MENULIS puisi, kata SCB, adalah upaya untuk mengutuhkan atau melengkapkan kemanusiaan dalam kesempurnaannya. Hebat benarkah upaya itu? Tidak. Upaya itu tak pernah akan berhasil, sebab manusia tak pernah sempurna. Tapi, itu tak sia-sia.
Kata pertama, bahasa pertama, barangkali sejenis puisi itu, belum jelas benar makna kala itu dan tiap orang memaknai sebisanya. Yang paling penting di situ adalah: kegembiraan mengucap! Tidak memaksa untuk didengarkan! Tidak meminta diperhatikan.
Kata seorang penyair, puisi membuka ke masa depan bahasa. Saya tak mengerti itu, tapi saya ingin percaya pada kalimat itu. Bahasa itu hidup. Ia bisa mati, sekarat, atau lelah. Puisi, kadang dalam wujud yg tak ingin tampak, memberi nafas segar pada bahasa. Itu sebabnya puisi berharga. Ia jadi cagar bahasa, suaka kata. Dan penyair harus jadi penjaga yang cermat! Bukankah bahasa itu ada jauh sebelum Ilmu Bahasa dilembagakan? Saya kira dulu bahasa dimulai dengan beberapa patah kata.
Para pemakainya bersepakat untuk menambah kata baru, terus-menerus, satu menawarkan, yang lain setuju, sesuai keperluan pengucapan. Benda, hal-ihwal, bagian tubuh diberi kata. Ada seseorang atau beberapa orang yang amat menonjol dalam soal ini, dia dipercaya oleh kelompoknya. Dia pada masa ini mungkin disebut pujangga itu.
Puisi, seakan mengekalkan proses awal itu. Kita memberi kata pada yang terlupa diucapkan, yang tak diberinama, pada yang sia-sia, pada yang seakan tak perlu bermakna. Puisi itu mengejar kemurnian. Tentu saja puisi itu mudah cemar. Mudah bernajis. Bisa diselundupi oleh banyak hal.
Dalam berucap, kadang tidak mudah untuk jujur. Puisi - dengan kelok-beloknya - memberi ruang, menawarkan jalan itu: jalan untuk jujur berucap. Puisi bukan untuk sembunyi, tapi menyingkap apa yang tersembunyi. Puisi bukan untuk menyamarkan, tapi memberi sandi pada yang rahasia. Kadang kita tak tahu harus mengucap apa, karena apa yang terasa amat asing. Puisi memberi cara untuk menyosokkan apa yang ganjil itu.[]