Sajak Pablo Neruda
Sang Dukacita, kumbang
dengan tujuh kaki pincang,
telur di jaring labalaba,
tikus berotak dungu,
kerangka anjing jalang:
di sini tak ada gerbang.
Jangan kau masuk bertandang.
Enyah.
Pergilah ke selatan
bawa kau punya payung sialan,
Pergilah ke utara
bawa kau punya gigi naga.
Ada penyair hidup di sini.
Tak pernah ada Duka di sini.
Tak boleh ada yang melintasi pintu ini.
Lewat jendelajendela
mengembus nafas dunia,
mawar merah segar,
bendera bersulam
kemenangan para pahlawan.
Tak ada.
Tak ada pintu terbuka.
Meliput rapat
sayap kelelawarmu,
hendak kuinjakinjak kelak
bulubulu jatuh dari mantelmu,
mau kusapu saja remah potongan
bangkaimu ke barat, timur, selatan, utara,
kelak hendak kutetak saja lehermu,
kelak hendak kejahit mati kelopak matamu,
kelak hendak kujerat rapat kain kafanmu,
Dukacita, dan kukubur daging busukmu
di sebuah musimsemi, di bawah pohon apel.
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Wednesday, June 29, 2005
Friday, June 24, 2005
[Ruang Renung 113] Diseberangkan Gerimis
ada gadis kecil diseberangkan gerimis
di tangan kanannya bergoyang payung
tangan kirinya mengibaskan tangis --
di pinggir padang ada pohon dan seekor burung
[GADIS KECIL, Sapardi Djoko Damono, 2001]
MARI kita tafsirkan sajak indah di atas. Saya tidak memasukkan sajak ini dalam top 20 sajak terbaik Sapardi. Tapi tetap saja memikat hati. Lihat bait pertama. Yang bukan penyair kawakan mungkin hanya akan menulis bait: ada gadis kecil menyebarang ketika gerimis. Kalimat yang sangat lurus yang gampang dituduh tidak sampai pada tingkat puisi. Dengan memuisikannya menjadi diseberangkan gerimis, maka makna pun jadi berlapis.
SAYA merasa tak salah kalau mengartikannya sebagai isyarat bahwa si gadis kecil itu sudah sangat akrab dengan gerimis. Menyeberangkan, adalah kata yang membuat akrab si gadis dan hujan. Seakan sudah lama kenal. Dan karena itu lebih jauh lagi saya bisa membuat kesimpulan si gadis adalah gelandangan yang tak punya rumah, dan saya lagi-lagi tak merasa bersalah dengan kesimpulan itu.
PFUUH, baru bait pertama. Saya terengah-engah memaknainya.***
di tangan kanannya bergoyang payung
tangan kirinya mengibaskan tangis --
di pinggir padang ada pohon dan seekor burung
[GADIS KECIL, Sapardi Djoko Damono, 2001]
MARI kita tafsirkan sajak indah di atas. Saya tidak memasukkan sajak ini dalam top 20 sajak terbaik Sapardi. Tapi tetap saja memikat hati. Lihat bait pertama. Yang bukan penyair kawakan mungkin hanya akan menulis bait: ada gadis kecil menyebarang ketika gerimis. Kalimat yang sangat lurus yang gampang dituduh tidak sampai pada tingkat puisi. Dengan memuisikannya menjadi diseberangkan gerimis, maka makna pun jadi berlapis.
SAYA merasa tak salah kalau mengartikannya sebagai isyarat bahwa si gadis kecil itu sudah sangat akrab dengan gerimis. Menyeberangkan, adalah kata yang membuat akrab si gadis dan hujan. Seakan sudah lama kenal. Dan karena itu lebih jauh lagi saya bisa membuat kesimpulan si gadis adalah gelandangan yang tak punya rumah, dan saya lagi-lagi tak merasa bersalah dengan kesimpulan itu.
