NAMA itu: durian, ia dari diri kami,
tapi bagimu, apakah ini ada arti?
Daging buah itu tak pernah tahu,
ada kami: duri di kulit buah ini,
duri yang hanya menyarukan wangi,
dari aroma yang tak bisa sembunyi.
Daging buah itu pernahkah ingin
bertanya, sekali saja, sukakah kami
pada aromanya yang membuat kami harus
luka, terbelah, dan tajam yang kami
jaga dan menjaga ini, tak berarti
apa-apa, cuma semacam sebuah sia-sia.
*
Nama itu: kenduri, O, betapa ingin kami
tahu, bahwa ia juga berasal dari kami.
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Friday, October 30, 2009
Melankolia Melon Sagu
MUNGKIN dia ada di dasar mangkok itu: mengira dirinya butir sagu,
yang kelak menggelincir laju di lidah, licin, lepas, dan tak terkunyah.
Waktu, dengan tangannya yang terus saja mengulur itu, mengaduk
sebentar, memastikan lemak-manis-segar itu padu, lalu menyuapkan
sepercidukan, serta sebola melon, menggantung antara kau dan aku.
Tatapan bertikaman. Kita mengadu: siapa paling dahaga, kau atau aku.
yang kelak menggelincir laju di lidah, licin, lepas, dan tak terkunyah.
Waktu, dengan tangannya yang terus saja mengulur itu, mengaduk
sebentar, memastikan lemak-manis-segar itu padu, lalu menyuapkan
sepercidukan, serta sebola melon, menggantung antara kau dan aku.
Tatapan bertikaman. Kita mengadu: siapa paling dahaga, kau atau aku.
Tuesday, October 27, 2009
Sangka Semangkok Mangga
DIA yang sudah terkupas dan teriris,
di mangkok itu tergiur pada lidahku.
Aku, mengelak dingin penyejuk kamar,
Ingatan ke subuh yang jauh dan samar
Pohon setua hikayat, bercabang piton.
Kutunggu luruh buah, akil balig bocah.
Kau adalah mangga jatuh, yang kurebut,
dari udara yang tak utuh. Siapa yang
perlu pisau? Bilakala lekas kau kugugut.
Waktu di Salihara
AKU ingin senantiasa sesat ke sana,
Ah, selalu aku kira ada ruang rahasia.
Tempat sesiapa seperti aku sembunyi,
lalu menemukan apa yang tak tercari.
Di sana, aku bertemu Waktu, duduk di
tebal bangku kayu. Dia yang sibuk
itu, tampak santai sekali, menyantap
mie goreng salihara. "Kesinilah kalau
mau menaklukkan aku," katanya padaku.
Lalu dia mengajak aku berkeliling,
ke teater itu, ke galeri itu, ke kafe
atap itu, ke serambi itu, ke musala
itu, ke toilet itu, ke kedai cindera
mata itu, ke ruang kerjanya yang entah
di sebelah mana. Ah, aku tak sempat
heran, di sini, dia, si Waktu itu
ternyata bekerja, ada tempat untuknya.
Aku tak bertanya, dibayar berapa dia.
Waktu? Ah, pasti mahal sekali tarifnya.
Ah, selalu aku kira ada ruang rahasia.
Tempat sesiapa seperti aku sembunyi,
lalu menemukan apa yang tak tercari.
Di sana, aku bertemu Waktu, duduk di
tebal bangku kayu. Dia yang sibuk
itu, tampak santai sekali, menyantap
mie goreng salihara. "Kesinilah kalau
mau menaklukkan aku," katanya padaku.
Lalu dia mengajak aku berkeliling,
ke teater itu, ke galeri itu, ke kafe
atap itu, ke serambi itu, ke musala
itu, ke toilet itu, ke kedai cindera
mata itu, ke ruang kerjanya yang entah
di sebelah mana. Ah, aku tak sempat
heran, di sini, dia, si Waktu itu
ternyata bekerja, ada tempat untuknya.
Aku tak bertanya, dibayar berapa dia.
Waktu? Ah, pasti mahal sekali tarifnya.
Di Ruang Praktek Dokter Gigi
SEMENTARA aku terus menganga, kau
menyebut kode-kode posisi gigi dan
nama-nama alat yang bergantian
disodorkan padamu, kata-kata yang tak
sempat kutebak, dan tak kumengerti.
Kau bicara tentang mana yang masih
bisa dipertahankan. Dan aku nyaris
tak bisa bertahan, terbaring di kursi
perawatan itu, dengan mulut terus
saja menganga, menguapkan semua kata:
aku tak bisa membantah atau mengiya.
Aku akan terus menganga, sepertinya
dengan demikian itu telah habis lebih
dahulu semua jeritan dan aku memang tak
ingin membayangkan sesakit apa sakitnya.
Sementara aku menganga, kau suntikkan
jarum anestesi, lalu terasa gusi dan
bibirku tebal sekali. Seperti firasat,
bahwa aku akan ditinju rasa kehilangan:
sesuatu yang begitu dekat, tapi padanya
aku tak pernah terlalu peduli.
menyebut kode-kode posisi gigi dan
nama-nama alat yang bergantian
disodorkan padamu, kata-kata yang tak
sempat kutebak, dan tak kumengerti.
Kau bicara tentang mana yang masih
bisa dipertahankan. Dan aku nyaris
tak bisa bertahan, terbaring di kursi
perawatan itu, dengan mulut terus
saja menganga, menguapkan semua kata:
aku tak bisa membantah atau mengiya.
Aku akan terus menganga, sepertinya
dengan demikian itu telah habis lebih
dahulu semua jeritan dan aku memang tak
ingin membayangkan sesakit apa sakitnya.
Sementara aku menganga, kau suntikkan
jarum anestesi, lalu terasa gusi dan
bibirku tebal sekali. Seperti firasat,
bahwa aku akan ditinju rasa kehilangan:
sesuatu yang begitu dekat, tapi padanya
aku tak pernah terlalu peduli.
Monday, October 26, 2009
Tidak Berjalan ke mana-mana di Waktu Malam Hari
: Sapardi Djoko Damono
DUA kursi itu, tak berebut siapa
sebenarnya lebih pantas kau duduki.
Kau dan kursi tak bertanya, bayangan
kalian disembunyikan cahaya atau
diserap habis lantai beton itu.
Terang lampu dan gelap dinding tak
bertengkar tentang siapa di antara
mereka yang khusyuk kau renungkan.
Mikropon di kursi di sebelahmu, masih
kaget dan berusaha terus mengingat
yang baru saja kau ucapkan lewat dia.
Foto: M Aan Mansyur
Terima Kasih, Afifah!
Sunday, October 25, 2009
Apa Kabar Jantungmu?
: M Aan Mansyur
AKHIRNYA kita bertemu
di kota bernama Jakarta.
Sejak di bandara bernama
Soekarno-Hatta, padamu aku
sudah ingin bertanya:
masihkah Jantungmu itu mau
membunuhmu dengan indah?
Ataukah telah dia lepaskan
badik (yang tak pernah kau
sebut dalam sajak-sajakmu)
yang hendak ia tikamkan
itu, yang sudah sejak lama
ia tajamkan di dalih lidah,
di keras batuasah?
"Oh," katamu, "Badik itu kini
jadi pembatas buku."
Jantungmu itu, kini menjadi
kutubuku.
Ia suka sekali membaca
sajak-sajakmu. Walau harus
menduga-duga banyak hal,
menebak nama-nama yang sering
kau sebut di sana, dan
sesekali tergoda, ingat pada
keinginan lamanya.
*
Di kota bernama Jakarta kau
membeli banyak sekali buku.
Aku kira itu oleh-oleh untuk
Jantungmu.
"Di perpustakaan kami," katamu,
(aku menduga siapa dia yang
jadi kami dengan kau di kata
ganti orang pertama jamak itu)
banyak sekali pembaca seperti
Jantungku itu. Mereka datang
mencari buku yang pas untuk
dicumbui saat hati sepoi sepi,
setelah atau menjelang kekasih
pergi."
Aku bayangkan, akan banyak
sekali badik, yang harus kau
persiapkan untuk menjadi
pembatas buku-buku baru itu.
*
Dan kau bercerita tentang
bukumu sendiri yang tak perlu
badik sebagai pembatasnya,
yang tak pernah bisa selesai
kau tulis dan kau baca.
"Buku itu, seperti badik,
tertancap abadi di Jantungku!"
katamu. Buku itu, bercerita
tentang perempuan yang memeluk
kekasihnya, di sebuah diskusi
buku puisi, di sebuah tempat
bernama Taman Ismail Marzuki.
"Pelukan yang lama tapi tak
cukup lama baginya untuk
memastikan bahwa badik lain yang
bernama Cinta (atau tentah apa)
itu masih tertanam dan tumbuh
subur di dalam tubuhku," katamu.
