AKU sudah kenal hujan itu sebelum aku kenal nama bulan-bulan. Aku pernah bertanya, "siapakah namamu, Hujan?" Tapi, aku tak pernah bisa mendengar jawaban hujan. Saya tak percaya bahwa hujan itu tidak punya nama. Dia mungkin tak mendengar pertanyaanku, karena ia sibuk mendengarkan suara-suaranya sendiri.
AKU kenal suara hujan. Aku mendengar jawaban atap ketika disapa hujan. Aku mendengar suara tawa pepohonan ketika digelitik hujan. Aku mendengar jejak langkah jalan ketika ia berkejaran dengan hujan. Aku berseru riang ketika hujan dengan lirikan matanya mengajakku bermain bersamanya di halaman, di bawah tatap cemas ibuku yang meningkap di jendela itu. Ah, senangnya, dan pada saat-saat seperti aku selalu lupa untuk bertanya, "siapakah namamu, Hujan?"