Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Saturday, September 24, 2005
[Ruang Renung # 126] Nasihat Tardji
     Ada pelukis yang menjual lukisannya 2 juta franc. Ada orang kaya yang ingin membeli karena tertarik.
"Berapa lama lukisan ini dibuat?" tanya si orang kaya.
"Cuma lima menit.."
"Hanya lima menit?"
"Ya. Tapi jangan lihat lima menitnya. Saya berproses lama. Bertahun-tahun."
     Begitulah kita menyair. Hidup penyair seperti nelayan dengan kapal dan pukat harimau. Kemana pun berlayar ada yang terjaring. Ikan-ikan itu bisa berupa kegundahan, kesedihan, kemarahan, cinta, kecewa. Semua yang terjaring itu memperkaya bahan kehidupan penyair. Itulah yang muncul dalam ucapan puisi-puisinya.
     Pukat itu tidak harus diangkat selalu. Ketika kita tidak menulis puisi kita sebenarnya mempersiapkan puisi, selama pukat itu terus terawat. Selama kapal nelayan itu terus berlayar.[hah]
"Berapa lama lukisan ini dibuat?" tanya si orang kaya.
"Cuma lima menit.."
"Hanya lima menit?"
"Ya. Tapi jangan lihat lima menitnya. Saya berproses lama. Bertahun-tahun."
     Begitulah kita menyair. Hidup penyair seperti nelayan dengan kapal dan pukat harimau. Kemana pun berlayar ada yang terjaring. Ikan-ikan itu bisa berupa kegundahan, kesedihan, kemarahan, cinta, kecewa. Semua yang terjaring itu memperkaya bahan kehidupan penyair. Itulah yang muncul dalam ucapan puisi-puisinya.
     Pukat itu tidak harus diangkat selalu. Ketika kita tidak menulis puisi kita sebenarnya mempersiapkan puisi, selama pukat itu terus terawat. Selama kapal nelayan itu terus berlayar.[hah]
Friday, September 23, 2005
sebelum sampai di pintu-Mu
kami berkedipan
: aku dan kegelapan
pulang sembahyang,
wirid yang berulang
siapa yang menyalakan
satu-satunya cahaya?
di ujung kabut,
pucuk musala,
kukira itu bukan bintang ...
tapi tolong beri tanda,
di mana wudhu harus kuambil
bila najis tersentuh
sebelum sampai di pintu-Mu
: aku dan kegelapan
pulang sembahyang,
wirid yang berulang
siapa yang menyalakan
satu-satunya cahaya?
di ujung kabut,
pucuk musala,
kukira itu bukan bintang ...
tapi tolong beri tanda,
di mana wudhu harus kuambil
bila najis tersentuh
sebelum sampai di pintu-Mu
Tuesday, September 20, 2005
Catatan: Sebuah puisi lama.
Tiba-tiba saya ingin
sekali menampilkannya.
Dengan sedikit utak-atik
UNDANGAN PERNIKAHAN UNTUK BUNDA HAWA
ketika membuka undangan pernikahanmu, Na
bunda Hawa berlinang air mata, bunga-bunga tangis
kasihnya berjatuhan di tanah surga, tumbuh
jadi melati, jadi mawar, jadi kenanga
"aku tak akan bisa datang. kau tahu,
bapak Adam tak suka pesta." Tapi
ia mengirim roncean melati ke sanggul pengantinmu
ia hembuskan sihir mawar di matamu
ia tebarkan bius kenanga di ranjang peraduanmu
: sambil mengenang malam pertama,
ketika tuhan mengusir mereka ke dunia ah, katanya,
"aku malu melihat yang telanjang padaku
di surga kami tak sempat menikmati nafsu."
ketika membaca undangan pernikahanmu, Na
bunda Hawa mengelus dada, "tak ada yang datang
ketika Tuhan menyandingkan kami di surga
: kecuali iblis dan kobra, tapi mereka
tak datang dengan tahniah dan doa.
ketika menyimpan undangan pernikahanmu, Na
bunda Hawa terkenang putranya Habil dan Qabil.
ah, ujarnya, "setidaknya aku masih bisa berbahagia
karena anak-anakku belum jera atas
derita yang masihkah bernama Cinta?"
batam, 5/3/2002
Tiba-tiba saya ingin
sekali menampilkannya.
