Sajak Paul Engle (1908 - 1991)
Si Jepang di sebelahku di bar itu
menggigit mangkuk sake dengan gigi besar dan kacau
Di balik perisai kacamata (ia memakainya
seakan bagian dari busana yang elegan) matanya
kuning seperti anggur hangat yang ia tenggak.
Ke arahku dia berpaling seperti pintu dibuka
dan berkata dengan keramahan yang berlebihan, "U.S.A?"
Aku mengangguk, menebak apa warna pikirannya.
"Aku pernah parah terluka di Okinawa."
Kata-kata itu dengan malas tumpah dari mulutnya
seperti tetes anggur dari dasar botol itu.
Kuatur berat tubuh bertumpu di tumit-tumit kaki,
dan menjaga awas mata pada dua tangannya.
dia menarik lengan-lengan bajunya. Ada parut luka
menganga di sepanjang tangan itu, seperti tanda seru!
Apa yang bisa kau kata pada luka yang menuduh itu?
Dia menatap parut itu seperti menatap tuma
merayapi kulit, cemas dan benci,
berharap kuman itu segera enyah pergi.
"Maafkan aku," kataku. Kata-kata buruk dan tolol itu
bergetar hingar di terang lampu bar
lalu jatuh berderak , di lantai terserak
Dia melepas dan menggenggam kepal. Parut itu bergerak.
Kuangkat tangan. Aku telah siaga, seperti murid baru
gelisah di halaman sekolah, di hari pertama
"Dokter Amerika merawat lukaku dengan baik," katanya,
Dan keras raut wajahnya runtuh ke dalam senyum.
"Jika tidak, saya tak bisa mengangkat mangkuk sake sekarang."
Dia angkat lengkung manis mangkok bersepuh-biru,
dan gerak tubuh yang ramah, mendekat padaku.
Matanya segan, bergerak ke mataku seperti rangkulan tangan.
Kami pun minum.
Perlahan dia letakkan mangkok sake di meja bar,
gerakan ringan dan penuh keberanian, seakan itu bom,
lalu menunggu saat bom itu meledak di tangannya.
Lalu wajahnya pun pulang, sedatar wajah belaka.
Di luar, Tokyo mengaum, bagai macan cari mangsa.
Sumber: A Woman Unashamed (Random House, Inc., 1965).