Akhirnya, aku mendengar cerita
itu langsung darimu, di kota
bernama Jakarta, kota yang kini
menyembunyikan si Pemeluk itu.
AKHIRNYA kita bertemu
di kota bernama Jakarta.
Sejak di bandara bernama
Soekarno-Hatta, padamu aku
sudah ingin bertanya:
masihkah Jantungmu itu mau
membunuhmu dengan indah?
Ataukah telah dia lepaskan
badik (yang tak pernah kau
sebut dalam sajak-sajakmu)
yang hendak ia tikamkan
itu, yang sudah sejak lama
ia tajamkan di dalih lidah,
di keras batuasah?
"Oh," katamu, "Badik itu kini
jadi pembatas buku."
Jantungmu itu, kini menjadi
kutubuku.
Ia suka sekali membaca
sajak-sajakmu. Walau harus
menduga-duga banyak hal,
menebak nama-nama yang sering
kau sebut di sana, dan
sesekali tergoda, ingat pada
keinginan lamanya.
*
Di kota bernama Jakarta kau
membeli banyak sekali buku.
Aku kira itu oleh-oleh untuk
Jantungmu.
"Di perpustakaan kami," katamu,
(aku menduga siapa dia yang
jadi kami dengan kau di kata
ganti orang pertama jamak itu)
banyak sekali pembaca seperti
Jantungku itu. Mereka datang
mencari buku yang pas untuk
dicumbui saat hati sepoi sepi,
setelah atau menjelang kekasih
pergi."
Aku bayangkan, akan banyak
sekali badik, yang harus kau
persiapkan untuk menjadi
pembatas buku-buku baru itu.
*
Dan kau bercerita tentang
bukumu sendiri yang tak perlu
badik sebagai pembatasnya,
yang tak pernah bisa selesai
kau tulis dan kau baca.
"Buku itu, seperti badik,
tertancap abadi di Jantungku!"
katamu. Buku itu, bercerita
tentang perempuan yang memeluk
kekasihnya, di sebuah diskusi
buku puisi, di sebuah tempat
bernama Taman Ismail Marzuki.
"Pelukan yang lama tapi tak
cukup lama baginya untuk
memastikan bahwa badik lain yang
bernama Cinta (atau tentah apa)
itu masih tertanam dan tumbuh
subur di dalam tubuhku," katamu.
Akhirnya, aku mendengar cerita
itu langsung darimu, di kota
bernama Jakarta, kota yang kini
menyembunyikan si Pemeluk itu.
Monday, October 19, 2009
Gunjing Sastra (4) - Kenapa Malu Membuat Pembaharuan?
Nirwan Dewanto betul. Siapa saja bisa mengalami pengalaman batin yang sama, juga penyair, misalnya ketika mabuk di bawah bulan purnama, terbuai di depan ombak, dan lain-lain. Ini mungkin yang disebut Subagio Sastrowardoyo: keterharuan. Dia betul, pengalaman batin itu belum pasti akan menjadi sebuah puisi, apa yang ia sebut sebagai artefak kata-kata.
Justru di situlah bedanya penyair dan yang bukan penyair.
Si penyair kemudian melanjutkan keterharuan itu, dia menggarap puisi: dia menciptakan artefak kata-kata yang bernama puisi itu. Artinya si penyair "terilhami" (sesuatu yang ditolak oleh Nirwan) oleh pengalaman batin itu. Memangnya apa sih yang membuat penyair itu kemudian terdorong untuk meraih bahasa lalu memakai itu sebagai wadah untuk "membentuk" pengalaman batin tadi atau keterharuan tadi?
Saya sendiri menggarap sebagian puisi dengan bermodal keterharuan kecil-kecilan dari pengalaman biasa saja, yang bisa dialami oleh siapa saja: didera bosan di pesawat, menunggu di ruang keberangkatan, terbaring sendiri di hotel, di dalam taksi ke bandara. Ini sangat tidak istimewa, bukan? Dan memang belum tentu bisa jadi sajak. Pengalaman kecil-kecil itulah yang saya sajakkan.
Saya setuju pada apa yang dia katakan kemudian. "Seandainya seorang penyair melihat darah tumpah di jalanan, maka soalnya apakah ia mampu membuat apa yang dilihatnya menjadi darah kata-kata," katanya.
Nah, itulah soalnya. Bagaimana mengolah darah di jalanan itu menjadi darah kata-kata?
Ini jawaban Nirwan, katanya, untuk membuat darah kata, daging kata, dan tubuh kata, si penyair harus memencilkan diri ke dalam ruang studinya.
"Ia masuk ke dalam lingkungan bahasa, tepatnya lingkungan tulisan, yang memberikan kepadanya bentuk-bentuk pengucapan yang mungkin," katanya.
Bila penyair mengolah yang mungkin ini, tulis Nirwan, ia bisa pula menemukan yang mustahil — yang membuatnya bergerak lebih cepat ketimbang rekan-rekannya.
Aha! Banyak yang bisa saya setujui sejauh ini. Tapi, kenapa Nirwan melihat posisi penyair begitu lemahnya di depan bahasa? Selain lingkungan bahasa itu memberikan bentuk-bentuk pengucapan yang mungkin, bukankah penyair juga bisa dan boleh (atau bahkan harus) menciptakan kemungkinan-kemungkinan pengucapan itu? Bukan sekadar menemukan!
Dulu Nirwan pernah menulis bahwa penyair A hanya memperluas sajak-sajak penyair X, dan penyair B mencairkannya, sementara si penyair C mengulang-ulang saja. Saya dulu membaca itu sebagai cambukan darinya agar saya mencari sesuatu yang baru, membuat pembaharuan.
Tapi kenapa dalam tulisan di blog "majalah dinding"-nya itu dia bilang tak percaya pada kata "pembaharuan" dalam sajak?
Dia tulis: ...boleh jadi ia akan malu menyebut dirinya sebagai pembaharu, sebab sejarah-sejarah sastra di dunia ini adalah lautan pembaharuan. "Ia tahu, jargon 'pembaharuan' hanya membatasi geraknya. Sebab ia ingin leluasa bergerak ke depan, ke belakang, ke samping, ke atas dan ke bawah," katanya.
Kenapa ia bilang "pembaharuan" itu hanya jargon yang menjadi beban? Yang membatasi ruang gerak? Kenapa pembaharuan itu tak membuat ia leluasa bergerak ke mana-mana?
Lalu bagaimana dulu pembaharuan itu dalam sepanjang sejarah sastra itu menjadi "lautan" kini.
Saya percaya, membuat pembaharuan itu sungguh tidak mudah. Pun tak mudah dikenali. Lima tahun setelah kematian Chairil, Asrul Sani menulis bahwa sajak-sajak sahabatnya itu masih berupa hutan luas yang perlu ditebas. Artinya, apa yang sekarang kita kenali sebagai "kebaruan" dalam sajak-sajak Chairil, saat itu pun belum tertandai, bahkan masih ditolak dan dianggap merusak bahasa. Chairil kita tahu, adalah orang yang getol banget pada pembaharuan. Entahlah, kenapa Nirwan tak sebersemangat itu, ya?
Saya percaya, siapa pun yang bergerak di dunia kreatif, khususnya sastra, dan ingin menghasilkan sesuatu yang dicatat dalam sejarah kelak, maka ia harus membuat pembaharuan. Dan itu, percayalah tidak mudah, dan belum tentu berhasil sepanjang sejarah perjalanan kreatif kita. Tanpa semangat menemukan pembaharuan itu, maka dunia sastra kita hanya akan dipenuhi oleh karya-karya yang mengulang-ulang saja, bukan?
:: Gunjing tak gentar, membela yang argumennya paling ngawur! :-) Lanjutkan!
Justru di situlah bedanya penyair dan yang bukan penyair.
Si penyair kemudian melanjutkan keterharuan itu, dia menggarap puisi: dia menciptakan artefak kata-kata yang bernama puisi itu. Artinya si penyair "terilhami" (sesuatu yang ditolak oleh Nirwan) oleh pengalaman batin itu. Memangnya apa sih yang membuat penyair itu kemudian terdorong untuk meraih bahasa lalu memakai itu sebagai wadah untuk "membentuk" pengalaman batin tadi atau keterharuan tadi?
Saya sendiri menggarap sebagian puisi dengan bermodal keterharuan kecil-kecilan dari pengalaman biasa saja, yang bisa dialami oleh siapa saja: didera bosan di pesawat, menunggu di ruang keberangkatan, terbaring sendiri di hotel, di dalam taksi ke bandara. Ini sangat tidak istimewa, bukan? Dan memang belum tentu bisa jadi sajak. Pengalaman kecil-kecil itulah yang saya sajakkan.
Saya setuju pada apa yang dia katakan kemudian. "Seandainya seorang penyair melihat darah tumpah di jalanan, maka soalnya apakah ia mampu membuat apa yang dilihatnya menjadi darah kata-kata," katanya.