Dengan sedikit utak-atik
UNDANGAN PERNIKAHAN UNTUK BUNDA HAWA
ketika membuka undangan pernikahanmu, Na
bunda Hawa berlinang air mata, bunga-bunga tangis
kasihnya berjatuhan di tanah surga, tumbuh
jadi melati, jadi mawar, jadi kenanga
"aku tak akan bisa datang. kau tahu,
bapak Adam tak suka pesta." Tapi
ia mengirim roncean melati ke sanggul pengantinmu
ia hembuskan sihir mawar di matamu
ia tebarkan bius kenanga di ranjang peraduanmu
: sambil mengenang malam pertama,
ketika tuhan mengusir mereka ke dunia ah, katanya,
"aku malu melihat yang telanjang padaku
di surga kami tak sempat menikmati nafsu."
ketika membaca undangan pernikahanmu, Na
bunda Hawa mengelus dada, "tak ada yang datang
ketika Tuhan menyandingkan kami di surga
: kecuali iblis dan kobra, tapi mereka
tak datang dengan tahniah dan doa.
ketika menyimpan undangan pernikahanmu, Na
bunda Hawa terkenang putranya Habil dan Qabil.
ah, ujarnya, "setidaknya aku masih bisa berbahagia
karena anak-anakku belum jera atas
derita yang masihkah bernama Cinta?"
batam, 5/3/2002
Monday, September 19, 2005
[Ruang Renung # 125] Puisi Perjalanan
Pergilah jauh dari rumah dan carilah puisi di sepanjang perjalanan kepergian kita. Catatlah dengan hati, bukan hanya dengan mata. Catatlah dengan telinga juga. Dengan kulit juga. Biarkan ada yang terdengar dan menyentuh kulitmu tanpa harus diberi nama itu suara dan rasa apa. Kelak mungkin puisi memberi tempat untuk sebuah jawaban ketika kita nyaris saja melupakannya.
Puisi perjalanan itu tak harus menjadi puisi yang mencatat pemandangan apa yang kita lihat di sepanjang perjalanan itu. Ia bisa berupa tinjauan atas percakapan kita dengan teman seperjalanan, dengan orang yang kita temui atau apa yang ingin kita bualkan dengan orang yang ingin kita temui.
Pergilah jauh, juga ketika kita diam saja, tak kemana-mana bepergian. Bukankah pikiran kita bisa kita liarkan untuk mengembara kemana saja? Bukankah seluruh hidup ini sejatinya adalah memang sebuah perjalanan? Bukankah seluruh puisi adalah catatan dari seluruh perjalanan itu?
Puisi perjalanan itu tak harus menjadi puisi yang mencatat pemandangan apa yang kita lihat di sepanjang perjalanan itu. Ia bisa berupa tinjauan atas percakapan kita dengan teman seperjalanan, dengan orang yang kita temui atau apa yang ingin kita bualkan dengan orang yang ingin kita temui.
Pergilah jauh, juga ketika kita diam saja, tak kemana-mana bepergian. Bukankah pikiran kita bisa kita liarkan untuk mengembara kemana saja? Bukankah seluruh hidup ini sejatinya adalah memang sebuah perjalanan? Bukankah seluruh puisi adalah catatan dari seluruh perjalanan itu?
Wudhu ini Sudah Berhitung Tahun Kupertahankan
namamukah itu, tiba-tiba saja sangat ingin
kusebut dengan getar bibir pantai kesepian
aku ingin berbaring sendiri: ingin menyusun
semacam sembahyang, berkiblat lautan bayang
wudhu ini sudah berhitung tahun kupertahankan,
di asin air yang sama kubasuh tiga kali dosa
kusebut dengan getar bibir pantai kesepian
aku ingin berbaring sendiri: ingin menyusun
semacam sembahyang, berkiblat lautan bayang
wudhu ini sudah berhitung tahun kupertahankan,
di asin air yang sama kubasuh tiga kali dosa
Friday, September 16, 2005
Rinai di Ranai
semua akhirnya harus ditinggalkan
agar yang terbawa tak jadi beban
semua akhirnya harus juga dilupakan
agar ada yang bertahan jadi kenangan
semua mungkin kembali lagi, bukan?
