AKU kembalikan celana bekasmu lengkap dengan
dekil dan kumalnya. Oh ya, ada tambahan sedikit
tambalan di pantat dan di dengkul. Maaf, ya, Maaf.
Dulu kupinjam celana itu tanpa setahumu, Kawan.
Aku tahu kau tidak akan pernah merasa kehilangan,
kau suka sarungan, bahkan tak pakai apa-apa, bukan?
Ada bekas KTP lamamu di saku kirinya. KTP yang
sudah mati, dan fotomu nyaris tak mengenali aku. "Kamu
siapa? Aku dimana? Apakah penyairku sudah merdeka?"
Aku tak tahan mendengar pertanyaan itu. Nyaris saja
KTP itu kurobek dan kubuang. Dasar KTP penyair.
Sudah mati masih juga memikirkan kemerdekaan.
Aku tidak jadi membuang KTP-mu, karena tak lama lagi,
akan ada pemungutan suara. Aku takut suara pada
KTP-mu itu disalahgunakan, diselewengmanfaatkan.
KTP-mu lalu kuamankan di dompetku, di dekat kartu ATM,
di sebelah KTP-ku, dan berdempetan dengan Surat Izin
Mengemudi, Surat Izin Jalan Kaki, Surat Main Sulapan.
Kadang-kadang aku suka mendengar mereka bercakap-cakap.
"Sudah kamu bayar biaya kematiannya?" tanya KTP-ku,
kepada kartu ATM. "Ah, birokrasi yang lamban,"
kata kartu ATM menirukan gerutuanku. "Lho, kok aku
pernah juga dengar kata-kata itu?" kata KTP-mu.
Baiklah, aku kembalikan celana bekasmu, kawan. Lengkap
dengan darah bekas lukaku, coretan pedihku, dan biji tajam
rumput liar yang belum sempat aku cabuti. Maaf, ya...