PFUUH, baru bait pertama. Saya terengah-engah memaknainya.***
Satu-satunya Iklan yang Pernah Ada di Blog Ini
CD album GADIS KECIL berisi 11 lagu puisi Sapardi Djoko Damono:
Gadis Kecil
Dalam Bis
Hatiku Selembar Daun
Ketika Jari-jari Bunga Terbuka
Buat Ning
Hutan Kelabu Dalam Hujan
Sajak-sajak Kecil Tentang Cinta
Dalam Diriku
Nokturno
Hujan Bulan Juni
Aku Ingin
Harga Rp 50.000,- (setiap Rp 5000,-nya akan disumbangkan kepada anak-anak
yang kurang beruntung.) Untuk Jakarta dan sekitarnya untuk sementara ini baru bisa didapatkan di: 1. Wapress - Warung Apresiasi, kompleks Bulungan, Jakarta Selatan; 2. Toko Buku Yose Rizal - Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.
Atau hubungi no. cellphone 021-70407823 (Nana) dan email duaibu@hotmail.com untuk pemesanan langsung -- terutama bagi teman2 di luar Jakarta.
Salam manis,
Dua Ibu
[Reda Gaudiamo dan Tatyana]
Gadis Kecil
Dalam Bis
Hatiku Selembar Daun
Ketika Jari-jari Bunga Terbuka
Buat Ning
Hutan Kelabu Dalam Hujan
Sajak-sajak Kecil Tentang Cinta
Dalam Diriku
Nokturno
Hujan Bulan Juni
Aku Ingin
Harga Rp 50.000,- (setiap Rp 5000,-nya akan disumbangkan kepada anak-anak
yang kurang beruntung.) Untuk Jakarta dan sekitarnya untuk sementara ini baru bisa didapatkan di: 1. Wapress - Warung Apresiasi, kompleks Bulungan, Jakarta Selatan; 2. Toko Buku Yose Rizal - Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.
Atau hubungi no. cellphone 021-70407823 (Nana) dan email duaibu@hotmail.com untuk pemesanan langsung -- terutama bagi teman2 di luar Jakarta.
Salam manis,
Dua Ibu
[Reda Gaudiamo dan Tatyana]
Dongeng Penyair Pemburu Kaus Oblong
/1/
Tanpa kaus, dia pergi berburu ke pasar loak,
"Aku mau mencari kaus yang desainnya norak.
Biarpun sedikit koyak, yang penting dipakainya masih enak.."
katanya pamit pada hiasan dinding di kamarnya: sebuah tengkorak.
/2/
Baru sampai di gerbang pasar, dia disambut sebuah teriak.
"Selamat datang, Penyair. Malam ini koleksi kaus kita amat banyak.
Silakan memilih, silakan diabrik-obrak."
/3/
Lalu si penyair pun tenggelam dalam lautan oblong.
Mula-mula ditemukannya kaus bergambar Kurt Cobain.
"Kok bau amis, nih?"
"Oh, itu memang masih asli. Ada bekas darah belum dicuci.
Kalau mau ada bonusnya: sebuah pistol, tinggal satu peluru."
"Ada kaus The Beatles, tidak?"
"Wah sudah habis.."
"Kapan?"
"Yesterday."
/4/
Maka si penyair pun makin dalam menyuruk ke belantara oblong.
Dijumpainya juga, kaus bergambar dua badut paling lucu.
Di bawahnya ada tulisan yang selalu berganti-ganti.
Kadang terbaca: Cobloslah kami...
Lalu berubah jadi: Bersatu untuk Kemajuan Rakyat...
Tiba-tiba saja berganti: Berjihadlah Memilih Kami...
Terus jadi tulisan: Sejahtera Bersama, Makmur Semua...
"Ini kaus tidak laku.
Kemarin dibagi-bagikan tapi tidak ada yang mau..."
"Anda kenal dengan dua badut itu?"
"Tidak, tapi katanya mereka berdua sekarang buta.
Karena ada yang mencoblos kedua matanya..."
"Coba perhatikan lidahnya..."
"Kenapa lidahnya?"
"Makin lama makin panjang."
"He he he. Itulah akibatnya, kalau kebanyakan dusta..."
/4/
Tengah malam, si penyair terkapar kelelahan.
Di tangannya tampak sebuah kaus warna hitam.
"Ini yang sudah lama saya idam-idam," katanya.
"Memangnya apa hebatnya?"