atau mungkin tetap akan berjauhan
agar yang terbawa tak jadi beban
semua akhirnya harus juga dilupakan
agar ada yang bertahan jadi kenangan
semua mungkin kembali lagi, bukan?
atau mungkin tetap akan berjauhan
Pantai Tanjung, Ranai, Natuna
Thursday, September 8, 2005
Tangkap lalu Dekap itu Jiwa
Syair Jalaluddin Rumi
JIKA ada sepuluh lampu di satu tempat,
sepuluh lampu yang tak sama bentuk;
pasti engkau tak bisa membedakan pancar sinarnya
jika engkau memusat tatap pada cahaya.
Di ladang jiwa tak ada yang terbagi-bagikan;
tak ada yang hadir hanya seorang. Yang manis itu
adalah kesatuan Karib dengan kerabat-Nya.
Tangkap lalu dekap itu jiwa.
Bantu si keraskepala ini terberai sendiri;
lalu di sebaliknya engkau temukan keutuhan,
seperti harta karun terkuburkan.
If ten lamps are present in one place,
each differs in form from another;
yet you can't distinguish whose radiance is whose
when you focus on the light.
In the field of spirit there is no division;
no individuals exist.
Sweet is the oneness of the Friend with His friends.
Catch hold of spirit.
Help this headstrong self disintegrate;
that beneath it you may discover unity,
like a buried treasure.
Mathnawi, I:678-683
Version by Camille and Kabir Helminski
"Rumi: Daylight"
Threshold Books, 1994
Persian transliteration courtesy of YahyĆ” Monastra
JIKA ada sepuluh lampu di satu tempat,
sepuluh lampu yang tak sama bentuk;
pasti engkau tak bisa membedakan pancar sinarnya
jika engkau memusat tatap pada cahaya.
Di ladang jiwa tak ada yang terbagi-bagikan;
tak ada yang hadir hanya seorang. Yang manis itu
adalah kesatuan Karib dengan kerabat-Nya.
Tangkap lalu dekap itu jiwa.
Bantu si keraskepala ini terberai sendiri;
lalu di sebaliknya engkau temukan keutuhan,
seperti harta karun terkuburkan.
If ten lamps are present in one place,
each differs in form from another;
yet you can't distinguish whose radiance is whose
when you focus on the light.
In the field of spirit there is no division;
no individuals exist.
Sweet is the oneness of the Friend with His friends.
Catch hold of spirit.
Help this headstrong self disintegrate;
that beneath it you may discover unity,
like a buried treasure.
Mathnawi, I:678-683
Version by Camille and Kabir Helminski
"Rumi: Daylight"
Threshold Books, 1994
Persian transliteration courtesy of YahyĆ” Monastra
Surat untuk Almarhum Datu
Sajak Ted Kooser
Melihat hidupku kini, Datu harus turut bahagia.
Aku sudah diajari menjadi petani kertas.
Mejaku adalah ladang lapang tak bergulma.
Telah kuantar jauh kerumun gagak ketakutanku,
dan kematianku adalah tegak sebatang oak
menghitam dalam jarak. Bulan cemerlang,
- tanda kami cukup uang - mencorong di pundakku,
lewat seperti selama ini ia berlalu. Datu musti menjenguk
rumahku, istriku dan anak-anakku.
Kami cukup makan dan kami tidur nyaman,
jengkerik yang berbahagia bernyanyaian
di taman. Seperti yang Datu ajarkan
kamu saling menjaga diri. Aku bayar pajak;
tiap minggu aku bernyanyi di gereja.
Aku menolak untuk percaya bahwa hidupku
ada tersebab kematian jiwa lainnya.
Letter To Dead Forebears
You would be pleased with my life.
I have been taught the farming of papers.
My desk is a field free of weeds.
I have driven away the crows of my fears,
and my death is a lone oak cackling with blackness
off in the distance. The bright moon
of good money looks over my shoulder,
passing its regular phases. You would approve
of my house, my wife, and my children.