Nah, itulah soalnya. Bagaimana mengolah darah di jalanan itu menjadi darah kata-kata?
Ini jawaban Nirwan, katanya, untuk membuat darah kata, daging kata, dan tubuh kata, si penyair harus memencilkan diri ke dalam ruang studinya.
"Ia masuk ke dalam lingkungan bahasa, tepatnya lingkungan tulisan, yang memberikan kepadanya bentuk-bentuk pengucapan yang mungkin," katanya.
Bila penyair mengolah yang mungkin ini, tulis Nirwan, ia bisa pula menemukan yang mustahil — yang membuatnya bergerak lebih cepat ketimbang rekan-rekannya.
Aha! Banyak yang bisa saya setujui sejauh ini. Tapi, kenapa Nirwan melihat posisi penyair begitu lemahnya di depan bahasa? Selain lingkungan bahasa itu memberikan bentuk-bentuk pengucapan yang mungkin, bukankah penyair juga bisa dan boleh (atau bahkan harus) menciptakan kemungkinan-kemungkinan pengucapan itu? Bukan sekadar menemukan!
Dulu Nirwan pernah menulis bahwa penyair A hanya memperluas sajak-sajak penyair X, dan penyair B mencairkannya, sementara si penyair C mengulang-ulang saja. Saya dulu membaca itu sebagai cambukan darinya agar saya mencari sesuatu yang baru, membuat pembaharuan.
Tapi kenapa dalam tulisan di blog "majalah dinding"-nya itu dia bilang tak percaya pada kata "pembaharuan" dalam sajak?
Dia tulis: ...boleh jadi ia akan malu menyebut dirinya sebagai pembaharu, sebab sejarah-sejarah sastra di dunia ini adalah lautan pembaharuan. "Ia tahu, jargon 'pembaharuan' hanya membatasi geraknya. Sebab ia ingin leluasa bergerak ke depan, ke belakang, ke samping, ke atas dan ke bawah," katanya.
Kenapa ia bilang "pembaharuan" itu hanya jargon yang menjadi beban? Yang membatasi ruang gerak? Kenapa pembaharuan itu tak membuat ia leluasa bergerak ke mana-mana?
Lalu bagaimana dulu pembaharuan itu dalam sepanjang sejarah sastra itu menjadi "lautan" kini.
Saya percaya, membuat pembaharuan itu sungguh tidak mudah. Pun tak mudah dikenali. Lima tahun setelah kematian Chairil, Asrul Sani menulis bahwa sajak-sajak sahabatnya itu masih berupa hutan luas yang perlu ditebas. Artinya, apa yang sekarang kita kenali sebagai "kebaruan" dalam sajak-sajak Chairil, saat itu pun belum tertandai, bahkan masih ditolak dan dianggap merusak bahasa. Chairil kita tahu, adalah orang yang getol banget pada pembaharuan. Entahlah, kenapa Nirwan tak sebersemangat itu, ya?
Saya percaya, siapa pun yang bergerak di dunia kreatif, khususnya sastra, dan ingin menghasilkan sesuatu yang dicatat dalam sejarah kelak, maka ia harus membuat pembaharuan. Dan itu, percayalah tidak mudah, dan belum tentu berhasil sepanjang sejarah perjalanan kreatif kita. Tanpa semangat menemukan pembaharuan itu, maka dunia sastra kita hanya akan dipenuhi oleh karya-karya yang mengulang-ulang saja, bukan?
:: Gunjing tak gentar, membela yang argumennya paling ngawur! :-) Lanjutkan!
Gunjing Sastra (3) - Apa Sih yang Dibawa Puisi?
Agak sulit saya memahami apa yang disebutkan Nirwan dalam tulisannya dengan kalimat ini: Sebuah puisi memang tidak membawa berita, tapi membimbing kita ke sebuah lingkungan bahasa.
Lalu apa yang dibawa oleh puisi? Kosong saja? Tak ada pesan apa-apa? Hanya membawa pembaca ke sebuah lingkungan bahasa? Apa itu lingkungan bahasa? Apakah maksudnya puisi itu semata-mata urusan linguistik saja? Urusan kata dan frase? Urusan "fisik" belaka?
Kalau puisi tidak membawa berita, bagaimana dengan syair Melayu yang "memberitakan" tentang perkawinan anak Kapitan Cina. Apakah maksud Nirwan ini sajak modern saja? Ada syair yang berisi ajaran moral, dan bukankah itu semacam berita juga?
Mungkin kita perlu bantuan kalimat berikutnya. Katanya: ...Puisi itu, secara tersirat atau tersurat, mengatakan seluruh kekayaan yang dimiliki bahasa yang bersangkutan, dan bagaimana kekayaan yang demikian menciptakan “kepribadian” si pembuatnya.
Kita bisa mengajukan sederet pertanyaan pada Nirwan: Bukankah, si penyair itu yang memilih untuk mengunakan khazanah kekayaan bahasa yang mana yang hendak ia pakai untuk puisinya? Bukankah penyair itu justru diuji kepenyairannya dari sejauh mana ia menguasai kekayaan itu?
Apakah Nirwan menganggap proses "mengatakan kekayaan bahasa secara tersirat dan tersurat" oleh puisi itu sama sekali tak ada peran si penyair di situ? Apakah ia hanya menulis, dan tanpa sadar puisinya lantas menyiratkan dan menyuratkan seluruh kekayaan bahasanya? Lalu si penyair begitu saja menerima apa yang "diciptakan" oleh puisi sebagai kepribadiannya?
Saya kira, kalau mau setuju pada kalimat Nirwan di atas, saya seperti melihat bahwa proses menulis puisi itu diserahkan pada sesuatu di luar kuasa penyair. Semacam digerakkan oleh ilham yang berasal dari "kekayaan bahasa". Tapi bukankah Nirwan tak percaya pada ilham?
Kalimat sambungan dari Nirwan yang perlu dipetik juga dalam pergunjingan ini. "Atau, secara terbalik: bagaimana kekayaan tersebut justru tak berguna apa pun, kecuali memiskinkan si penyair, yang percaya belaka kepada ilham," katanya.
Bahasa itu pasif. Dia diam saja. Ia memberikan potensi yang sama besarnya bagi siapa saja. Seberapa besar potensi itu bisa dimanfaatkan oleh penyair A, dan seberapa besar yang bisa digarap oleh penyair B ditentukan oleh - ah sederhana saja - seberapa dalam ia bisa menggali, menjajal, "memiuhkan", memain-mainkan, segenap khazanah kekayaan bahasa yang ada.
Bukankah kata "mandi", "kamar mandi", "kuburan" dan kata-kata lain itu, di tangan Joko Pinurbo menjadi punya "darah segar" yang menggairahkan puisi-puisinya? Potensi itu tidak dicomot begitu saja oleh Joko Pinurbo dari kekayaan bahasa, bukan? Ia dengan rajin dan gelisah mengolah bahasa itu. Ia mengasah.
:: Let's go! Pergunjingan belum selesai, dan akan makin tidak bermutu...
Lalu apa yang dibawa oleh puisi? Kosong saja? Tak ada pesan apa-apa? Hanya membawa pembaca ke sebuah lingkungan bahasa? Apa itu lingkungan bahasa? Apakah maksudnya puisi itu semata-mata urusan linguistik saja? Urusan kata dan frase? Urusan "fisik" belaka?
Kalau puisi tidak membawa berita, bagaimana dengan syair Melayu yang "memberitakan" tentang perkawinan anak Kapitan Cina. Apakah maksud Nirwan ini sajak modern saja? Ada syair yang berisi ajaran moral, dan bukankah itu semacam berita juga?
Mungkin kita perlu bantuan kalimat berikutnya. Katanya: ...Puisi itu, secara tersirat atau tersurat, mengatakan seluruh kekayaan yang dimiliki bahasa yang bersangkutan, dan bagaimana kekayaan yang demikian menciptakan “kepribadian” si pembuatnya.
Kita bisa mengajukan sederet pertanyaan pada Nirwan: Bukankah, si penyair itu yang memilih untuk mengunakan khazanah kekayaan bahasa yang mana yang hendak ia pakai untuk puisinya? Bukankah penyair itu justru diuji kepenyairannya dari sejauh mana ia menguasai kekayaan itu?
Apakah Nirwan menganggap proses "mengatakan kekayaan bahasa secara tersirat dan tersurat" oleh puisi itu sama sekali tak ada peran si penyair di situ? Apakah ia hanya menulis, dan tanpa sadar puisinya lantas menyiratkan dan menyuratkan seluruh kekayaan bahasanya? Lalu si penyair begitu saja menerima apa yang "diciptakan" oleh puisi sebagai kepribadiannya?
Saya kira, kalau mau setuju pada kalimat Nirwan di atas, saya seperti melihat bahwa proses menulis puisi itu diserahkan pada sesuatu di luar kuasa penyair. Semacam digerakkan oleh ilham yang berasal dari "kekayaan bahasa". Tapi bukankah Nirwan tak percaya pada ilham?