"Oh, ini kaus paling jujur. Jangan berani-berani pakai
kalau engkau ketombean. Jangan coba-coba mengoleksi,
kalau engkau tidak mengerti, apa artinya kegelapan..."
"Setahu saya, kaus itu pernah dipakai untuk syuting sebuah iklan?"
"Iklan syampo, kan?"
"Bukan, iklan jasa centeng, penjaga kuburan."
/5/
Di tengah tumpukan kaus bekas itu, sebenarnya ada
selembar kaus yang sangat ingin dipakai oleh si penyair.
Kaus putih yang di bagian punggungnya
tersablon kalimat seperti sebait puisi, begini:
Yang putih bukan hanya seprei peraduan.
Yang putih bukan hanya ranjang perawatan.
Yang putih bukan hanya warna kain kafan.
Tanpa kaus, dia pergi berburu ke pasar loak,
"Aku mau mencari kaus yang desainnya norak.
Biarpun sedikit koyak, yang penting dipakainya masih enak.."
katanya pamit pada hiasan dinding di kamarnya: sebuah tengkorak.
/2/
Baru sampai di gerbang pasar, dia disambut sebuah teriak.
"Selamat datang, Penyair. Malam ini koleksi kaus kita amat banyak.
Silakan memilih, silakan diabrik-obrak."
/3/
Lalu si penyair pun tenggelam dalam lautan oblong.
Mula-mula ditemukannya kaus bergambar Kurt Cobain.
"Kok bau amis, nih?"
"Oh, itu memang masih asli. Ada bekas darah belum dicuci.
Kalau mau ada bonusnya: sebuah pistol, tinggal satu peluru."
"Ada kaus The Beatles, tidak?"
"Wah sudah habis.."
"Kapan?"
"Yesterday."
/4/
Maka si penyair pun makin dalam menyuruk ke belantara oblong.
Dijumpainya juga, kaus bergambar dua badut paling lucu.
Di bawahnya ada tulisan yang selalu berganti-ganti.
Kadang terbaca: Cobloslah kami...
Lalu berubah jadi: Bersatu untuk Kemajuan Rakyat...
Tiba-tiba saja berganti: Berjihadlah Memilih Kami...
Terus jadi tulisan: Sejahtera Bersama, Makmur Semua...
"Ini kaus tidak laku.
Kemarin dibagi-bagikan tapi tidak ada yang mau..."
"Anda kenal dengan dua badut itu?"
"Tidak, tapi katanya mereka berdua sekarang buta.
Karena ada yang mencoblos kedua matanya..."
"Coba perhatikan lidahnya..."
"Kenapa lidahnya?"
"Makin lama makin panjang."
"He he he. Itulah akibatnya, kalau kebanyakan dusta..."
/4/
Tengah malam, si penyair terkapar kelelahan.
Di tangannya tampak sebuah kaus warna hitam.
"Ini yang sudah lama saya idam-idam," katanya.
"Memangnya apa hebatnya?"
"Oh, ini kaus paling jujur. Jangan berani-berani pakai
kalau engkau ketombean. Jangan coba-coba mengoleksi,
kalau engkau tidak mengerti, apa artinya kegelapan..."
"Setahu saya, kaus itu pernah dipakai untuk syuting sebuah iklan?"
"Iklan syampo, kan?"
"Bukan, iklan jasa centeng, penjaga kuburan."
/5/
Di tengah tumpukan kaus bekas itu, sebenarnya ada
selembar kaus yang sangat ingin dipakai oleh si penyair.
Kaus putih yang di bagian punggungnya
tersablon kalimat seperti sebait puisi, begini:
Yang putih bukan hanya seprei peraduan.
Yang putih bukan hanya ranjang perawatan.
Yang putih bukan hanya warna kain kafan.
Thursday, June 23, 2005
Mimpi Jangan Ganggu Aku Malam Ini
Dia tidur beralas koran yang ada gambar iklan
telepon genggamnya, lalu dia pun bermimpi
punya telepon genggam keren dan canggih,
yang iklannya suka menjajah satu halaman koran.