We eat well and sleep peacefully,
the cricket of happiness ticking away
in the garden. As you did,
we keep to ourselves. I pay my taxes;
I give weekly to the church of my choice.
I refuse to believe that my life
is the cause of the murder of others.
Melihat hidupku kini, Datu harus turut bahagia.
Aku sudah diajari menjadi petani kertas.
Mejaku adalah ladang lapang tak bergulma.
Telah kuantar jauh kerumun gagak ketakutanku,
dan kematianku adalah tegak sebatang oak
menghitam dalam jarak. Bulan cemerlang,
- tanda kami cukup uang - mencorong di pundakku,
lewat seperti selama ini ia berlalu. Datu musti menjenguk
rumahku, istriku dan anak-anakku.
Kami cukup makan dan kami tidur nyaman,
jengkerik yang berbahagia bernyanyaian
di taman. Seperti yang Datu ajarkan
kamu saling menjaga diri. Aku bayar pajak;
tiap minggu aku bernyanyi di gereja.
Aku menolak untuk percaya bahwa hidupku
ada tersebab kematian jiwa lainnya.
Letter To Dead Forebears
You would be pleased with my life.
I have been taught the farming of papers.
My desk is a field free of weeds.
I have driven away the crows of my fears,
and my death is a lone oak cackling with blackness
off in the distance. The bright moon
of good money looks over my shoulder,
passing its regular phases. You would approve
of my house, my wife, and my children.
We eat well and sleep peacefully,
the cricket of happiness ticking away
in the garden. As you did,
we keep to ourselves. I pay my taxes;
I give weekly to the church of my choice.
I refuse to believe that my life
is the cause of the murder of others.
Wednesday, September 7, 2005
Organ 21 Gram Beratnya
adegan itu singkat, masih sempat mencatat:
hembus nafas sekarat lelaki bermata pucat,
rahim hangat, perempuan bersuara tersendat,
& sebaris kalimat, "janin ini akan kurawat..."
lalu mengalirlah kita pada sekian plot cerita,
takada peran utama, kecuali organ 21 gram beratnya,
yang berdetak atau berhenti memberi tanda pada nyawa.
Berani kau menebak semua kisah berakhir bahagia?
hembus nafas sekarat lelaki bermata pucat,
rahim hangat, perempuan bersuara tersendat,
& sebaris kalimat, "janin ini akan kurawat..."
lalu mengalirlah kita pada sekian plot cerita,
takada peran utama, kecuali organ 21 gram beratnya,
yang berdetak atau berhenti memberi tanda pada nyawa.
Berani kau menebak semua kisah berakhir bahagia?
Monday, September 5, 2005
[Catatan Setelah Membaca] Hei, Mana Bisa Kau Tahan Puisi
DI BLOG ini saya pernah mengutip Irving Layton. Kata penyair Kanada itu, "Kalau puisi itu diibaratkan seperti orgasme, maka akademisi yang meneliti puisi tak ubahnya seperti orang yang mempelajari noda-noda gairah yang tercecer di sprei."
Saya ingin mengawali komentar saya atas sajak-sajak "patah hati" Aan M Mansyur dengan kutipan di atas. Ya, saya bukan akademisi, bukan peneliti puisi. Saya adalah pembaca yang juga sering merasakan orgasme yang sama dengan Aan.
Menurut saya, puisi yang baik adalah puisi yang ketika dibaca masih menyisakan rasa nikmat, sehingga si pembaca pun ikut orgasme. Aaaaah. Dan sebaliknya dengan metafora itu maka puisi yang buruk adalah puisi yang hanya sisa ceceran sperma. Kita menganggapnya kotor. Kita jijik. Meskipun sebenarnya, sperma itu menurut ketentuan syariah tergolong air yang suci lagi menyucikan. Artinya kalau nisabnya cukup dia syah dipakai berwudhu.
Dan bersama puisi Aan saya tidak hanya masih merasakan rasa itu, tapi juga merangsang saya untuk menciptakan orgasme-orgasme yang lain. Ya, sebutlah semacam multiorgasme.
