IA melihat tiga pasang sandal rumah,
seperti sapaan ramah mempersilakan singgah.
Lalu mereka berkisah, dengan volume suara rendah,
dan mengudap kacang tanah dari Pasar Palmerah.
       "Aku perlu Apartemen Mewah. Ah, tidak,"
ia lekas membantah. Kalimat itu tentu tidak pernah
ia ucapkan kepada si Abang gagah yang datang
dengan 3 ajudan dan jas mewah.
*
       IA mengukur jauh jarak pandang si Tuan Rumah,
jalan tempuh ke sekolah, tebal buku tentang negeri
yang lelah menjaga remah tanah, keping wilayah.
       "Sudahkah engkau baca sajak yang marah?
Penyair berambut panjang yang berteriak gagah,
mengajak menarik parang, menebas arah yang salah."
Di mana-mana orang menyimpan parang. Kenapa, ya?
Ia tahu, mereka berdua tak tahu. Tapi, juga
tak ingin berkata, "Ah, sudahlah. Sudahlah."
*
       MUNGKIn nanti ia akan membaca kisah tentang
negeri yang terancam pecah, di sebuah majalah
yang memuat artikel tentang seribu masalah, sejarah
yang bertubuh penuh luka, dengan bahasa yang mudah.
       "Seperti dulu, aku membaca negeri kecil
di Timur, daerah yang dijajah, di Rolling Stone, ya, itu
nama majalah, bukan kelompok rock and roll dengan
biduan yang gemar menjulurkan lidah, di mulut cawah."
*
       Tapi, musik adalah politik, katanya pada
tamunya, "Kau ingatkah? Lelaki yang menyanyikan lagu
di negeri di wilayah Barat, mengobarkan semangat, para
lelaki yang menyimpan parang yang lain, agar tidak
berkarat, sebab di matanya, merah, belum kering darah."