Kalimat sambungan dari Nirwan yang perlu dipetik juga dalam pergunjingan ini. "Atau, secara terbalik: bagaimana kekayaan tersebut justru tak berguna apa pun, kecuali memiskinkan si penyair, yang percaya belaka kepada ilham," katanya.
Bahasa itu pasif. Dia diam saja. Ia memberikan potensi yang sama besarnya bagi siapa saja. Seberapa besar potensi itu bisa dimanfaatkan oleh penyair A, dan seberapa besar yang bisa digarap oleh penyair B ditentukan oleh - ah sederhana saja - seberapa dalam ia bisa menggali, menjajal, "memiuhkan", memain-mainkan, segenap khazanah kekayaan bahasa yang ada.
Bukankah kata "mandi", "kamar mandi", "kuburan" dan kata-kata lain itu, di tangan Joko Pinurbo menjadi punya "darah segar" yang menggairahkan puisi-puisinya? Potensi itu tidak dicomot begitu saja oleh Joko Pinurbo dari kekayaan bahasa, bukan? Ia dengan rajin dan gelisah mengolah bahasa itu. Ia mengasah.
:: Let's go! Pergunjingan belum selesai, dan akan makin tidak bermutu...
Gunjing Sastra (2) - Perlukah Riwayat Hidup Penyair Dikaitkan dengan Puisinya?
Nirwan Dewanto tampaknya ingin membatasi atau menyempitkan kemungkinan kita mendekati puisi. Ia menulis, hanya dengan puisi itulah kita bersoal-jawab. Lalu katanya: sebuah puisi adalah sebuah artefak, yang membuat kita bisa menciptakan sejenis “arkeologi pengetahuan”.
Di tulisannya yang lain di blog yang sama, Nirwan Dewanto menulis: ...saya makin percaya bahwa riwayat pengarang memang tak diperlukan, kecuali demi statistika kependudukan belaka.
Keinginan atau keyakinan Nirwan untuk membebaskan puisi dari hal-hal lain, termasuk riwayat hidup penyairnya, makin ditegaskan dari kutipan di atas.
Saya tidak sependapat dengan dia. Menurut saya, apapun yang bisa dikaitkan dengan puisi seseorang, itu sah digunakan untuk mendekati puisi. Kalau Nirwan dulu dalam riwayatnya sebagai kritikus bilang A, lalu dia menulis puisi yang tidak A tetapi B, bukankah perubahan dari A ke B itu menarik untuk digunjingkan? Kita tidak bisa melupakan A dulu yang pernah dia bilang. Itu jadi riwayat dia, orang seorang, orang yang sama yang menulis B. Kenapa harus disterilkan?
Ya, bisa saja puisi dianggap sebagai sebuah artefak, yaitu - menurut KBBI - benda-benda, spt alat, perhiasan yg menunjukkan kecakapan kerja manusia (terutama pd zaman dahulu) yg ditemukan melalui penggalian arkeologi; atau makna lain: benda (barang-barang) hasil kecerdasan manusia, seperti perkakas, senjata. Tapi, apakah lantas tak ada sama sekali jejak si pencipta artefak itu di situ? Kalau ada apakah jejak itu sama sekali tak bisa atau tak perlu digunakan untuk "memaknai arkeologi pengetahuan" pada artefak itu.
Saya menerjemahkan beberapa sajak Naomi Shihab Rye. Riwayat hidupnya yang berbapak Arab Palestina membantu saya memahami dan masuk ke dalam ruang dalam beberapa sajak-sajak yang saya terjemahkan itu. Bagaimana saya harus melupakan riwayat hidupnya itu, lalu hanya bersoal-jawab dengan sajak-sajaknya saja? Saya sangat terbantuk memahami sajak-sajaknya, dengan mengetahui riwayat hidupnya, sesingkat apapaun riwayat yang saya dapat.
Bila puisi adalah sebuah artefak, bukan dia bisa dipakai juga untuk "membongkar" hal-hal lain di luar dirinya? Dalam sajak Naomi, jika saya tak tahu apa-apa tentang riwayat hidupnya saat saya membaca, saya akan menebak pasti dia ada kait-mengait dengan tanah dan darah Arab. Untuk memastikan itu, saya akan merujuk ke riwayat hidupnya, bukan?
:: Pergunjingan ini masih bersambung.
Di tulisannya yang lain di blog yang sama, Nirwan Dewanto menulis: ...saya makin percaya bahwa riwayat pengarang memang tak diperlukan, kecuali demi statistika kependudukan belaka.
Keinginan atau keyakinan Nirwan untuk membebaskan puisi dari hal-hal lain, termasuk riwayat hidup penyairnya, makin ditegaskan dari kutipan di atas.
Saya tidak sependapat dengan dia. Menurut saya, apapun yang bisa dikaitkan dengan puisi seseorang, itu sah digunakan untuk mendekati puisi. Kalau Nirwan dulu dalam riwayatnya sebagai kritikus bilang A, lalu dia menulis puisi yang tidak A tetapi B, bukankah perubahan dari A ke B itu menarik untuk digunjingkan? Kita tidak bisa melupakan A dulu yang pernah dia bilang. Itu jadi riwayat dia, orang seorang, orang yang sama yang menulis B. Kenapa harus disterilkan?
Ya, bisa saja puisi dianggap sebagai sebuah artefak, yaitu - menurut KBBI - benda-benda, spt alat, perhiasan yg menunjukkan kecakapan kerja manusia (terutama pd zaman dahulu) yg ditemukan melalui penggalian arkeologi; atau makna lain: benda (barang-barang) hasil kecerdasan manusia, seperti perkakas, senjata. Tapi, apakah lantas tak ada sama sekali jejak si pencipta artefak itu di situ? Kalau ada apakah jejak itu sama sekali tak bisa atau tak perlu digunakan untuk "memaknai arkeologi pengetahuan" pada artefak itu.
Saya menerjemahkan beberapa sajak Naomi Shihab Rye. Riwayat hidupnya yang berbapak Arab Palestina membantu saya memahami dan masuk ke dalam ruang dalam beberapa sajak-sajak yang saya terjemahkan itu. Bagaimana saya harus melupakan riwayat hidupnya itu, lalu hanya bersoal-jawab dengan sajak-sajaknya saja? Saya sangat terbantuk memahami sajak-sajaknya, dengan mengetahui riwayat hidupnya, sesingkat apapaun riwayat yang saya dapat.
Bila puisi adalah sebuah artefak, bukan dia bisa dipakai juga untuk "membongkar" hal-hal lain di luar dirinya? Dalam sajak Naomi, jika saya tak tahu apa-apa tentang riwayat hidupnya saat saya membaca, saya akan menebak pasti dia ada kait-mengait dengan tanah dan darah Arab. Untuk memastikan itu, saya akan merujuk ke riwayat hidupnya, bukan?
:: Pergunjingan ini masih bersambung.
Sunday, October 18, 2009
Gunjing Sastra (1): Puisi Itu Ditulis Berdasarkan Ilham, atau Apa?
Di blognya Nirwan Dewanto menulis begini: Para penyair, bahkan penyair terkini, barangkali gemar sekali mengatakan bahwa mereka menulis berdasarkan ilham. Tapi kita tidak tahu apakah mereka berdusta atau tidak. Kita hanya tahu apakah mereka mengerjakan puisi atau tidak, apakah mereka bergulat dengan bahasa atau tidak. Yang jelas, tidak ada Tuhan atau dewa-dewa yang bicara kepada mereka, membisikkan apa-apa yang harus mereka tuliskan ke atas kertas kosong. Satu-satunya bukti yang kita punya adalah puisi mereka.
Mari kita bergunjing tentang hal itu. Sastra, asyik juga kita gunjingkan, bukan? Rasanya ini bukan pergunjingan yang bikin dosa.
Nirwan sepertinya sedang tak percaya pada ilham. Ia tak percaya pada gerak hati yang membuat penyair menuliskan sesuatu, mendorong penyair untuk menggubah puisi.
Baginya puisi semata-mata "pekerjaan" dan pergulatan dengan bahasa. Ia dalam hal ini tampaknya mengutamakan bentuk. Betul itu, dan bagi saya bahasa itu tak lain adalah wadah. Puisi, itu selalu terdiri atas dua hal bentuk dan isi. Itu sebabnya, isi puisi bisa dipindahkan ke bentuk lain (tentu tanpa membawa wadahnya): lukisan misalnya, atau gubahan musik.
Ilham bukan berarti bisikan dewa atau Tuhan. Kenapa orang-orang memandang rembulan sempurna, lalu sebagaian melupakan kesan yang tertangkap hati dari peristiwa itu dan sebagian terilhami menuliskannya dalam sajak? Ini saya kira hanya bisa dijelaskan dengan Ilham. Ilham itu adalah apa yang menggerakkan hati. Ilham bukan bulan purnamanya itu. Itu hanya penyebab timbulnya ilham.
