Seandainya Saya Bertemu Pablo Neruda
Oleh Hasan Aspahani
YA, seandainya Pablo Neruda masih hidup, saya akan mencoba mencari alamat e-mailnya. Saya akan minta nomor telepon genggamnya, dan saya akan memperlancar bahasa Spanyol saya, supaya bisa mewawancarai dia lewat pesan pendek. Tapi, tentu pengagum dia bukan hanya saya, dan dia pasti sibuk sekali. Lagi pula, dalam wawancara dengan Paris Review dia bilang, dia tak mau memberi nasihat tentang penulisan puisi kepada penyair muda.
Baiklah. Tapi, kami - saya dan Pablo Neruda - akhirnya bertemu juga. Kami tidak tahu bahasa apa yang kami pakai. Tapi terasa bahasa itu indah sekali. Sebuah bahasa yang mudah. Yang terdengar seperti dinyanyikan dan kalimat-kalimatnya seprti puisi. Bukan bahasa Spanyol bukan Bahasa Indonesia. Kami bercakap-cakap dan saya harus menuliskan percakapan itu dengan bahasa Indonesia.
Hasan Aspahani (HAH): Don Pablo Neruda, saya menyukai sajak-sajak Anda. 100 Soneta Cinta, Kitab Pertanyaan, 20 Sajak Cinta dan Satu Nyanyian Putus Harapan, Ode...
Pablo Neruda (PN): Saya heran kenapa orang menyukai puisi, dan kenapa orang menyukai puisi saya...
HAH: Lho, memangnya Anda berharap puisi Anda tidak disukai orang?
PN: Bukan. Maksud saya, saya menulis puisi bukan untuk menyenangkan orang, tapi saya menulis puisi terutama untuk diri saya sendiri,...
HAH: Mungkin itu sebabnya, orang menyukai sajak Anda. Apa yang Anda puja, apa yang Anda gelisahkan, apa yang Anda pertanyakan adalah pertanyaan orang banyak itu.
PN: Tapi kan pemujaan, kegelisahan dan pertanyaan tentang kehidupan itu kan tidak harus dipuisikan? Bisa saja diekspresikan dengan cara lain?
HAH: Puisi lebih mudah mencapai hati orang banyak, Don Pablo. Karena itu panitia Nobel sejak awal memberi tempat yang sama bagi sastra dengan bidang lain. Ah, Anda sebagai salah satu penerima penghargaan itu tentu lebih tahu.
PN: Bagus. Bagus. Saya yakin Anda penyair juga. Setidaknya menyukai puisi.
HAH: Betul. Bahkan saya menggilai puisi. Karena puisilah itulah saya menemui Anda. Puisilah yang membawa saya pada Anda. Saya mau menerbitkan sebuah buku puisi. Saya sebenarnya tertinggal eh terlambat. Anda pada usia 20-an, sudah menerbitkan buku pertama. Anda gigih sekali memperjuangkannya, sampai jual perabot rumah.
PN: Anda sudah menjual perabot juga untuk buku yang hendak terbit ini? Oh, ya apa judul bukumu itu?
HAH: Oh, tidak, Ada seorang yang amat saya hormati, dan dia berbaik hati menerbitkan buku itu. Saya tahu dia juga mencintai puisi. Buku puisi saya itu judulnya "Bibirku Bersujud di Bibirmu".
PN: Hmm, kenapa memilih judul itu? Ini buku puisi pertamamu, bukan?
HAH: Judul yang hebat bukan? Itu judul salah satu puisi saya dalam buku itu. Puisi itu juga pernah saya bacakan di TIM, awal 2006 lalu. Ya, ini buku puisi pertama saya. Beberapa kali saya memang ikut dalam sejumlah antologi. Saya memang tidak buru-buru. Saya tidak seberuntung Anda. Ketika sekolah rendah saja Anda sudah mendapatkan seorang guru bahasa seorang peraih hadiah Nobel Sastra juga. Tapi, kenapa ya di antara sekian muridnya hanya Anda yang jadi penyair besar?
PN: He he. Artinya, bukan guru hebat yang menentukan. Tapi murid yang hebat. He he he. Saya, tetap berterima kasih pada Gabriella Mistral. Dia guru yang hebat. Saya tahu di Indonesia ada Rendra yang pernah saya lihat ketika dia membaca puisi. Wah, hebat sekali. Saya melonjak-lonjak melihat dia membaca puisi ketika itu. Anda berguru padanya?
HAH: Tidak. Saya bahkan tidak pernah bertemu dengannya. Saya belajar otodidak saja. Nanti, saya kira saya juga bisa membuat Anda melonjak kalau saya bacakan puisi saya di depan Anda. He he he. Don Pablo, Anda mau memberi kata pengantar untuk buku itu?
PN: Wah, maaf, bukannya saya tidak mau. Tapi, saya kira puisi tidak perlu diantar. Nanti dia tidak bebas. Saya takut kehadiran saya sebagai pengantar justru mengganggu kemandirian sajak-sajak Anda.
HAH: Baiklah. Terima kasih. Paling tidak percakapan kita nanti saya transkripsikan. He he he. Dan saya sebenarnya ingin mempersembahkan sajak-sajak itu kepada Anda salah satunya, dan tentu kepada istri saya Dhiana Daharimanoza, istri saya. Sebuah persembahan yang belum sempurna, sebab belum bisa menggubah 100 Soneta seperti yang Anda persembahkan kepada Matilda Urrutia. Juga kepada anak-anak saya Shiela dan Ikra, dan teman-teman yang banyak mendukung kepenyairan saya. Ridak K Liamsi, orang baik hatiu yang saya hormati itu, dan tentu saja pada teman-teman di Yayasan Sagang. Harry Koriun, sang editor, dan FurqonLW, sang perancang wajah. Juga Pak Arwawi KH yang seleksi awalnya mempertajam keyakinan saya, bahwa memang ada sesuatu pada sajak-sajak saya.
PN: Terima kasih untuk ucapan persembahanmu kepadaku. Adakah kamu menulis puisi untuk saya? Eh, jangan lupa terima kasih untuk orangtuamu. Dia tidak melarangmu untuk menulis puisi kan?
HAH: Ya. Tentu juga buat mereka berdua. Saya juga tidak harus mengganti nama seperti Anda. Orang tua saya membebaskan saya untuk jadi apa saja. Puisi untuk Don Pablo? Belum. Belum.
PN: Baiklah. Saya tunggu. Berarti ada alasan kita bertemu lagi nanti. Saya ingin kamu membuat saya melonjak-lonjak, ketika kelak kamu bacakan sajak untukku itu di depanku.
HAH: Terima kasih, Don Pablo. Semoga saya bisa menjadi penyair sebesar Anda.
Sebenarnya saya ingin minta izin padanya untuk menerbitkan sajak-sajaknya yang sudah saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Tapi, kan ada pertemuan selanjutnya, jadi saya harus buru-buru mengetikkan percapakan kami, sebelum saya lupa. Saya tidak mencatat dan tidak membawa perekam.
Tiban Indah Permai, Oktober 2007