KITA berwudhu, Anakku, karena air mengingatkan kita
pada perkasihan angin di Angkasa dan tanah di Bumi.
Kasih yang ikhlas, tanpa ingin dilihat seperti begitu:
menerima dan memberi, saling berganti, tanpa ada janji
Musim bukanlah tanda, tak ada yang lekas atau terlambat.
Apa yang ingin dibersihkan oleh hujan? Hujan, adalah
saat Bumi berwudhu, membasuh diri, lalu ia meneruskan
sembahyang panjang: lingkaran rukuk, sujud, dan qiyam
*
KITA bentangkan, putih sehelai surban, cukuplah untuk
meletakkan tujuh titik tubuh, di saf panjang yang kita
lempangkan, saf panjang yang menjaga dan menguatkan.
Aku dengar Abu Hurairah, dari mimbar kecil dan megah
Anakku, sebagai apa aku kelak meninggalkanmu? Apa yang
kelak kutinggalkan untukmu? Menjariahkah alir amalku?
Seperti siklus hujan yang dulu kupelajari di kelas SD,
dari guru jujur-berbakti, mengajar ilmu alam pasti?
*
KITA sembahyang, Anakku, karena butir air pun harus
sejenak mengudara-menguap-mengawan, tapi tak lupa pada
kelok sungai yang mengalirkan, hamparan muara yang
mengombakkan, akar-akar dan tanah yang menyimpankan.