Friday, October 7, 2005

[Ruang Renung # 127] Berjarak, Berjarak, Berjarak

Image hosted by Photobucket.com

Meditation on The Harp, Salvador Dali



Berjarak, bukan berarti terpisah, apalagi terasing.

Puisi harus berjarak dari kenyataan. Puisi bukan sekadar potret dari kenyataan. Bukan tidak boleh dia menjadi semacam pemotret situasi, tapi potret yang baik bukan sekadar menampakkan wajah dari kenyataan yang ingin dipotret. Puisi harus menjadi potret yang hidup, yang bisa menampilkan emosi kenyataan, dengus nafas kenyataan, bahkan aroma kenyataan. Puisi, seperti kata Tardji, harus berada di atas kenyataan. Kalau kata sekadar mewakili adalah kenyataan, maka katanya, kata harus dibebaskan supaya tidak sekedar terjebak dalam kenyataan. Susah? Ya, Memang tidak gampang.

Puisi harus berjarak dengan otoritas di luarnya. Termasuk dengan penguasa. Penguasa bukan saja pemerintah. Banyak sekali penguasa-penguasa di luar puisi. Salah satu penguasa itu adalah makna yang membelenggu. Ketika puisi bebas dari penguasa makna, bukan berarti dia hidup dalam dunia tanpa makna. Dia harus bebas dari makna, supaya makna-makna lain bebas datang padanya. Banyak penguasa lain yang mengancam puisi, ingin menguasai puisi, ingin menjerat puisi, yang ingin membunuh puisi. Penguasa-penguasa itu tidak selalu pasang muka bengis. Ia bahkan bisa datang ke hadapan puisi dengan wajah manis. Angkuhkah puisi? Ya, memang di tengah persaingan yang keras, puisi harus berdiri teguh.

Puisi bahkan harus berjarak dengan penyairnya. Puisi yang sudah dilepas penyairnya dari rahim penciptaannya, bebas pergi ke mana saja. Menemui pembaca siapa saja. Oleh pembaca puisi tadi mungkin disukai, dipelihara, disucikan, atau sebaliknya dibenci, direndahkan. Si penyair boleh sesekali diminta penjelasan tentang puisi itu. Tapi, bukan berarti itu adalah satu-satunya penjelasan, juga bukan penjelasan yang paling benar.

Berjarak, bukan berarti terpisah, apalagi terasing.