Jika tak percaya pada ilham: bagaimana Nirwan menjelaskan kenapa ia menulis sajak ketika sahabatnya meninggal? Kenapa ia tergerak menuliskan sajak untuk itu? Kenapa keharuan itu menyentuh hatinya, lalu ia bikin sajak? Kenapa untuk kematian sahabatnya yang lain dia tidak tergerak untuk menuliskan sajak juga?
Saya teringat bagaimana Matsnawi mulai digarap oleh Rumi. Di bawah pohon dengan seorang muridnya, ia mengeluarkan sesuatu dari lipatan surban: secarik kertas. Ia bacakan apa yang ia tulis di sana, lalu ia minta muridnya menyalin. Lalu, sang murid mencatat aja apa yang kemudian ia bacakan. Begitu seterusnya, secarik kertas adalah awalnya saja. Selanjutnya, Rumi tidak "menulis" syair. Ia begitu saja mengeluarkan apa yang ada di kepalanya. Rumi betul-betul menyair. Rumi tidak "mengerjakan syair", jika yang dimaksud adalah bergulat dengan bahasa. Ia bergulat dengan ide syairnya. Ia menggarap syairnya. Rumi berada dalam keadaan yang terus-menerus terilhami.
:: bersambung.
Mari kita bergunjing tentang hal itu. Sastra, asyik juga kita gunjingkan, bukan? Rasanya ini bukan pergunjingan yang bikin dosa.
Nirwan sepertinya sedang tak percaya pada ilham. Ia tak percaya pada gerak hati yang membuat penyair menuliskan sesuatu, mendorong penyair untuk menggubah puisi.
Baginya puisi semata-mata "pekerjaan" dan pergulatan dengan bahasa. Ia dalam hal ini tampaknya mengutamakan bentuk. Betul itu, dan bagi saya bahasa itu tak lain adalah wadah. Puisi, itu selalu terdiri atas dua hal bentuk dan isi. Itu sebabnya, isi puisi bisa dipindahkan ke bentuk lain (tentu tanpa membawa wadahnya): lukisan misalnya, atau gubahan musik.
Ilham bukan berarti bisikan dewa atau Tuhan. Kenapa orang-orang memandang rembulan sempurna, lalu sebagaian melupakan kesan yang tertangkap hati dari peristiwa itu dan sebagian terilhami menuliskannya dalam sajak? Ini saya kira hanya bisa dijelaskan dengan Ilham. Ilham itu adalah apa yang menggerakkan hati. Ilham bukan bulan purnamanya itu. Itu hanya penyebab timbulnya ilham.
Jika tak percaya pada ilham: bagaimana Nirwan menjelaskan kenapa ia menulis sajak ketika sahabatnya meninggal? Kenapa ia tergerak menuliskan sajak untuk itu? Kenapa keharuan itu menyentuh hatinya, lalu ia bikin sajak? Kenapa untuk kematian sahabatnya yang lain dia tidak tergerak untuk menuliskan sajak juga?
Saya teringat bagaimana Matsnawi mulai digarap oleh Rumi. Di bawah pohon dengan seorang muridnya, ia mengeluarkan sesuatu dari lipatan surban: secarik kertas. Ia bacakan apa yang ia tulis di sana, lalu ia minta muridnya menyalin. Lalu, sang murid mencatat aja apa yang kemudian ia bacakan. Begitu seterusnya, secarik kertas adalah awalnya saja. Selanjutnya, Rumi tidak "menulis" syair. Ia begitu saja mengeluarkan apa yang ada di kepalanya. Rumi betul-betul menyair. Rumi tidak "mengerjakan syair", jika yang dimaksud adalah bergulat dengan bahasa. Ia bergulat dengan ide syairnya. Ia menggarap syairnya. Rumi berada dalam keadaan yang terus-menerus terilhami.
:: bersambung.
Seorang Tubuhku
JAUH sekali tubuhku, membawaku sampai padamu
Tubuhku adalah sebuah alamat, bertahun-tahun
dihuni orang yang salah, dia yang tak pernah
tahu, selalu kembali semua surat yang ia poskan,
dengan catatan: si penerima tak mengenal Anda!
*
Ingin sekali tubuhku, membawamu sampai padaku
Tubuhku adalah sebuah rumah, dengan selipat
sajadah. Di ruang paling bimbang, aku seperti
sedang menunggu, seseorang yang mungkin datang
lalu mengajak sembahyang. Aku, bayang-bayang,
sedih paling seduh, dan pedih yang tak juga sudah:
kami adalah barisan makmum menunggu, saf yang
semakin rapat, semakin lurus, dan semakin makin.
*
Letih sekali tubuhku mengengkaukan aku padamu.
Tubuhku adalah jalan panjang. Waktu melintas
di situ. Pada setiap ubah-arah, ia buat tanda:
di mata ia kecupkan lebat tangisan; di telapak
tangan ia telusuri garis kecemasan; di leher
ia kenali bau tanah hutan sehabis kebakaran; di
bibir ia rasakan sisa getar doa yang kupinta ketika
munajah seperti sepertiga malam, malam semalam.
Tubuhku adalah sebuah alamat, bertahun-tahun
dihuni orang yang salah, dia yang tak pernah
tahu, selalu kembali semua surat yang ia poskan,
dengan catatan: si penerima tak mengenal Anda!
*
Ingin sekali tubuhku, membawamu sampai padaku
Tubuhku adalah sebuah rumah, dengan selipat
sajadah. Di ruang paling bimbang, aku seperti
sedang menunggu, seseorang yang mungkin datang
lalu mengajak sembahyang. Aku, bayang-bayang,
sedih paling seduh, dan pedih yang tak juga sudah:
kami adalah barisan makmum menunggu, saf yang
semakin rapat, semakin lurus, dan semakin makin.
*
Letih sekali tubuhku mengengkaukan aku padamu.
Tubuhku adalah jalan panjang. Waktu melintas
di situ. Pada setiap ubah-arah, ia buat tanda:
di mata ia kecupkan lebat tangisan; di telapak
tangan ia telusuri garis kecemasan; di leher
ia kenali bau tanah hutan sehabis kebakaran; di
bibir ia rasakan sisa getar doa yang kupinta ketika
munajah seperti sepertiga malam, malam semalam.
Friday, October 16, 2009
Dua Negeri
Sajak Naomi Shihab Nye
Kulit ingat berapa lama tahun-tahun tumbuh,
ketika kulit tak tersebntuh, ada lorong kelabu
kesendirian, bulu lepas dari ekor seekor
burung, berputar-putar pada langkah selangkah,
tersapu hilang, kaki seseorang yang tak pernah
melihat itu adalah bulu. Kulit menyantap, berjalan,
tidur sendiri, tahu bagaimana melambaikan
tangan-sampai-jumpa-lagi. Tapi kulit merasakan
itu tak pernah tampak, tak pernah tertandai
sebagai pulau di peta, mengendus bagai kota,
melenggang bagai kota, gemerlap kubah masjid
dan ratusan koridor kayumanis dan tali-temali.
Kulit punya harapan, itulah yang telah dibuatnya.
Menenteramkan wilayah rawan, membuka jalan.
Cinta berarti engkau bernafas di dua negeri.
Dan kulit ingat -- sutera, rumput berduri,
dalam di relung kantong, di mana kulit simpan rahasia.
Bahkan kini, ketika kulit tak lagi sendiri,
dia kenang arti bersendiri dan menerimakasih pada
sesuatu yang lebih luas, ada pelancong di sana,
orang-orang bertandang wilayah ke wilayah, yang
lebih luas dari punya mereka sendiri.
Kulit ingat berapa lama tahun-tahun tumbuh,
ketika kulit tak tersebntuh, ada lorong kelabu
kesendirian, bulu lepas dari ekor seekor
burung, berputar-putar pada langkah selangkah,
tersapu hilang, kaki seseorang yang tak pernah
melihat itu adalah bulu. Kulit menyantap, berjalan,
tidur sendiri, tahu bagaimana melambaikan
tangan-sampai-jumpa-lagi. Tapi kulit merasakan
itu tak pernah tampak, tak pernah tertandai
sebagai pulau di peta, mengendus bagai kota,
melenggang bagai kota, gemerlap kubah masjid
dan ratusan koridor kayumanis dan tali-temali.
Kulit punya harapan, itulah yang telah dibuatnya.
Menenteramkan wilayah rawan, membuka jalan.
Cinta berarti engkau bernafas di dua negeri.
Dan kulit ingat -- sutera, rumput berduri,
dalam di relung kantong, di mana kulit simpan rahasia.
Bahkan kini, ketika kulit tak lagi sendiri,
dia kenang arti bersendiri dan menerimakasih pada
sesuatu yang lebih luas, ada pelancong di sana,
orang-orang bertandang wilayah ke wilayah, yang
lebih luas dari punya mereka sendiri.