Dia pun menelepon ibunya. "Halo, Ibu. Tolong
nyanyikan ninabobo yang dulu selalu kau
lagukan untuk menidurkan aku. Saya perlu
nada panggil yang paling merdu. Untuk
pengantar perbincangan dengan mimpi-mimpiku."
Lalu, didengarnya kumandang lagu. Irama yang
merdu, tapi tak pernah didengarnya sebelumnya.
"Maaf, kau pasti bukan ibuku," katanya mengakhiri
mimpi. Tidur dibatalkannya. Koran dirobeknya. Lantas
tak sengaja ia terbaca berita pemulung menggendong
mayat anaknya naik kereta api. "Ini dia," katanya.
Maka dibentangkannya halaman koran itu, lalu
dilanjutkannya tidur demi nyenyak yang tertunda.
"Eh, mimpi, tolong jangan ganggu aku malam ini."
telepon genggamnya, lalu dia pun bermimpi
punya telepon genggam keren dan canggih,
yang iklannya suka menjajah satu halaman koran.
Dia pun menelepon ibunya. "Halo, Ibu. Tolong
nyanyikan ninabobo yang dulu selalu kau
lagukan untuk menidurkan aku. Saya perlu
nada panggil yang paling merdu. Untuk
pengantar perbincangan dengan mimpi-mimpiku."
Lalu, didengarnya kumandang lagu. Irama yang
merdu, tapi tak pernah didengarnya sebelumnya.
"Maaf, kau pasti bukan ibuku," katanya mengakhiri
mimpi. Tidur dibatalkannya. Koran dirobeknya. Lantas
tak sengaja ia terbaca berita pemulung menggendong
mayat anaknya naik kereta api. "Ini dia," katanya.
Maka dibentangkannya halaman koran itu, lalu
dilanjutkannya tidur demi nyenyak yang tertunda.
"Eh, mimpi, tolong jangan ganggu aku malam ini."
Wednesday, June 22, 2005
Kamus Empat Kata Berhuruf Awal P
Pertal: Dari bahasa ke bahasa, kita saling menerjemahkan.
     Masih saja ada yang tetap tak bisa kita mengertikan
     sepenuhnya. "Biar saja, aku yang melupakan bahasaku,"
     katamu. "Tidak, biarkan aku yang memperfasih bahasamu,"
     kataku. Atau adakah waktu bagi kita untuk belajar mencipta kata
     mengucapkan kita, dengan kamus yang sejak semula terbuka?
Peruak: Lalu jarak itu semakin melebar. Melabur semua lembar.
     Di seberang kau berteriak, aku hanya mendengar. Kau melambai,
     aku hanya menyebut, "ah, diri yang lalai." Lalu kau tenggelam, aku
     belum juga sadar, hari sudah malam. Sudah lama larut malam.
Peruang: Padahal sebenarnya, kita pernah bersama belajar mantera.
     Mengapung di permukaan air. "Tapi, aku ingin tenggelam bersamamu,"
     katamu. "Aku ingin kita berangkulan, melawan arus yang tak terlawan."
     Padahal sebenarnya, aku masih ingin tenggelam dalam keasingan
     bahasamu-bahasaku. Padahal sebenarnya, aku nyaris sampai pada
     kesimpulan itu: mungkin sungai itu adalah kamus yang mencatat
     seluruh kata dalam hidup kita.
Perum: Lalu, aku sendiri. Ada yang sepertinya sudah aku mengerti. Di tepi
     sungai yang mencatat akhir keasingan bahasamu-bahasaku, aku melabuhkan
     batu penduga. Seperti ada yang menyapa di seberang sana. "Hei, kau
     hendak berlayar kemana, Saudara?"
     Masih saja ada yang tetap tak bisa kita mengertikan
     sepenuhnya. "Biar saja, aku yang melupakan bahasaku,"
     katamu. "Tidak, biarkan aku yang memperfasih bahasamu,"
     kataku. Atau adakah waktu bagi kita untuk belajar mencipta kata
     mengucapkan kita, dengan kamus yang sejak semula terbuka?
Peruak: Lalu jarak itu semakin melebar. Melabur semua lembar.