Dari emailnya kepada saya, Aan pun membuat saya yakin bahwa puisi itu memang sebuah pilihan lakon. Ia dilakoni, dihidupi, dijalankan sebagai laku hidup. Puisi dan berpuisi bukan sekadar ditulis dan dilakukan ketika si penyair membutuhkan. Pada tingkat yang sangat karib, puisi itu menuliskan dirinya sendiri tanpa bisa ditahan oleh si penyair.
Saya ingin mencuri pembenaran dari penyair lain. "Saya sebenarnya bukan penyair, yang bersyair sebenarnya alam, kemanusiaan, dan jeritan yang secuil sempat singgah ke dalam hati," kata D Zawawi Imron, dalam Madura, Akulah Darahmu, Grasindo, 1999.
Jeritan secuil yang singgah ke dalam hati, kata Zawawi. Dan Aan mendapatkan lebih dari itu. Ia tengah hancur hatinya. Bisakah itu ditahan? Bisa dan sebenarnya harus ditahan. Dan saya tahu ada jarak antara peristiwa dahsyat itu dengan puisi-puisi "sakit hati" yang ia tulis. Saya ingat Rainer Maria Rilke. Penyair harus melupakan semua peristiwa dialaminya. Ketika ia datang sebagai kenangan, kata Rilke, itulah saatnya untuk menuliskannya sebagai puisi.
Saya yakin Aan tidak bisa melupakan "sakit hati" itu. Tapi waktu yang kian berjarak membuat sejumlah kenangan berdatangan padanya. Dan lihat! "....tak bisa kutolak saat kata-kata itu sendiri yang menulis diri. Maka semalam, sesaat setelah mati lampu berhenti (di sana sering mati lampu juga?) saya tak bisa menahan diri untuk tidak duduk di depan notebook untuk menulis!" katanya dalam email pengantar puisi itu pada saya.
Saya tak ingin mengantar terlalu panjang. Karena akan mengganggu kenikmatan orgasme pembacaan saya. Silakan baca sendiri, dan silakan menikmati. Saya yakin syahwat puisi Anda tidak sedang impoten.
Hasan Aspahani
awalnya sangat sederhana
Sajak Aan M Mansyur
awalnya sangat sederhana
hanya bukit dengan hijau rumputnya
lalu kita tiba pada pertanyaan
: bangunan apa sebagai tetanda?
cinta, katamu, adalah hiruk-pikuk kota
lalu kau dirikan restoran dan cafƩ dengan musik berbahasa asing,
bioskop dengan film-film eropa dan amerika,
mall dengan etalase-etalase yang mengeringkan kantong,
dan hotel yang kasurnya membuatmu tak pernah lelah bercinta.
tetapi aku lebih suka cinta itu dalam dan sepi,
maka kugali sebuah perigi di kaki bukit
yang meluruhkan gerah
yang membasahi dahaga
dan membuat rumput berbunga
awalnya sangat sederhana
hanya bukit dengan riang ternaknya
tetapi seperti yang kuduga
riuh kota akan membuatmu bosan dan lelah
dan kau runtuhkan semua yang berdiri
semua yang kau bangun sendiri
lalu pergi mencari tanah bukit yang lain
melupakan cinta
dan aku yang tak mengerti
sementara perigi tak bisa dipindahkan
ia akan tetap tinggal meskipun kota telah mati
membuatku terkurung di dasarnya
dan airmataku jadi mataairnya.
biblioholic, 03/09/05
--------
sajak mati lampu
Sajak Aan M Mansyur
empat tembok yang berdiri mengepung
seperti ditumpahi tinta atau cat hitam
lampu pijar matahari kecil itu,
yang lebih senang kau sebut bintang,
tak lagi kulihat bergantung di langit kamar
inilah yang kuminta di setiap doa
kamar gelap dan kau bisa kubayangkan
datang dan telentang di sisiku
mengeluhkan haidmu telat seminggu,
sedikit perih di sekitar payudaramu,
atau sekedar memintaku mengelus rambut
atau punggungmu.
