Wednesday, September 22, 2010

OPINI - Saat Sastra(wan) Jadi Komentator Lapangan

Misbahus SururMahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim

Permainan sepak bola efektif dan permainan alur cantik, mana yang lebih menarik? Jamak pengamat bilang, yang pertama barangkali representasi permainan Inter Milan di bawah kendali Jose Mourinho. Sedang yang kedua, lebih ke model permainan klub-klub Spanyol, terutama Barcelona di bawah tangan dingin Josep Guardiola.



Lalu, bagaimana aksi lapangan negara-negara peserta Piala Dunia tahun ini. Adakah permainan cantik, setidaknya, mampu dipelopori negara-negara bertabur bintang, semisal Brasil, Argentina, Spanyol, Italia atau Belanda? Ah, bukankah dalam pergelaran empat tahunan itu, model permainan cantik tak terlalu diminati atau bahkan tak pernah menjadi prioritas. Sebab, ketika sudah tiba hajatan paling akbar itu, yang mutlak dibutuhkan sebuah tim adalah kemenangan, bukan godaan bermain cantik. Permainan sepak bola Eropa, berikut tipe Amerika Latin di klubnya masing-masing, memang bisa kita akui sebagai cermin permainan kelas tinggi. Tapi, dalam Piala Dunia 2010 ini, berderet superioritas itu bukan jaminan untuk memainkan sepak bola indah, bukan?


Jika demikian halnya, bisa jadi, kita malah menonton hal-hal linear dan normatif belaka. Ringkasnya, tak pernah ada permainan yang memukau, trik-trik yang menarik, juga gocekan-gocekan cergas dan tangkas. Lebih lagi, tuntutan untuk bermain terbuka, di mana ketika peluit wasit ditiup, permainan bergulir tanpa beban apa pun yang dibawa pemain; beban patokan gol, keharusan memenangi pertandingan juga beban untuk bermain secara baik.

Sudahkah kita temukan secercah tarian bola indah pada diri Jabulani—nama bola resmi Piala Dunia di Afrika Selatan? Alih-alih, dalam sebuah tim dengan kualitas dan kalkulasi pemain di bawah rata-rata, misalnya, sekelas Afrika Selatan, Aljazair, Swiss ataupun Jepang, mereka harus mengintroduksi permainan cerdas: siasat dan perhitungan matang juga strategi yang jitu. Pendeknya, teknis belakalah yang harus diunggulkan. Entah terkait pola menyerang, pola pertahanan, pola untuk bisa mendapatkan suplai bola dan memasukkan bola ke jala lawan.

Selain hal-hal urgen di atas, sebuah permainan tentu sangat terikat dengan seperangkat aturan. Kelak, dari jalinan regulasi yang diterapkan wasit hingga realitas di lapangan itu, akan menuturkan cerita dan peristiwanya sendiri. Tak peduli di sana mengemuka fenomena yang lumrah-lumrah saja ataupun janggal. Toh, dari berbagai peristiwa itu nantinya akan ada yang dikenang, meskipun ada pula yang segera dilupakan. Pun sejumlah pemainnya bisa menjelma pahlawan kendati tidak sedikit yang menjadi pecundang. Yang jelas, ihwal yang menyertai pertandingan demi pertandingan tersebut akan semakin menggenapkan anggapan kita bahwa para manusia (lapangan) adalah sang homo ludens, makhluk yang suka bermain.

Tetapi, dari sekian permainan yang kerap dihelat, barangkali masih jarang yang memperhatikan bagaimana perasaan rumput dan bola di lapangan, juga bagaimana pikiran gawang dan benda-benda di stadion. Kalaulah ada yang mengajak kita merenungkan hal yang renik itu, mungkin cuma sedikit. Dan yang sedikit itu, termasuk penyair Hasan Aspahani (HA). Ya, di saat banyak peminat sepak bola biasa menikmati permainan lewat cerdasnya gocekan bola pemain, juga segala keindahan yang terpampang di sana.


Aspahani malah mengomentari benda-benda mati yang berserakan di lapangan. Seolah ia menahbiskan dirinya sebagai penyambung lidah benda-benda tak bernyawa itu. Lalu menghidupkan sebuah adegan di lapangan kata-kata, tak kalah meriah dari yang terhidang di lapangan bola. Sangat jadi, ini upaya Aspahani untuk mengintegrasikan tema-tema yang alpa digarap dan dieksperimentasi penyair-penyair lain. Lagi pula, benda-benda itu memang jarang ada yang mau mengomentari, apalagi menyelami keluh-kesahnya.

Dalam sajak Malaikat Penjaga Gawang, misalnya, sehabis pertandingan, si kulit bundar tertidur pulas dan bermimpi protes pada malaikat penjaga gawang: “Kenapa engkau halangi aku menyentuh jaring-jaring gawang itu? Kenapa setiap kali aku ada di dalam tenteram tanganmu, kau tendang lagi aku ke tengah-tengah lapangan untuk diperebutkan?”. Seperti seorang anak kecil, sang bola berkeluh, menandas-lunaskan segala yang dirasakan. Karena sejujurnya, ia ingin tenteram pulas di jala, tak ingin diperebutkan lagi. Sudah malas dikejar-kejar sekian puluh pemain, tiap kali pertandingan digelar. Tapi sungguh malang nasib sang bola, sia-sia ia bertanya dan berusaha membela diri karena keluhannya tak pernah dapat jawaban “karena” atau “sebab”.