     Di seberang kau berteriak, aku hanya mendengar. Kau melambai,
     aku hanya menyebut, "ah, diri yang lalai." Lalu kau tenggelam, aku
     belum juga sadar, hari sudah malam. Sudah lama larut malam.
Peruang: Padahal sebenarnya, kita pernah bersama belajar mantera.
     Mengapung di permukaan air. "Tapi, aku ingin tenggelam bersamamu,"
     katamu. "Aku ingin kita berangkulan, melawan arus yang tak terlawan."
     Padahal sebenarnya, aku masih ingin tenggelam dalam keasingan
     bahasamu-bahasaku. Padahal sebenarnya, aku nyaris sampai pada
     kesimpulan itu: mungkin sungai itu adalah kamus yang mencatat
     seluruh kata dalam hidup kita.
Perum: Lalu, aku sendiri. Ada yang sepertinya sudah aku mengerti. Di tepi
     sungai yang mencatat akhir keasingan bahasamu-bahasaku, aku melabuhkan
     batu penduga. Seperti ada yang menyapa di seberang sana. "Hei, kau
     hendak berlayar kemana, Saudara?"
Tuesday, June 21, 2005
Di Kebun Apel
Sajak Rainer Maria Rilke
Kemarilah engkau, saksikan matahari jatuh
langkahi senja hari, lintasi hijau taman buah
bukankah ini seperti kita yang sekian lama
memunguti, menyimpan dan saling memiliki
kenangan lama? Menemukan, merelakan dan mencari
harap baru, mengingat lagi suka yang separo terlupa,
terbancuh dengan gelap yang menjelma dari dalam,
seperti kita menyuarakan benak dengan teriak acak
menjelajah di naungan pohon-pohon habis panen,
mengenang cukilan kayu Durer, cabang-cabang
yang runduk tersebab berat buah minta dipetik,
sabar menunggu, mencoba memperlama usia, agar
terlayani kerja seratus hari musim berikutnya,
meregang, menahan keluh, bukan mematahkan
tapi menggilirkan, walaupun beban itu mestinya
di saat yang sama bagai membobol daya tahan.
Tidak tergoyah! Tidak menemu apa yang kurang.
Begitulah semestinya, ketika kerja kerasmu
selama hidup yang panjang tanpa keluh kesah
bertekad pada satu tuju: memberikan diri sendiri.
Lalu diam-diam tumbuh, lalu memanenkan buah.
Kemarilah engkau, saksikan matahari jatuh
langkahi senja hari, lintasi hijau taman buah
bukankah ini seperti kita yang sekian lama
memunguti, menyimpan dan saling memiliki
kenangan lama? Menemukan, merelakan dan mencari
harap baru, mengingat lagi suka yang separo terlupa,
terbancuh dengan gelap yang menjelma dari dalam,
seperti kita menyuarakan benak dengan teriak acak
menjelajah di naungan pohon-pohon habis panen,
mengenang cukilan kayu Durer, cabang-cabang
yang runduk tersebab berat buah minta dipetik,
sabar menunggu, mencoba memperlama usia, agar
terlayani kerja seratus hari musim berikutnya,
meregang, menahan keluh, bukan mematahkan
tapi menggilirkan, walaupun beban itu mestinya
di saat yang sama bagai membobol daya tahan.
Tidak tergoyah! Tidak menemu apa yang kurang.
Begitulah semestinya, ketika kerja kerasmu
selama hidup yang panjang tanpa keluh kesah
bertekad pada satu tuju: memberikan diri sendiri.
Lalu diam-diam tumbuh, lalu memanenkan buah.
[Ruang Renung # 112] Rumah Tangga Penyair
Shiela & Ikra, Mei 2005
RENDRA menikah beberapa kali. Kahlil Gibran tak pernah bisa memiliki gadis yang sangat dia cintai. Sapardi Djoko Damono tak pernah dibicakan orang karena kisah percintaannya.