inilah yang kutunggu di setiap malam
alam kelam dan aku bisa menangis
sambil mengulang-ulang namamu
tanpa seorangpun melihat airmataku
di saat yang sama, biar kutebak,
apa yang sedang kau lakukan,
kau menyalakan sebatang lilin
dan membaca ulang puisi
yang kuselip di saku jaket biru tuamu,
sesaat sebelum tangan kita saling melepas,
sambil sesekali menggigit bibir
dan mendongak menahan tangis
atau kau sedang khusyu meminta
agar lelampu segara kembali bercahaya
sebab kau tak mampu menahan kenangan
yang melayang-layang ingin membawamu pulang.
biblioholic, 03/09/05
-----
walau waktu telah jauh, juga kau
Sajak Aan M Mansyur
apa yang paling kau suka dariku?
pertanyaan itu paling sering kau ajukan.
meski sudah tahu jawabannya,
kau merajuk manja jika aku tak mengatakannya
: deretan gigimu, saat kau tersenyum!
lalu kau, dengan malu-malu, tersenyum,
dan setelahnya menawarkan ciuman,
jika kebetulan tak ada orang yang melihat,
sebagai semacam hadiah atau ucapan terima kasih
walau waktu telah jauh, juga kau,
rapat rapi geligi itu adalah penjara
dengan jeruji yang terlalu kuat bagi jemari
aku tak bisa meloloskan diri.
biblioholic, 03/09/05
-------
kepada yang telah beranjak
Sajak Aan M Mansyur
seperti kata buku-buku cinta murahan
satu perempuan datang,
dari rahim lelaki
beribu puisi dilahirkan
kau masuk ke ruang dadaku,
empat tahun lalu, meniupkan roh
pada satu penyair yang tertidur
di bawah nisan batu
lalu hidup mengandung kecemasan
membayangkan kembali mati
jika kau bergerak
memanjangkan jarak
tetapi, anehnya, kini
ada seribu penyair
dalam satu lelaki ini
tak henti menulis puisi
kepadamu yang telah beranjak.
biblioholic, 03/09/05
------
kamar mandi
Sajak Aan M Mansyur
baknya kering oleh kemarau,
pintunya, selalu seperti itu,
tak bisa tertutup penuh
dulu, di sana, setiap pagi
aku bernyanyi atau berpuisi
tentang perempuan bergeligi rapi
kini setiap masuk kamar mandi
aku ingin menangis, sedih,
perempuan itu telah pergi
aku jadi jarang mandi
jeneponto, 28/08/05
Saya ingin mengawali komentar saya atas sajak-sajak "patah hati" Aan M Mansyur dengan kutipan di atas. Ya, saya bukan akademisi, bukan peneliti puisi. Saya adalah pembaca yang juga sering merasakan orgasme yang sama dengan Aan.
Menurut saya, puisi yang baik adalah puisi yang ketika dibaca masih menyisakan rasa nikmat, sehingga si pembaca pun ikut orgasme. Aaaaah. Dan sebaliknya dengan metafora itu maka puisi yang buruk adalah puisi yang hanya sisa ceceran sperma. Kita menganggapnya kotor. Kita jijik. Meskipun sebenarnya, sperma itu menurut ketentuan syariah tergolong air yang suci lagi menyucikan. Artinya kalau nisabnya cukup dia syah dipakai berwudhu.
Dan bersama puisi Aan saya tidak hanya masih merasakan rasa itu, tapi juga merangsang saya untuk menciptakan orgasme-orgasme yang lain. Ya, sebutlah semacam multiorgasme.
Dari emailnya kepada saya, Aan pun membuat saya yakin bahwa puisi itu memang sebuah pilihan lakon. Ia dilakoni, dihidupi, dijalankan sebagai laku hidup. Puisi dan berpuisi bukan sekadar ditulis dan dilakukan ketika si penyair membutuhkan. Pada tingkat yang sangat karib, puisi itu menuliskan dirinya sendiri tanpa bisa ditahan oleh si penyair.
Saya ingin mencuri pembenaran dari penyair lain. "Saya sebenarnya bukan penyair, yang bersyair sebenarnya alam, kemanusiaan, dan jeritan yang secuil sempat singgah ke dalam hati," kata D Zawawi Imron, dalam Madura, Akulah Darahmu, Grasindo, 1999.