Darah
Sajak Naomi Shihab Nye
"Arab sebenarnya tahu cara menangkap lalat dengan tangannya,"
ayahku bilang begitu. Dan dia membuktikannya,
memerangkap serta-merta, sang serangga pendengung itu,
si tuan rumah terpana, pemukul lalat di tangannya.
Pada musim semi telapak kami mengelupas bagai ular.
Arab sebenarnya percaya semangka bisa sembuhkan 50 penyakit.
Aku mengubah semua, agar serasi seperistiwa.
Beberapa tahun lalu, ada gadis mengetuk,
dia ingin bertemu Arab sebenarnya.
Aku bilang tak ada, di sini tak ada.
Lalu, ayahku bilang padaku, dia Arab sebenarnya,
"Shihab" - "bintang kembara"--
nama baik, dipinjamkan angkasa.
Sekali waktu aku bilang, "Kalau mati, kita kembalikan ke sana?"
Ayahku bilang, itulah yang diyakin Arab sebenarnya.
Hari ini berita utama membeku di darahku.
Bocah Palestina menjuntaikan truk mainan di halaman utama.
Tak berumah buah kurma, tragedi berakar ngeri ini
terlalu raksasa buat kita. Bendera apa bisa kita kibarkan?
Aku kibarkan bendera batu dan bebijian,
taplak meja bersulam biru.
Aku memanggil ayahku, kamu baca bersama itu berita.
Ini buatnya sungguh sudah terlalu,
tak terucap dengan dua bahasa di lidahnya.
Aku berkendara mencari lembu, domba,
mengajak mereka memohon ke angkasa:
Siapa yang menyerukan perabadan?
Di mana hati yang menangis bisa menggembala?
Sekarang, apa yang bisa dilakuan Arab yang sebenarnya?
"Arab sebenarnya tahu cara menangkap lalat dengan tangannya,"
ayahku bilang begitu. Dan dia membuktikannya,
memerangkap serta-merta, sang serangga pendengung itu,
si tuan rumah terpana, pemukul lalat di tangannya.
Pada musim semi telapak kami mengelupas bagai ular.
Arab sebenarnya percaya semangka bisa sembuhkan 50 penyakit.
Aku mengubah semua, agar serasi seperistiwa.
Beberapa tahun lalu, ada gadis mengetuk,
dia ingin bertemu Arab sebenarnya.
Aku bilang tak ada, di sini tak ada.
Lalu, ayahku bilang padaku, dia Arab sebenarnya,
"Shihab" - "bintang kembara"--
nama baik, dipinjamkan angkasa.
Sekali waktu aku bilang, "Kalau mati, kita kembalikan ke sana?"
Ayahku bilang, itulah yang diyakin Arab sebenarnya.
Hari ini berita utama membeku di darahku.
Bocah Palestina menjuntaikan truk mainan di halaman utama.
Tak berumah buah kurma, tragedi berakar ngeri ini
terlalu raksasa buat kita. Bendera apa bisa kita kibarkan?
Aku kibarkan bendera batu dan bebijian,
taplak meja bersulam biru.
Aku memanggil ayahku, kamu baca bersama itu berita.
Ini buatnya sungguh sudah terlalu,
tak terucap dengan dua bahasa di lidahnya.
Aku berkendara mencari lembu, domba,
mengajak mereka memohon ke angkasa:
Siapa yang menyerukan perabadan?
Di mana hati yang menangis bisa menggembala?
Sekarang, apa yang bisa dilakuan Arab yang sebenarnya?
San Antonio
Sajak Naomi Shihab Nye
Malam ini aku tak ingin pergi dari namamu,
serangkai lembut huruf hidup
suara yang diam di dalam kepalaku.
Engkau sedang tidur, ketika aku sampai.
Aku berdiri di samping ranjangmu
menatap sarung tilam itu perlahan bangkit
Aku tahu remang cahaya apa yang
membuat engkau bertukar rupa.
Yaitu ketika aku merasa
jalan raya meluncur keluar dari tanganku.
Aku terkenang lelaki tua
di sisi barat kafe,
menekuri domino seperti pukau sihir.
Yaitu ketika kemudian aku tahu,
seperti perempuan menatap halaman belakang,
Aku tak bisa pergi dari engkau, atau
menemukan orang lain yang bisa lebih kucintai.
Malam ini aku tak ingin pergi dari namamu,
serangkai lembut huruf hidup
suara yang diam di dalam kepalaku.
Engkau sedang tidur, ketika aku sampai.
Aku berdiri di samping ranjangmu
menatap sarung tilam itu perlahan bangkit
Aku tahu remang cahaya apa yang
membuat engkau bertukar rupa.
Yaitu ketika aku merasa
jalan raya meluncur keluar dari tanganku.
Aku terkenang lelaki tua
di sisi barat kafe,
menekuri domino seperti pukau sihir.
Yaitu ketika kemudian aku tahu,
seperti perempuan menatap halaman belakang,
Aku tak bisa pergi dari engkau, atau
menemukan orang lain yang bisa lebih kucintai.
Wednesday, October 14, 2009
Di Kamar Hotel
INI boleh dimulai dari apa saja.
Kau didihkan air, demi segelas teh seduh,
atau kopi, untuk menjamu diri sendiri.
Bukankah, di kamar ini, kau adalah tuan
yang lelah dan juga tamu yang sedih?
Atau kau cari arah kiblat yang biasanya
mereka sembunyikan di plafon itu. Lalu
kau salatlah. Singkat saja, tak bersajadah.
Kau tak tahu, ada yang ingin sekali
menjadi makmum di belakangmu,
mengajakmu sembahyang berjamaah.
Atau kau telepon petugas room service,
memesan apa yang berhasil menipumu dan
laparmu di lembar menu itu. Sepanjang
siang tadi, kau bertahan tetap puasa.
Atau kau hidupkan televisi. TV-One atau
Metro-TV, apa bedanya? Toh, bencana itu
adalah bencana yang sama? Duka itu adalah
duka yang sama? Tangis itu adalah tangis
yang sama. Dan kau tak di sana. Kau jauh
dari episentrum itu. Kau yang juga tak mampu
meredam gempa di dada dan kepalamu.
Atau?
Ah, ini boleh dimulai dari mana saja.
Toh, segalanya akan berujung sama: Kau
tak tahu apakah ini telah berakhir atau masih
akan lama?
Kau didihkan air, demi segelas teh seduh,
atau kopi, untuk menjamu diri sendiri.
Bukankah, di kamar ini, kau adalah tuan
yang lelah dan juga tamu yang sedih?
Atau kau cari arah kiblat yang biasanya
mereka sembunyikan di plafon itu. Lalu
kau salatlah. Singkat saja, tak bersajadah.
Kau tak tahu, ada yang ingin sekali
menjadi makmum di belakangmu,
mengajakmu sembahyang berjamaah.
Atau kau telepon petugas room service,
memesan apa yang berhasil menipumu dan
laparmu di lembar menu itu. Sepanjang
siang tadi, kau bertahan tetap puasa.
Atau kau hidupkan televisi. TV-One atau
Metro-TV, apa bedanya? Toh, bencana itu
adalah bencana yang sama? Duka itu adalah
duka yang sama? Tangis itu adalah tangis
yang sama. Dan kau tak di sana. Kau jauh
dari episentrum itu. Kau yang juga tak mampu
meredam gempa di dada dan kepalamu.
Atau?
Ah, ini boleh dimulai dari mana saja.
Toh, segalanya akan berujung sama: Kau
tak tahu apakah ini telah berakhir atau masih
akan lama?
Tuesday, October 13, 2009
Di Lobi Hotel
APA yang kita bayangkan tentang kamar?
Nomor yang hanya akan kita ingat sebentar. Kunci yang kenapa kita terima dengan tangan gemetar? Semacam kecemasan selamat datang - yang di sajak ini, ingin sekali kutulis dalam tanda petik atau tanda kurung. Tapi, apa gunanya mengistimewakan perasaan yang rutin itu? Apa bedanya dengan pilihan single bed atau doube bed, sebab toh pada akhirnya kita hanya akan sendiri, berpeluk dengan sunyi sendiri, setelah menutup tirai tebal jendela itu, semacam sembunyi dari risau sendiri?
Apa yang kita harapkan dari sarapan?
Menu rutin yang buru-buru kita habiskan. Aku mungkin akhirnya hanya tergembirakan oleh jus jambu biji. Manis-masamnya itu, persis seperti apa yang dulu kucuri, di nakal masa kecilku. Aha, berapa lama ya aku sudah tak pernah mencuri lagi? Aduh, perasaan itu, seperti kata asing, yang dalam sajak ini harus kutulis dengan teks huruf miring. Tapi, apa gunanya juga membedakannya? Bukankah semuanya bisa tiba-tiba terasa jadi sangat asing? Terasa sangat huruf miring?