Selebihnya sering disiratkan bahwa penyair adalah manusia yang selalu punya kisah percintaan yang hebat, atau perselingkuhan yang dahsyat. Selalukah begitu? Mungkin. Banyak puisi bangkit dari pengalaman mencintai dan dicintai. Lebih banyak lagi dari cinta yang tak sempat sampai. Kerja menyair memang ada hubungannya dengan laku pribadi. Tapi, penyair mestinya adalah manusia biasa yang kebetulan suka menghayati dan mencari atau memberi makna pada tiap yang ia lihat, ia sentuh, ia lakukan. Setiap peristiwa yang datang padanya adalah inspirasi bagi puisi.
JADI, menyairlah. Dan berkeluargalah. Saya justru mulai menulis puisi lagi ketika sudah berkeluarga. Saya tetap menulis puisi ketika punya anak. Saya masih menulis puisi ketika anak-anak tumbuh. Waktu memang tak pernah bertambah. 24 jam satu hari. Tapi, ah - ini jawaban yang tidak puitis - kita bisa mengakali waktu itu kan?
Monday, June 20, 2005
[Ruang Renung # 112] Membuka Rahasia
PUISI yang baik bukan sekadar tempat kita menyimpan kisah hidup menjadi rahasia-rahasia di dalam bait-baitnya. Puisi yang baik bukan sekadar main petak umpet makna di balik kata-kata yang dicanggih-canggihkan. Puisi yang baik bukan sekadar menyaman-nyamankan bunyi dengan pilihan kata yang dicocok-cocokkan.
PUISI yang baik justru membuka rahasia kehidupan. Bisa jadi rahasia kehidupan yang diungkapkan adalah pengalaman atau penghayatan pribadi si penyair sendiri. Seberapa banyak pembaca yang kemudian merasa menemukan makna rahasia kehidupan itu lewat puisi itu, itulah yang menentukan seberapa bernilaikah puisi tersebut.
KERJA menyair yang membuka rahasia kehidupan itu bukannya tanpa risiko. Hati-hatilah dengan rahasia yang sebenarnya bukan lagi rahasia. Jangan terlalu lekas merasa telah menemukan sesuatu padahal sebenarnya hanya kita saja yang selama ini belum tahu soal itu, sementara di luar sana rahasia itu sebenarnya bukan lagi sebuah rahasia baru.
KITA kutip sebait prosa liris dari Sang Nabi, Kahlil Gibran: "... Anakmu bukanlah anakmu. Mereka putra-putri kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri..." Banyak orang yang punya anak. Tapi, tak ada yang sampai pada kesimpulan seperti ini sebelum Gibran. Ia seakan menyelesaikan sebuah rahasia tentang hubungan anak dan orangtua yang sesunguhnya. Sebuah rahasia terbuka. Dan tidak ada yang membantah rahasia itu. Kerja menyair Gibran menjadi tidak sia-sia bahkan sangat berarti karena kemudian banyak yang diam-diam memedomaninya, menjadikan bahan koreksi untuk bersikap.
AYOLAH, terus menyair. Masih banyak rahasia hidup yang mesti dibuka, mesti dipuisikan.***
PUISI yang baik justru membuka rahasia kehidupan. Bisa jadi rahasia kehidupan yang diungkapkan adalah pengalaman atau penghayatan pribadi si penyair sendiri. Seberapa banyak pembaca yang kemudian merasa menemukan makna rahasia kehidupan itu lewat puisi itu, itulah yang menentukan seberapa bernilaikah puisi tersebut.
KERJA menyair yang membuka rahasia kehidupan itu bukannya tanpa risiko. Hati-hatilah dengan rahasia yang sebenarnya bukan lagi rahasia. Jangan terlalu lekas merasa telah menemukan sesuatu padahal sebenarnya hanya kita saja yang selama ini belum tahu soal itu, sementara di luar sana rahasia itu sebenarnya bukan lagi sebuah rahasia baru.
KITA kutip sebait prosa liris dari Sang Nabi, Kahlil Gibran: "... Anakmu bukanlah anakmu. Mereka putra-putri kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri..." Banyak orang yang punya anak. Tapi, tak ada yang sampai pada kesimpulan seperti ini sebelum Gibran. Ia seakan menyelesaikan sebuah rahasia tentang hubungan anak dan orangtua yang sesunguhnya. Sebuah rahasia terbuka. Dan tidak ada yang membantah rahasia itu. Kerja menyair Gibran menjadi tidak sia-sia bahkan sangat berarti karena kemudian banyak yang diam-diam memedomaninya, menjadikan bahan koreksi untuk bersikap.