Jeritan secuil yang singgah ke dalam hati, kata Zawawi. Dan Aan mendapatkan lebih dari itu. Ia tengah hancur hatinya. Bisakah itu ditahan? Bisa dan sebenarnya harus ditahan. Dan saya tahu ada jarak antara peristiwa dahsyat itu dengan puisi-puisi "sakit hati" yang ia tulis. Saya ingat Rainer Maria Rilke. Penyair harus melupakan semua peristiwa dialaminya. Ketika ia datang sebagai kenangan, kata Rilke, itulah saatnya untuk menuliskannya sebagai puisi.
Saya yakin Aan tidak bisa melupakan "sakit hati" itu. Tapi waktu yang kian berjarak membuat sejumlah kenangan berdatangan padanya. Dan lihat! "....tak bisa kutolak saat kata-kata itu sendiri yang menulis diri. Maka semalam, sesaat setelah mati lampu berhenti (di sana sering mati lampu juga?) saya tak bisa menahan diri untuk tidak duduk di depan notebook untuk menulis!" katanya dalam email pengantar puisi itu pada saya.
Saya tak ingin mengantar terlalu panjang. Karena akan mengganggu kenikmatan orgasme pembacaan saya. Silakan baca sendiri, dan silakan menikmati. Saya yakin syahwat puisi Anda tidak sedang impoten.
Hasan Aspahani
awalnya sangat sederhana
Sajak Aan M Mansyur
awalnya sangat sederhana
hanya bukit dengan hijau rumputnya
lalu kita tiba pada pertanyaan
: bangunan apa sebagai tetanda?
cinta, katamu, adalah hiruk-pikuk kota
lalu kau dirikan restoran dan cafƩ dengan musik berbahasa asing,
bioskop dengan film-film eropa dan amerika,
mall dengan etalase-etalase yang mengeringkan kantong,
dan hotel yang kasurnya membuatmu tak pernah lelah bercinta.
tetapi aku lebih suka cinta itu dalam dan sepi,
maka kugali sebuah perigi di kaki bukit
yang meluruhkan gerah
yang membasahi dahaga
dan membuat rumput berbunga
awalnya sangat sederhana
hanya bukit dengan riang ternaknya
tetapi seperti yang kuduga
riuh kota akan membuatmu bosan dan lelah
dan kau runtuhkan semua yang berdiri
semua yang kau bangun sendiri
lalu pergi mencari tanah bukit yang lain
melupakan cinta
dan aku yang tak mengerti
sementara perigi tak bisa dipindahkan
ia akan tetap tinggal meskipun kota telah mati
membuatku terkurung di dasarnya
dan airmataku jadi mataairnya.
biblioholic, 03/09/05
--------
sajak mati lampu
Sajak Aan M Mansyur
empat tembok yang berdiri mengepung
seperti ditumpahi tinta atau cat hitam
lampu pijar matahari kecil itu,
yang lebih senang kau sebut bintang,
tak lagi kulihat bergantung di langit kamar
inilah yang kuminta di setiap doa
kamar gelap dan kau bisa kubayangkan
datang dan telentang di sisiku
mengeluhkan haidmu telat seminggu,
sedikit perih di sekitar payudaramu,
atau sekedar memintaku mengelus rambut
atau punggungmu.
inilah yang kutunggu di setiap malam
alam kelam dan aku bisa menangis
sambil mengulang-ulang namamu
tanpa seorangpun melihat airmataku
di saat yang sama, biar kutebak,
apa yang sedang kau lakukan,
kau menyalakan sebatang lilin
dan membaca ulang puisi
yang kuselip di saku jaket biru tuamu,
sesaat sebelum tangan kita saling melepas,
sambil sesekali menggigit bibir
dan mendongak menahan tangis
atau kau sedang khusyu meminta
agar lelampu segara kembali bercahaya
sebab kau tak mampu menahan kenangan
yang melayang-layang ingin membawamu pulang.
biblioholic, 03/09/05
-----
walau waktu telah jauh, juga kau
Sajak Aan M Mansyur
apa yang paling kau suka dariku?
pertanyaan itu paling sering kau ajukan.