Nomor yang hanya akan kita ingat sebentar. Kunci yang kenapa kita terima dengan tangan gemetar? Semacam kecemasan selamat datang - yang di sajak ini, ingin sekali kutulis dalam tanda petik atau tanda kurung. Tapi, apa gunanya mengistimewakan perasaan yang rutin itu? Apa bedanya dengan pilihan single bed atau doube bed, sebab toh pada akhirnya kita hanya akan sendiri, berpeluk dengan sunyi sendiri, setelah menutup tirai tebal jendela itu, semacam sembunyi dari risau sendiri?
Apa yang kita harapkan dari sarapan?
Menu rutin yang buru-buru kita habiskan. Aku mungkin akhirnya hanya tergembirakan oleh jus jambu biji. Manis-masamnya itu, persis seperti apa yang dulu kucuri, di nakal masa kecilku. Aha, berapa lama ya aku sudah tak pernah mencuri lagi? Aduh, perasaan itu, seperti kata asing, yang dalam sajak ini harus kutulis dengan teks huruf miring. Tapi, apa gunanya juga membedakannya? Bukankah semuanya bisa tiba-tiba terasa jadi sangat asing? Terasa sangat huruf miring?
Diskusi tentang Jantung dan Atap
Diskusi ini dua sesi, dimulai pukul 4 sore.
Dua buku puisi Teman-temanku dari Atap Bahasa karya Afrizal Malna (Lafadl Pustaka, Yogyakarta, 2008) dan Jantung Lebah Ratu karya Nirwan Dewanto (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008) menerima dua penghargaan sastra pada tahun lalu. Buku pertama ditahbiskan sebagai buku sastra terbaik 2008 versi majalah Tempo, dan buku kedua memperoleh penghargaan Khatulistiwa Literary Award.
Sementara penghargaan sastra hanyalah salah satu cara untuk menilai buku sastra—mendudukkannya berdasarkan kriteria tertentu dalam khazanah sastra yang bersangkutan—yang diperlukan sesungguhnya lebih dari itu. Yang lebih penting adalah menilik ke dalam karya itu sendiri, menguji apa sumbangannya untuk perkembangan sastra dan bahasa.
Diskusi ini berniat menyajikan kritik sastra, khususnya kritik puisi, yang sangat jarang dikerjakan dewasa ini. Para pembicara akan menyajikan uraian tertulis tentang aspek keperajinan (craft) puisi maupun “kelainan” sekaligus keterhubungan kedua buku puisi termaksud dengan khazanah sastra yang sudah ada. Dengan kata lain, mereka akan mengajukan argumen tentang kehadiran dua buku itu dalam sastra (berbahasa) Indonesia terkini.
Adi Wicaksono (penulis seni) dan Bramantyo Prijosusilo (seniman) akan mengulas Teman-temanku dari Atap Bahasa, sedangkan Bagus Takwin (penulis) dan Zen Hae (penyair) akan menilik Jantung Lebah Ratu.
Diskusi 2 Buku Puisi
Serambi Salihara
Senin, 19 Oktober 2009
Pukul 16:00 WIB TEMAN-TEMANKU DARI ATAP BAHASA karya Afrizal Malna
Pembicara: Adi Wicaksono & Bramantyo Prijosusilo
Pukul 19:00 WIB JANTUNG LEBAH RATU karya Nirwan Dewanto
Pembicara: Bagus Takwin & Zen Hae
Moderator: Nirwan Ahmad Arsuka (untuk dua sesi)
GRATIS
Dua buku puisi Teman-temanku dari Atap Bahasa karya Afrizal Malna (Lafadl Pustaka, Yogyakarta, 2008) dan Jantung Lebah Ratu karya Nirwan Dewanto (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008) menerima dua penghargaan sastra pada tahun lalu. Buku pertama ditahbiskan sebagai buku sastra terbaik 2008 versi majalah Tempo, dan buku kedua memperoleh penghargaan Khatulistiwa Literary Award.
Sementara penghargaan sastra hanyalah salah satu cara untuk menilai buku sastra—mendudukkannya berdasarkan kriteria tertentu dalam khazanah sastra yang bersangkutan—yang diperlukan sesungguhnya lebih dari itu. Yang lebih penting adalah menilik ke dalam karya itu sendiri, menguji apa sumbangannya untuk perkembangan sastra dan bahasa.
Diskusi ini berniat menyajikan kritik sastra, khususnya kritik puisi, yang sangat jarang dikerjakan dewasa ini. Para pembicara akan menyajikan uraian tertulis tentang aspek keperajinan (craft) puisi maupun “kelainan” sekaligus keterhubungan kedua buku puisi termaksud dengan khazanah sastra yang sudah ada. Dengan kata lain, mereka akan mengajukan argumen tentang kehadiran dua buku itu dalam sastra (berbahasa) Indonesia terkini.
Adi Wicaksono (penulis seni) dan Bramantyo Prijosusilo (seniman) akan mengulas Teman-temanku dari Atap Bahasa, sedangkan Bagus Takwin (penulis) dan Zen Hae (penyair) akan menilik Jantung Lebah Ratu.
Di Ruang Tunggu Keberangkatan
BANYAK sekali duka di sini. Meriak. Mengapung. Dari mata ke mata.
Sejak memeriksakan tiket tadi, kita menyiapkan diri untuk tak tenggelam di genangan itu juga.
Kita tahu, perihal itu diumumkan segera. Mempertegas bahwa waktu keberangkatan, nomor penerbangan, dan kota tujuan kita berbeda.
Aha! Masih juga kita cemas, melihat lekas ke selembar kertas di antara genggaman tangan: kertas yang sejak tadi sudah juga basah, seperti mata, digenangi duka.
Sejak memeriksakan tiket tadi, kita menyiapkan diri untuk tak tenggelam di genangan itu juga.
Kita tahu, perihal itu diumumkan segera. Mempertegas bahwa waktu keberangkatan, nomor penerbangan, dan kota tujuan kita berbeda.
Aha! Masih juga kita cemas, melihat lekas ke selembar kertas di antara genggaman tangan: kertas yang sejak tadi sudah juga basah, seperti mata, digenangi duka.
Sunday, October 11, 2009
Setelah Pesawat Mengangkasa
SEPERTI terisap ke ruang asing.
Kita mengingat diri sendiri dengan nomor di boarding pass dan mencocokkannya dengan angka pada kursi.
Semua harus dilepas, semua harus disimpan, jauh dari jangkauan tangan (tapi tidak dari ingatan, bukan?)
***
Seperti tercampak di barak tahanan.
Telepon harus dimatikan, karena hanya akan menakut-nakuti dan mengganggu syaraf navigasi.
Dan selamat tinggal itu tadi seperti dikecupkan dari balik jeruji baja, terbekaskan di sana (di tangan yang mengulur tak berdaya.)
Kita mengingat diri sendiri dengan nomor di boarding pass dan mencocokkannya dengan angka pada kursi.
Semua harus dilepas, semua harus disimpan, jauh dari jangkauan tangan (tapi tidak dari ingatan, bukan?)
***
Seperti tercampak di barak tahanan.
Telepon harus dimatikan, karena hanya akan menakut-nakuti dan mengganggu syaraf navigasi.
Dan selamat tinggal itu tadi seperti dikecupkan dari balik jeruji baja, terbekaskan di sana (di tangan yang mengulur tak berdaya.)
Saturday, October 10, 2009
Kita Hanya Ingin Menyeberang
DARI sisi ke sisi, trotoar yang tidak saling menyapa. Ini jalan yang lebar dan ramai, bagi ragu kaki kita yang gemetar, merandai.
Dari ingin ke ingin, hati yang hendak saling menyesuaikan. Ini jarak yang tak terseberangkan? Ini jauh yang tak terdekatkan?
Dari ingin ke ingin, hati yang hendak saling menyesuaikan. Ini jarak yang tak terseberangkan? Ini jauh yang tak terdekatkan?
Friday, October 9, 2009
Sebelum Pesawat Mendarat
KITA mendengarkan, pemberitahuan yang rutin itu: ketinggian jelajah, kecepatan tempuh, tabiat cuaca, jangkau jarak pandang, sabuk pengaman yang harus diketatkan, dan waktu yang harus atau tak harus disesuaikan.
Kita menenteramkan, cemas yang rutin itu: bagaimana kita akan saling menyapa dan bertanya soal kabar, peluk rapuh di ruang kedatangan, salat yang amat terlambat di musala bandara, dan tiket kepulangan yang sudah harus dipastikan lagi.
Kita menenteramkan, cemas yang rutin itu: bagaimana kita akan saling menyapa dan bertanya soal kabar, peluk rapuh di ruang kedatangan, salat yang amat terlambat di musala bandara, dan tiket kepulangan yang sudah harus dipastikan lagi.
Kita Tak Punya Alamat di Kota Ini
KITA tak punya alamat di kota ini.
Kita hanya akan singgah sebentar,
menenangkan gemetar jarum tua jam,
sejak di pesawat itu disebutkan
bahwa, "...tak ada perbedaan waktu
antara kota ini, kotamu dan kotaku."