AYOLAH, terus menyair. Masih banyak rahasia hidup yang mesti dibuka, mesti dipuisikan.***
[Ruang Renung # 111] Mengucup Bibirmu Semahuku
SAYA tak banyak membaca puisi ditulis dalam bahasa Melayu. Jarang sekali saya suka. Tapi tidak dengan puisi Mabulmaddin Shaiddin (Kota Belud, Sabah) di milis Sejuta Puisi. Saya tidak merasa asing dengan bahasa Melayu setelah membaca puisinya. Meskipun banyak sekali kata yang tidak saya akrabi.
Contohnya sajak ini:
TENTANG KITA
Apakah kepercayaan yang kubagi
masih tidak mencukupi
seperti derita
membenahi rumah biru dan dalamnya
penuh habuk dan debu
dan tanda-tanda gelita
Setelah puas, menghantarku cepat-cepat
ke arah beranda
memandang kali - airnya berbaur sepi
lagak petualang sepertiku tertawa
dalam pertarungan nyawa
Selesaikah?
rasa tertindas ingin tahu
lalu berteleku mengucup bibirmu
semahuku
KENAPA puisi ini berhasil sebagai puisi? Mari kita tandai kalimat-kalimat yang kuat.
1. Tanda-tanda gelita (hmmm, gelita maksudnya gelap. Kaitkan dengan bait sebelumnya. Imaji tentang rumah biru yang ingin dibenahi. Rumah yang penuh habuk dan debu).
2. Setelah puas (puas apa? berbenah rumah?); mengantar cepat ke arah beranda ; air kali yang berbaur dengan sepi (kenapa sepi? saya bayangkan airnya tidak mengalir. Menguatkan imaji sepi dan dingin, dan suasana yang mati); Lalu apa pula yang harus direbut sehingga harus mempertaruhkan nyawa? tapi itupun dihadapi dengan lagak tawa petualang. Wow!
3. Selesai? Tidak. Bagian akhir - dan biasanya begitulah sebuah puisi yang baik diakhiri - adalah bagian yang paling kuat. Ada Bibir yang dikucup semahuku , bukan karena nafsu tapi tertindas rasa ingin tahu.
Contohnya sajak ini:
TENTANG KITA
Apakah kepercayaan yang kubagi
masih tidak mencukupi
seperti derita
membenahi rumah biru dan dalamnya
penuh habuk dan debu
dan tanda-tanda gelita
Setelah puas, menghantarku cepat-cepat
ke arah beranda
memandang kali - airnya berbaur sepi
lagak petualang sepertiku tertawa
dalam pertarungan nyawa
Selesaikah?
rasa tertindas ingin tahu
lalu berteleku mengucup bibirmu
semahuku
KENAPA puisi ini berhasil sebagai puisi? Mari kita tandai kalimat-kalimat yang kuat.
1. Tanda-tanda gelita (hmmm, gelita maksudnya gelap. Kaitkan dengan bait sebelumnya. Imaji tentang rumah biru yang ingin dibenahi. Rumah yang penuh habuk dan debu).
2. Setelah puas (puas apa? berbenah rumah?); mengantar cepat ke arah beranda ; air kali yang berbaur dengan sepi (kenapa sepi? saya bayangkan airnya tidak mengalir. Menguatkan imaji sepi dan dingin, dan suasana yang mati); Lalu apa pula yang harus direbut sehingga harus mempertaruhkan nyawa? tapi itupun dihadapi dengan lagak tawa petualang. Wow!
3. Selesai? Tidak. Bagian akhir - dan biasanya begitulah sebuah puisi yang baik diakhiri - adalah bagian yang paling kuat. Ada Bibir yang dikucup semahuku , bukan karena nafsu tapi tertindas rasa ingin tahu.
Wednesday, June 15, 2005
Kemenangan yang Ditulis dalam Janji
menangislah, tapi jangan
percaya pada air mata saja
berdirilah, dan yakinkan kau bisa
menempuh sejauh apapun perjalanan
tengadahlah, kalau pun sekarang
langit murung, di baliknya
matahari tak pernah padam
kau tidak sendiri, kau terlalu
berharga untuk disakiti.
