/1/
Tanpa kaus, dia pergi berburu ke pasar loak,
"Aku mau mencari kaus yang desainnya norak.
Biarpun sedikit koyak, yang penting dipakainya masih enak.."
katanya pamit pada hiasan dinding di kamarnya: sebuah tengkorak.
/2/
Baru sampai di gerbang pasar, dia disambut sebuah teriak.
"Selamat datang, Penyair. Malam ini koleksi kaus kita amat banyak.
Silakan memilih, silakan diabrik-obrak."
/3/
Lalu si penyair pun tenggelam dalam lautan oblong.
Mula-mula ditemukannya kaus bergambar Kurt Cobain.
"Kok bau amis, nih?"
"Oh, itu memang masih asli. Ada bekas darah belum dicuci.
Kalau mau ada bonusnya: sebuah pistol, tinggal satu peluru."
"Ada kaus The Beatles, tidak?"
"Wah sudah habis.."
"Kapan?"
"Yesterday."
/4/
Maka si penyair pun makin dalam menyuruk ke belantara oblong.
Dijumpainya juga, kaus bergambar dua badut paling lucu.
Di bawahnya ada tulisan yang selalu berganti-ganti.
Kadang terbaca: Cobloslah kami...
Lalu berubah jadi: Bersatu untuk Kemajuan Rakyat...
Tiba-tiba saja berganti: Berjihadlah Memilih Kami...
Terus jadi tulisan: Sejahtera Bersama, Makmur Semua...
"Ini kaus tidak laku.
Kemarin dibagi-bagikan tapi tidak ada yang mau..."
"Anda kenal dengan dua badut itu?"
"Tidak, tapi katanya mereka berdua sekarang buta.
Karena ada yang mencoblos kedua matanya..."
"Coba perhatikan lidahnya..."
"Kenapa lidahnya?"
"Makin lama makin panjang."
"He he he. Itulah akibatnya, kalau kebanyakan dusta..."
/4/
Tengah malam, si penyair terkapar kelelahan.
Di tangannya tampak sebuah kaus warna hitam.
"Ini yang sudah lama saya idam-idam," katanya.
"Memangnya apa hebatnya?"
"Oh, ini kaus paling jujur. Jangan berani-berani pakai
kalau engkau ketombean. Jangan coba-coba mengoleksi,
kalau engkau tidak mengerti, apa artinya kegelapan..."
"Setahu saya, kaus itu pernah dipakai untuk syuting sebuah iklan?"
"Iklan syampo, kan?"
"Bukan, iklan jasa centeng, penjaga kuburan."
/5/
Di tengah tumpukan kaus bekas itu, sebenarnya ada
selembar kaus yang sangat ingin dipakai oleh si penyair.
Kaus putih yang di bagian punggungnya
tersablon kalimat seperti sebait puisi, begini:
Yang putih bukan hanya seprei peraduan.
Yang putih bukan hanya ranjang perawatan.
Yang putih bukan hanya warna kain kafan.