Padahal, kita telah tahu, bahwa waktu
tak pernah sama, tak bersama kita.
Mungkin dengan begitu kita bisa
mengerti arti jauh, dan terbuang,
hilang atau sesat. Kita sedang lari,
ke arah waktu: dia sang penentu itu.
Kita tak punya alamat di kota ini.
Tapi, kita punya tempat, di mana kita
bisa bertemu dengan waktu, lalu kita
hitung apa saja yang mungkin, apa
saja yang kita ingin itu jadi mungkin.
Kita hanya akan singgah sebentar,
menenangkan gemetar jarum tua jam,
sejak di pesawat itu disebutkan
bahwa, "...tak ada perbedaan waktu
antara kota ini, kotamu dan kotaku."
Padahal, kita telah tahu, bahwa waktu
tak pernah sama, tak bersama kita.
Mungkin dengan begitu kita bisa
mengerti arti jauh, dan terbuang,
hilang atau sesat. Kita sedang lari,
ke arah waktu: dia sang penentu itu.
Kita tak punya alamat di kota ini.
Tapi, kita punya tempat, di mana kita
bisa bertemu dengan waktu, lalu kita
hitung apa saja yang mungkin, apa
saja yang kita ingin itu jadi mungkin.
Tuesday, October 6, 2009
"Telimpuh" di 10 Besar KLA 2009
Di bawah adalah judul-judul dan nama-nama penulis yang karyanya terpilih dalam 10 Besar Khatulistiwa Literary Award ke-9, 2009.
Dalam urutan acak:
10 Besar Puisi:
1.Kolam/Sapardi Djoko Damono
2. Akar Berpilin/Gus Tf Sakai
3. Dongeng Anjing Api/Sindu Putra
4. Partitur, Sketsa, Potret dan Prosa/Wendoko
5. Perahu Berlayar Sampai Bintang/Cecep Syamsul Hari
6. Pastoral Kupu2/Made Suantha
7. Telimpuh/Hasan Aspahani
8. Pemetik Bintang/Soni Farid Maulana
9. Lagu Cinta Para Pendosa/Zaim Rofiqi
10. Puan Kecubung/Jimmy Maruli Alfian
10 Besar Prosa:
1. Meredam Dendam/Gerson Poyk/Novel
2. Sutasoma/Cok Sawitri/Novel
3. Lembata/F.Rahadi/Novel
4. Lacrimosa/Dinar Rahayu/Kump Cerita
5. Tanah Tabu/Anindita Thayf
/Novel
6. Juru Masak/Damhuri Muhammad/Kump Cerita.
7. Bulan Lebam/Sihar Simatupang/Novel
8. Kidung/M. Sobary/Novel
9. Usaha Menjadi sakti/Gunawan Maryanto/Kump Cerita
10. Metropolis/Windi Ramadhina/Novel
10 Besar Pengarang Muda Berbakat:
1. Fortunata/Ria N. Badaria
2. Separuh Bintang/Evline Kartika
3. Aku Lelah Menjadi Cantik/Koko P. Bhairawa
4. Goloso Geloso/Tanti Susilawati
5. Etzhara/Rino Styanto
6. Lika Liku Luka/Celinereyssa
7. Bintang Bunting/Valiant Budi
8. Ai/Winna Efendi
9. Tanril/Nafta S. Meika
10. Kartini Nggak Sampai Eropa/Sammaria
Pengumuman 5 Besar Khatulistiwa Literary Award akan segera dilakukan dalam waktu dekat.
Khusus kategori Prosa, karya-karya novel akan dinilai oleh sebuah panel juri yang dipilih oleh penerbit Metropoli D'Asia, salah satu penerbit terbesar di Italia. Dan sebuah hadiah khusus akan diberikan pada malam Anugerah Sastra Khatulistiwa di Plaza Senayan, jam 7 pm, tanggal 10 Nopember, 2009.
Langit Matamu
PADANG mataku, menyeberangkan pandang: ke langit matamu. Aku kira akan segera datang mendung - sebab yang terbentang padaku adalah hamparan murung - lalu hujan yang tak terbendung. Tapi, ah, sejak dulu, kita abai pada tanda-tanda, kita tak pandai menebak cuaca.
Monday, October 5, 2009
Surat Pengakuan
TUNDUK pada cinta bukan tindak pidana. Tapi, apakah aku peduli? Tetap saja, tak berjatah jatuh cintaku padamu, tak peduli, bila cinta ini membawa aku ke segala penjuru atau ke segali penjara.
Bukan Hujan Biasa
SEPERTI ada yang memindahkan mendung di langit itu, ke mata, lalu diam-diam merintikkannya, menitikkannya. Kaca jendela, yang terbiasa ditempiasi basah itu, tahu bahwa itu bukan hujan biasa.
Friday, October 2, 2009
Tawa Ular
: Dony P.H. dan M.A. Mansyur
KENAPA ular tak pernah lagi tertawa?
Sebab itu sudah ia habiskan dulu saat
di surga, sesaat setelah sebuah peristiwa
yang hingga kini ia sesali senantiasa.
Lalu ia meminta, "Beri aku sesuatu
di lidah dan mulutku." Maka, terciptalah
suara asing dan aneh itu. Kita menyebut
itu sebagai desis. Sebenarnya itu adalah
pertanyaan, yang tak putus ia ajukan.
"Nantilah. Nanti saja," kata-Nya. "Aku akan
jawab semuanya. Aku akan jawab semua".
KENAPA ular tak pernah lagi tertawa?
Sebab itu sudah ia habiskan dulu saat
di surga, sesaat setelah sebuah peristiwa
yang hingga kini ia sesali senantiasa.
Lalu ia meminta, "Beri aku sesuatu
di lidah dan mulutku." Maka, terciptalah
suara asing dan aneh itu. Kita menyebut
itu sebagai desis. Sebenarnya itu adalah
pertanyaan, yang tak putus ia ajukan.
"Nantilah. Nanti saja," kata-Nya. "Aku akan
jawab semuanya. Aku akan jawab semua".
Thursday, October 1, 2009
Gegap Gempa
DIA mungkin hanya ingin menyapa
dengan hai! Darimana? Apa kabar?
Dengan bahasa yang amat berbeda
Dia mungkin hanya ingin bertanya,
dia panggil aku, kamu, kita, berulang-
kala, tapi kita tak menghiraukannya
Dia pasti hanya ingin sebentar saja,
mempermisikan diri, dengan banyak maaf,
dan gerik yang amat berhati-hati.
dengan hai! Darimana? Apa kabar?
Dengan bahasa yang amat berbeda
Dia mungkin hanya ingin bertanya,
dia panggil aku, kamu, kita, berulang-
kala, tapi kita tak menghiraukannya
Dia pasti hanya ingin sebentar saja,
mempermisikan diri, dengan banyak maaf,
dan gerik yang amat berhati-hati.
20. Dia akan Terus Merawat Cintaku Padamu
Ragu meningkahi ragu, menguji yang lampau,
Sebab ragu itu yang menuntunku menujumu
Aku mencintai waktu, dan mencintai engkau,
sebab waktu yang mengajariku mencintaimu
Nanti, ragu itu di hati menyinggasanakan diri
dan selalu saja ada pewaris sabar menunggu
aku tahu, waktu yang akan membunuhku, nanti,
tapi, dia akan terus merawat cintaku padamu
Sebab ragu itu yang menuntunku menujumu
Aku mencintai waktu, dan mencintai engkau,
sebab waktu yang mengajariku mencintaimu
Nanti, ragu itu di hati menyinggasanakan diri
dan selalu saja ada pewaris sabar menunggu
aku tahu, waktu yang akan membunuhku, nanti,
tapi, dia akan terus merawat cintaku padamu
19. Makinlah Melekang Tubuh yang Gersang
Pabila lagu rawan, maka gumamku adalah sunyi yang hebat,
Serta panggilan pedih serigala: sebuah seru, sebait lolong
Pabila aku awan, maka hujanku adalah marah yang lebat,
Karena engkau selalu berdoa: kemaraukan saja aku, tolong
Aku sekarang mengerti lagu batin, senandung sedendang
impian dan igau, melelapkan lalu membangunkan bimbang
Aku sekarang bagai di bumi tak bermusim, berladang karang
hujan dan kemarau, makinlah melekang tubuh yang gersang
Serta panggilan pedih serigala: sebuah seru, sebait lolong
Pabila aku awan, maka hujanku adalah marah yang lebat,
Karena engkau selalu berdoa: kemaraukan saja aku, tolong
Aku sekarang mengerti lagu batin, senandung sedendang
impian dan igau, melelapkan lalu membangunkan bimbang
Aku sekarang bagai di bumi tak bermusim, berladang karang
hujan dan kemarau, makinlah melekang tubuh yang gersang
Subscribe to:
Posts (Atom)