya stand up comedy alias komedi tunggal dengan lawak. Pada dasarnya keduanya sama saja. Tujuannya satu: menghibur penonton dengan membuat perutnya terkocok dengan kelucuan-kelucuan si penampil.
Seorang stand up comedian tidak tampil sebagai badut. Ia tampil rapi, bahkan parlente, karena bukan kekurangan atau ekplorasi fisik yang diandalkan untuk mengilik-ngilik urat tawa penontonnya. Ada juga yang tampi dengan alat bantu, atau kostum seadanya untuk menyesuaikan dengan tema yang ingin dibawakan.
Seorang komedian mengajak penonton berpikir dengan mengutak-atik logika. Itu bisa dilakukan lewat serangkaian cerita humorik, atau lelucon pendek, atau kalimat pendek yang kelucuannya langsung menohok yang disebut one-liner alias lelucon-sebaris-kalimat. Rangkaian dan racikan semua itu, disebut monolog, atau routine, atau act. Di Inggris, pada abad ke-18 dan 19, pertunjukan stand up comedy sudah merebak. Mereka tampil gedung konser. Mungkin sebagai selingan dari acara musik. Beberapa nama dari masa itu kini menjadi legenda stand up comedy di negeri itu. Lalu pertunjukan ini dapat tempat khusus di klub-klub komedi.
Apakah ada akarnya pertunjukan sejenis ini di Indonesia? Saya ingat seorang pemadihin di kampung saya nun di Kalimantan Timur sana. Anton Badri nama kerennya. Ia bisa dibilang sampai saat ini, Allah memberinya umur panjang, adalah satu-satunya tukang madihin di kampung kami. Madihin adalah seni bertutur dengan iringan rebana. Kisah, atau pesan disampaikan dengan lagu bernotasi khas dan yang penting adalah lucu. Di Batam saya pernah melihat penampilan sepasang tukang Madihin dari Tembilahan, namanya Horman dan Asni. Umumnya madihin dibawakan oleh seorang penampil tunggal. Saya yakin, di beberapa subkultur kita seni pertunjukan sejenis bisa ditemukan.
Saya sangat ingin melihat seni pertunjukan stand up comedy bisa tumbuh subur di Batam. Kota yang ‘keras’ dan ‘kaku’ struktur sosialnya, harus dilemeskan dengan seni pertunjukan yang berfungsi bak pelumas, mengurangi gesekan-gesekan yang bisa bikin panas. Saya percaya, seni pertunjukan stand up comedy ini bisa kita gunakan untuk tujuan itu. Siapa mau bergabung, menjajal jadi komedian? Saya tunggu.