Monday, September 5, 2005

[Catatan Setelah Membaca] Hei, Mana Bisa Kau Tahan Puisi

DI BLOG ini saya pernah mengutip Irving Layton. Kata penyair Kanada itu, "Kalau puisi itu diibaratkan seperti orgasme, maka akademisi yang meneliti puisi tak ubahnya seperti orang yang mempelajari noda-noda gairah yang tercecer di sprei."

Saya ingin mengawali komentar saya atas sajak-sajak "patah hati" Aan M Mansyur dengan kutipan di atas. Ya, saya bukan akademisi, bukan peneliti puisi. Saya adalah pembaca yang juga sering merasakan orgasme yang sama dengan Aan.

Menurut saya, puisi yang baik adalah puisi yang ketika dibaca masih menyisakan rasa nikmat, sehingga si pembaca pun ikut orgasme. Aaaaah. Dan sebaliknya dengan metafora itu maka puisi yang buruk adalah puisi yang hanya sisa ceceran sperma. Kita menganggapnya kotor. Kita jijik. Meskipun sebenarnya, sperma itu menurut ketentuan syariah tergolong air yang suci lagi menyucikan. Artinya kalau nisabnya cukup dia syah dipakai berwudhu.

Dan bersama puisi Aan saya tidak hanya masih merasakan rasa itu, tapi juga merangsang saya untuk menciptakan orgasme-orgasme yang lain. Ya, sebutlah semacam multiorgasme.

Dari emailnya kepada saya, Aan pun membuat saya yakin bahwa puisi itu memang sebuah pilihan lakon. Ia dilakoni, dihidupi, dijalankan sebagai laku hidup. Puisi dan berpuisi bukan sekadar ditulis dan dilakukan ketika si penyair membutuhkan. Pada tingkat yang sangat karib, puisi itu menuliskan dirinya sendiri tanpa bisa ditahan oleh si penyair.

Saya ingin mencuri pembenaran dari penyair lain. "Saya sebenarnya bukan penyair, yang bersyair sebenarnya alam, kemanusiaan, dan jeritan yang secuil sempat singgah ke dalam hati," kata D Zawawi Imron, dalam Madura, Akulah Darahmu, Grasindo, 1999.

Jeritan secuil yang singgah ke dalam hati, kata Zawawi. Dan Aan mendapatkan lebih dari itu. Ia tengah hancur hatinya. Bisakah itu ditahan? Bisa dan sebenarnya harus ditahan. Dan saya tahu ada jarak antara peristiwa dahsyat itu dengan puisi-puisi "sakit hati" yang ia tulis. Saya ingat Rainer Maria Rilke. Penyair harus melupakan semua peristiwa dialaminya. Ketika ia datang sebagai kenangan, kata Rilke, itulah saatnya untuk menuliskannya sebagai puisi.

Saya yakin Aan tidak bisa melupakan "sakit hati" itu. Tapi waktu yang kian berjarak membuat sejumlah kenangan berdatangan padanya. Dan lihat! "....tak bisa kutolak saat kata-kata itu sendiri yang menulis diri. Maka semalam, sesaat setelah mati lampu berhenti (di sana sering mati lampu juga?) saya tak bisa menahan diri untuk tidak duduk di depan notebook untuk menulis!" katanya dalam email pengantar puisi itu pada saya.

Saya tak ingin mengantar terlalu panjang. Karena akan mengganggu kenikmatan orgasme pembacaan saya. Silakan baca sendiri, dan silakan menikmati. Saya yakin syahwat puisi Anda tidak sedang impoten.