Tersenyumlah, untuk kemenanganmu
yang ditulis dalam janji hidupmu.
percaya pada air mata saja
berdirilah, dan yakinkan kau bisa
menempuh sejauh apapun perjalanan
tengadahlah, kalau pun sekarang
langit murung, di baliknya
matahari tak pernah padam
kau tidak sendiri, kau terlalu
berharga untuk disakiti.
Tersenyumlah, untuk kemenanganmu
yang ditulis dalam janji hidupmu.
Tuesday, June 14, 2005
Sunday, June 12, 2005
Di Restoran Asing
lapar apa yang membawa aku datang
ke hadapan menu yang asing ini?
aku tak mencium aroma rempah,
aku mencari lemak santan mentah
tetapi, makanlah. Lapar tak pernah
diberi nama, kan? Pun tak dicatat
dalam daftar harga. Tetapi, makanlah
ini restoran juga tak ada dalam peta.
ke hadapan menu yang asing ini?
aku tak mencium aroma rempah,
aku mencari lemak santan mentah
tetapi, makanlah. Lapar tak pernah
diberi nama, kan? Pun tak dicatat
dalam daftar harga. Tetapi, makanlah
ini restoran juga tak ada dalam peta.
Friday, June 10, 2005
Urbanisitis
kota yang mendengus, kota yang menganga
kita terperangkap di mulutnya
dikunyah sampai selumat-lumatnya
terlalu dekat, terlalu singkat:
batas jeda antara cari makan
atau hanya menjadi santapan.
tiba-tiba saja, kita cuma kotoran...
kita terperangkap di mulutnya
dikunyah sampai selumat-lumatnya
terlalu dekat, terlalu singkat:
batas jeda antara cari makan
atau hanya menjadi santapan.
tiba-tiba saja, kita cuma kotoran...
Thursday, June 9, 2005
Soneta Hati Patah
taman kota, ada yang datang lagi ke sana
bangku tabah menunggu, waktu menghilang,
lihatlah, kalian masih mendustakan cinta,
yang patah itu tumbuh, tapi hati tak mau bilang
Abang, abang. kuantar dia kembali terbang
nun di seberang ada menanti sebuah cabang.
Abang, abang. kibas sayapnya masih membayang,
di hati: kerlip rindu - wahai - makin terang.
Jarak itu adakah dia, sayang? Jarak yang gaib,
diam-diam kauartikan sendiri rumah bagi lelaki,
diam-diam kaujadwalkan sendiri bila kaki pulang
Lalu kau bertemu dia. Lalu kau bertemu dia?
Lalu malam itu kau tersenyum. Kau tersenyum?
Ya, ya. Bukan untuk dia. Bukan untuk dia…
bangku tabah menunggu, waktu menghilang,
lihatlah, kalian masih mendustakan cinta,
yang patah itu tumbuh, tapi hati tak mau bilang
Abang, abang. kuantar dia kembali terbang
nun di seberang ada menanti sebuah cabang.
Abang, abang. kibas sayapnya masih membayang,
di hati: kerlip rindu - wahai - makin terang.
Jarak itu adakah dia, sayang? Jarak yang gaib,
diam-diam kauartikan sendiri rumah bagi lelaki,
diam-diam kaujadwalkan sendiri bila kaki pulang
Lalu kau bertemu dia. Lalu kau bertemu dia?
Lalu malam itu kau tersenyum. Kau tersenyum?
Ya, ya. Bukan untuk dia. Bukan untuk dia…
Monday, June 6, 2005
Para Pengantar Jenazah
hei, ini hanya sebuah hujan
jangan tepikan perjalanan
kita para pengantar jenazah
sekubur seorang, sekubur seorang
hei, ini hanya sebuah hujan,
baru saja lewat mobil tahanan
jangan tepikan perjalanan
kita para pengantar jenazah
sekubur seorang, sekubur seorang
hei, ini hanya sebuah hujan,
baru saja lewat mobil tahanan
Subscribe to:
Posts (Atom)