ENGKAU laksana bulan kosong, hari-hari tak terhitung, tanggal pecah, kalender lari dari dinding kamar dan meja gambarku.
Hatiku kedap kamar gelap: tak ada kenangan harus kujaga. Kukira harus ada jendela, minta sedikit kuak, agar ada tempias cahaya.
Kamar dan aku saling mengosongkan. Kami tahu tak lagi terjangkau sakral saklar. Pecah jua kelopak lampu...
Kalau nanti segala lenyap, aku akan bertemu Senyap itu. "Hai, Senyap, saudara sepanti piatu, waktu yang tak beribu, apa kabarku?"
Aku sumbu, pada lampu yang lama tak tersulut. Jika gelap menyala, ingin sekali aku bertemu dia, api yang membakarku!
Mataku tak bersapaan dengan lampu bisu itu. Tak sepatah cahaya terucap darinya. Kaukah yang datang? Dan menyalalah kita?
Lampu yang luka: mengalir gelap dari koyak sumbunya. Kau tak melihatnya. Kau tak dengar jerit cahaya yang lepas darinya.
Engkau laksana bulan berpaling dari wajah malam kami. Gelap diperebutkan. Kami tak percaya cahaya, karena telah lama dipersesat terangya.