AKU mau bertanya padanya, "Anda mau kemana?"
Ia bawa dua kantong terpal tak yang lagi tebal,
mungkin itu sisa surat yang ia carikan alamat.
Aku teringat, surat terakhir yang aku terima
darimu dulu, tak ada alamatmu di suratmu itu.
Padamu aku tak bisa bertanya, "mau kemana?"
Sejak itu aku bertahan pada alamatku yang kau
tulis di depan sampul suratmu di bawah namaku
itu. Aku berharap kau akan mengirimkan lagi
sehelai surat, dan di situ kau memintaku untuk
menunggu. Aku menunggu. Aku menunggu. Menunggu.
*
LALU datang lalu, lelaki bersepeda itu. Dari ujung
simpang, dia tuntun saja sepedanya itu. Meliriki
nomor-nomor rumah, tapi ia tampak ragu ketika
lewat di depan alamatku. Di depan. Alamatku.
Aku mau bertanya padanya, "Anda mencari siapa?"
Tapi buat apa bertanya? Tak ada yang tahu alamatku,
kecuali kamu. Tak juga ada yang perlu perlu denganku,
bahkan juga kamu. Bahkan juga kamu. Juga. Kamu.
*
IA masih di situ. Berdiri saja di situ. Memegang
setang sepedanya. Aku kira dia akan membunyikan
kring kring pada lonceng di setang sepedanya itu.
Aku mau bertanya, "Kemana Anda akan memboncengku?"