Hasan Aspahani


awalnya sangat sederhana
Sajak Aan M Mansyur


awalnya sangat sederhana
hanya bukit dengan hijau rumputnya

lalu kita tiba pada pertanyaan
: bangunan apa sebagai tetanda?

cinta, katamu, adalah hiruk-pikuk kota
lalu kau dirikan restoran dan café dengan musik berbahasa asing,
bioskop dengan film-film eropa dan amerika,
mall dengan etalase-etalase yang mengeringkan kantong,
dan hotel yang kasurnya membuatmu tak pernah lelah bercinta.

tetapi aku lebih suka cinta itu dalam dan sepi,
maka kugali sebuah perigi di kaki bukit
yang meluruhkan gerah
yang membasahi dahaga
dan membuat rumput berbunga

awalnya sangat sederhana
hanya bukit dengan riang ternaknya

tetapi seperti yang kuduga
riuh kota akan membuatmu bosan dan lelah
dan kau runtuhkan semua yang berdiri
semua yang kau bangun sendiri
lalu pergi mencari tanah bukit yang lain
melupakan cinta
dan aku yang tak mengerti

sementara perigi tak bisa dipindahkan
ia akan tetap tinggal meskipun kota telah mati
membuatku terkurung di dasarnya
dan airmataku jadi mataairnya.

biblioholic, 03/09/05

--------

sajak mati lampu
Sajak Aan M Mansyur


empat tembok yang berdiri mengepung
seperti ditumpahi tinta atau cat hitam
lampu pijar matahari kecil itu,
yang lebih senang kau sebut bintang,
tak lagi kulihat bergantung di langit kamar

inilah yang kuminta di setiap doa
kamar gelap dan kau bisa kubayangkan
datang dan telentang di sisiku
mengeluhkan haidmu telat seminggu,
sedikit perih di sekitar payudaramu,
atau sekedar memintaku mengelus rambut
atau punggungmu.

inilah yang kutunggu di setiap malam
alam kelam dan aku bisa menangis
sambil mengulang-ulang namamu
tanpa seorangpun melihat airmataku

di saat yang sama, biar kutebak,
apa yang sedang kau lakukan,
kau menyalakan sebatang lilin
dan membaca ulang puisi
yang kuselip di saku jaket biru tuamu,
sesaat sebelum tangan kita saling melepas,
sambil sesekali menggigit bibir
dan mendongak menahan tangis

atau kau sedang khusyu meminta
agar lelampu segara kembali bercahaya
sebab kau tak mampu menahan kenangan
yang melayang-layang ingin membawamu pulang.

biblioholic, 03/09/05

-----

walau waktu telah jauh, juga kau
Sajak Aan M Mansyur


apa yang paling kau suka dariku?
pertanyaan itu paling sering kau ajukan.

meski sudah tahu jawabannya,
kau merajuk manja jika aku tak mengatakannya

: deretan gigimu, saat kau tersenyum!

lalu kau, dengan malu-malu, tersenyum,
dan setelahnya menawarkan ciuman,
jika kebetulan tak ada orang yang melihat,
sebagai semacam hadiah atau ucapan terima kasih

walau waktu telah jauh, juga kau,
rapat rapi geligi itu adalah penjara
dengan jeruji yang terlalu kuat bagi jemari
aku tak bisa meloloskan diri.

biblioholic, 03/09/05

-------

kepada yang telah beranjak
Sajak Aan M Mansyur


seperti kata buku-buku cinta murahan
satu perempuan datang,
dari rahim lelaki
beribu puisi dilahirkan

kau masuk ke ruang dadaku,
empat tahun lalu, meniupkan roh
pada satu penyair yang tertidur
di bawah nisan batu

lalu hidup mengandung kecemasan
membayangkan kembali mati
jika kau bergerak
memanjangkan jarak

tetapi, anehnya, kini
ada seribu penyair
dalam satu lelaki ini
tak henti menulis puisi
kepadamu yang telah beranjak.

biblioholic, 03/09/05

------
kamar mandi
Sajak Aan M Mansyur


baknya kering oleh kemarau,
pintunya, selalu seperti itu,
tak bisa tertutup penuh

dulu, di sana, setiap pagi
aku bernyanyi atau berpuisi
tentang perempuan bergeligi rapi

kini setiap masuk kamar mandi
aku ingin menangis, sedih,
perempuan itu telah pergi
aku jadi jarang mandi

jeneponto, 28/08/05