Wednesday, March 31, 2004

Kamus Empat Kata Berhuruf Awal J

jeramah: serupa inikah rasa enggan itu? telapak tanganmu

      di punggungku. aku menduga cinta itu merasuk

      lewat jemarimu. dua dada telanjang. dua mulut

      bercengkeraman. ada kata yang belum tuntas

      dibicarakan. "Sudah malam, sudah malam,"

      aku masih ragu, engkau pun tak kunjung faham.



jerabak: ada pelabuhan, dua berjauhan. aku di tepi danau

      ini, kau di seberang sana. tak ada yang ingin

      jadi perahu. lalu waktu melapukkan tiang-tiang.

      kita terbengkalai, dalam penungguan yang lalai.



jerau: bulan merah tua. warna yang dikirim api dan asap,

      padang yang terbakar di sana: hati lapang kita.

      jangan berharap pada hujan. ini kemarau bukan?

      jangan menunggu malam berubah warna, sayang,

      (merah ini kelak semakin menua).



jerah: lalu kita saling mengembara, saling menghindari.

      aku menemukan dia di mana-mana. (engkau jugakah?)

      tapi dia tak menunjukkan jalanku menemukanmu.

      aku menemukannya di setiap singgah. (engkau jugakah?)

      dia menawarkan lelah, dan merayuku agar menyerah.



April 2004







Catatan:



   Maaf, catatan ini akan mengganggu pembacaan siapapun atas sajak di atas. Ini benar-benar hanya sebuah catatan. Ini bisa dibaca lepas dari puisi yang hendak diberinya catatan. Puisi Kamus Empat Kata Berhuruf Awal J sebagai mana semua puisi yang saya tulis, adalah hasil dari eksperimen berbahasa. Saya tidak menyombong hendak menghasilkan sesuatu yang luar biasa dari eksperimen-eksperimen ini. Ini cuma sebuah percobaan kecil-kecilan. Saya hanya menikmati prosesnya. Menikmati gelisahnya. Menikmati rasa mengganjal yang terus menerus membuat saya seperi sedang dikejar sesuatu dan harus terus berlari, terus mencari tempat sembunyi.

   Sudah lama saya menyalin dari kamus penjelasan empat kata itu: jeramah, jerabak, jerau dan jerah. Saya menyalinnya ke dalam buku notes kecil yang selalu saya bawa ke mana-mana. Saya kira suatu saat kata itu akan punya tempat dalam puisi yang kelak akan saya tulis. Pada pertemuan terakhir dengan kata-kata salinan itu, terlintaslah rasa bersalah. Aku ternyata belum datang juga rasa yang meminta dipuisikan dan bisa melibatkan kata-kata tadi. Lalu saya fikir kenapa tidak empat kata itu saja yang jadi puisi? Rasa dan fikir itulah yang mendorong lahirnya sebuah eksperimen dan hasilnya adalah puisi di atas.

   Maaf, ini cuma catatan tak penting yang tak perlu diambil hati.