Pada sebuah pertandingan penutup (final), seharusnya tak ada kata imbang karena yang diharapkan masing-masing tim adalah kemenangan. Kemenangan di sini dalam arti siapa yang paling banyak memasukkan bola ke gawang lawan, bukan pada tingginya ball possession, kebagusan strategi atau unggulnya kapasitas pemain. Yang juga tidak seperti pertandingan penyisihan yang sah-sah saja terjadi imbang (tanpa gol atau gol yang dihasilkan sama). Maka, jika dalam pertandingan tak terdapat gol, bagaimana mau digelar sebuah pertandingan final. Tapi, inilah yang terjadi dengan “Pertandingan Penghabisan” versi Hasan Aspahani.

Dengan atraktif, satire dan menohok, Aspahani memain-mainkan bola liar kata-katanya: Tuhan, Engkau tidak usah nonton, kan? Memang sebaiknya sejenak kami Engkau tinggalkan. Jangan pernah lagi Engkau main tangan, bikin gol ke gawang salah satu dari kami, doa seorang kapten sebuah kesebelasan. Seolah kesebelasan satu tak mau menyakiti kesebelasan lawan, dengan jalan membuat gol. Setelah perpanjangan waktu, disertai ceceran kartu kuning dan merah yang mengganjar tackle-tackle kotor para pemain, gol pun tetap tak terjadi. Dan, doa kapten tim itu sungguh-sungguh dikabulkan Tuhan.


Perhelatan sepak bola di zaman modern ini, tentu bukan sebuah permainan biasa tetapi sudah menjelma sebagai ritus yang menerabas sekat-sekat wacana dan tradisi, dengan segala peranti kepentingan yang terselip di dalamnya. Membaur pekat di dalam maupun di luar lapangan, dari yang unik hingga soal mistik, dari yang renik hingga yang klenik, bahkan dari yang fantastis hingga yang erotis. Menyatu dalam helat permainan bersama riuh tempik-sorak penonton. Dan, lamat-lamat, penonton pun sering main spekulasi sendiri. Serasa kepala mereka dipenuhi rumus-rumus probabilitas. Dan seperangkat probabilitas itu bukankah sangat karib dengan mental penjudi? Inilah yang diulas dengan kemasan ironik dalam salah satu sajak Aspahani. Di mana tiap datang event Piala Dunia, selalu tak bisa lepas dari kepentingan di luar lapangan: semarak perjudian. “Saya yang berjudi nyawa di lapangan, mereka enak saja adu nasib di meja perjudian,” keluh seorang pemain bola dalam Lengking Peluit yang Lama Tak Ia Perhatikan (hlm 48).

Dalam dunia sajak, kata Goenawan Mohamad, riwayat kata dan tubuh adalah dua entitas terbatas yang dibujuk oleh sesuatu yang tak berhingga. Dalam sajak-sajak Aspahani, riwayat dua entitas itu seakan terwakili sekaligus oleh hadirnya buku antologi sajak Telimpuh (Koekoesan, 2009) ini, khususnya pada tema Malaikat Penjaga Gawang. Setidaknya, di sini, persamaan antara bola dan sastra, adalah sama-sama ingin memperlihatkan setangkup keindahan. Jika yang pertama berusaha memamerkan keindahan lewat utak-atik benda berkulit bundar hingga sedap dipandang mata. Maka yang lain, adalah upaya memainkan kata-kata dengan balutan keindahan bahasa, agar pembaca tercerahkan: katarsis.


Melalui sajak dialog maupun monolog, Aspahani berusaha menghidupkan benda-benda mati di lapangan. Ia seolah tengah mengamalkan laku dan prinsip meditasi "kemudian". Sajak "kemudian" bagi Aspahani adalah sajak yang terus-menerus menawarkan pembaruan dan kebaruan kata-kata. Tapi tetap dibimbing dialog-dialog yang cerdas. Dalam sajak Setelah Sebuah Gol umpamanya, bagaimana monolog bola itu mampu ia bangun secara ambigu tetapi juga menyiratkan pertanyaan eksistensial sehingga pembaca seperti digelitik untuk mempertanyakan apa kepentingan penonton dalam permainan sepak bola yang ia tonton.

Sebagaimana kredo "tetapi" yang diteguhinya, dalam sajak Solilokui Sang Bola Kaki, Aspahani seperti ingin menunjukkan sepenggal "tetapi" itu. "Tetapi" adalah penghubung dua kalimat atau frasa yang bertentangan. "Kenapa semua tentara tidak dilatih menjadi pemain sepak bola saja?... Mungkin dunia akan lebih damai, kalau/wajib militer diganti wajib main bola? Dan suara-suara tembakan pun berganti/menjadi riuh penonton di lapangan sepak bola?... Bukankah dengan demikian, tak ada orang biasa/yang terluka? Atau bahkan jadi korban sia-sia” (hlm 56). Membaca penggalan sajak ini, kita seolah-olah digiring untuk merenungi kata-kata Aspahani berikut: "Bila dunia menampakkan A, maka penyair harus menemukan dan menghadirkan B dalam atau dengan sajak-sajaknya". Dalam sajak-sajak yang khusus bertema sepak bola ini, Aspahani seperti tak henti membuat kejutan-kejutan baru, ia terus berlari mengejar bola kata-katanya, untuk kemudian melunaskan setiap ciptaan dalam situasi estetiknya sendiri.

Lampung Post, Sabtu, 26 Juni 2010