Monday, June 20, 2005

[Ruang Renung # 111] Mengucup Bibirmu Semahuku

SAYA tak banyak membaca puisi ditulis dalam bahasa Melayu. Jarang sekali saya suka. Tapi tidak dengan puisi Mabulmaddin Shaiddin (Kota Belud, Sabah) di milis Sejuta Puisi. Saya tidak merasa asing dengan bahasa Melayu setelah membaca puisinya. Meskipun banyak sekali kata yang tidak saya akrabi.

Contohnya sajak ini:

TENTANG KITA

Apakah kepercayaan yang kubagi
masih tidak mencukupi
seperti derita
membenahi rumah biru dan dalamnya
penuh habuk dan debu
dan tanda-tanda gelita

Setelah puas, menghantarku cepat-cepat
ke arah beranda
memandang kali - airnya berbaur sepi
lagak petualang sepertiku tertawa
dalam pertarungan nyawa

Selesaikah?
rasa tertindas ingin tahu
lalu berteleku mengucup bibirmu
semahuku


KENAPA puisi ini berhasil sebagai puisi? Mari kita tandai kalimat-kalimat yang kuat.

1. Tanda-tanda gelita (hmmm, gelita maksudnya gelap. Kaitkan dengan bait sebelumnya. Imaji tentang rumah biru yang ingin dibenahi. Rumah yang penuh habuk dan debu).

2. Setelah puas (puas apa? berbenah rumah?); mengantar cepat ke arah beranda ; air kali yang berbaur dengan sepi (kenapa sepi? saya bayangkan airnya tidak mengalir. Menguatkan imaji sepi dan dingin, dan suasana yang mati); Lalu apa pula yang harus direbut sehingga harus mempertaruhkan nyawa? tapi itupun dihadapi dengan lagak tawa petualang. Wow!

3. Selesai? Tidak. Bagian akhir - dan biasanya begitulah sebuah puisi yang baik diakhiri - adalah bagian yang paling kuat. Ada Bibir yang dikucup semahuku , bukan karena nafsu tapi tertindas rasa ingin tahu.