meski sudah tahu jawabannya,
kau merajuk manja jika aku tak mengatakannya
: deretan gigimu, saat kau tersenyum!
lalu kau, dengan malu-malu, tersenyum,
dan setelahnya menawarkan ciuman,
jika kebetulan tak ada orang yang melihat,
sebagai semacam hadiah atau ucapan terima kasih
walau waktu telah jauh, juga kau,
rapat rapi geligi itu adalah penjara
dengan jeruji yang terlalu kuat bagi jemari
aku tak bisa meloloskan diri.
biblioholic, 03/09/05
-------
kepada yang telah beranjak
Sajak Aan M Mansyur
seperti kata buku-buku cinta murahan
satu perempuan datang,
dari rahim lelaki
beribu puisi dilahirkan
kau masuk ke ruang dadaku,
empat tahun lalu, meniupkan roh
pada satu penyair yang tertidur
di bawah nisan batu
lalu hidup mengandung kecemasan
membayangkan kembali mati
jika kau bergerak
memanjangkan jarak
tetapi, anehnya, kini
ada seribu penyair
dalam satu lelaki ini
tak henti menulis puisi
kepadamu yang telah beranjak.
biblioholic, 03/09/05
------
kamar mandi
Sajak Aan M Mansyur
baknya kering oleh kemarau,
pintunya, selalu seperti itu,
tak bisa tertutup penuh
dulu, di sana, setiap pagi
aku bernyanyi atau berpuisi
tentang perempuan bergeligi rapi
kini setiap masuk kamar mandi
aku ingin menangis, sedih,
perempuan itu telah pergi
aku jadi jarang mandi
jeneponto, 28/08/05
Friday, September 2, 2005
Doa Singkat di Ujung Rakaat
: Nurcholis Madjid
aku cuma jamaah masbuk, terlambat datang
sembahyang khusyuk, shaf paling belakang
aku cuma jamaah masbuk, terlambat datang
sembahyang khusyuk, shaf paling belakang
Thursday, September 1, 2005
[Ruang Renung # 124] Kirimkan Puisimu pada Teman
UJUNG LĆRO
Sajak Jimpe
Ujung Lero, engkau mata
penjemput seluruh luka
sebelum sampai di pelabuhan,
bibir yang selalu membaca kedatangan-kedatangan
[Parepare, Agustus 2005]
KIRIMKAN puisi kita pada teman. Jimpe di Sulawesi mengirim puisi di atas untuk saya. Kami tak pernah bertemu muka. Tapi pertemanan ini begitu terasa.
YA, puisi bisa jadi pertanda pertemanan, atau pengingat pertemanan. Ia bisa jadi pemererat pertemanan. Apalagi kalau puisi itu memang kita tulis khusus untuk teman kita jauh nan di sana. Sebagai penanda bahwa kita mengingat dia.
BANYAK penyair yang menulis puisi seperti itu. Rumi menulis Matsnawi untuk sahabat paling karib yang meninggalkannya. Bukalah buku puisi milik seorang penyair, temukan puisi yang ia tulis untuk kerabatnya. Rasakan kedekatan yang bisa terasa dari puisi itu. Ukur kedekatan pertemanan mereka dari puisi itu.
BERAPA banyak teman yang kita punya? Sudahkan kita menulis puisi untuk teman-teman kita? Mereka tidak meminta. Tapi itulah alasan terbaik untuk menulis puisi untuk mereka. Seperti puisi, pertemanan akan terasa lebih indah jika kita melandasinya dengan keikhlasan.[]
Sajak Jimpe
Ujung Lero, engkau mata
penjemput seluruh luka
sebelum sampai di pelabuhan,
bibir yang selalu membaca kedatangan-kedatangan
[Parepare, Agustus 2005]
KIRIMKAN puisi kita pada teman. Jimpe di Sulawesi mengirim puisi di atas untuk saya. Kami tak pernah bertemu muka. Tapi pertemanan ini begitu terasa.
YA, puisi bisa jadi pertanda pertemanan, atau pengingat pertemanan. Ia bisa jadi pemererat pertemanan. Apalagi kalau puisi itu memang kita tulis khusus untuk teman kita jauh nan di sana. Sebagai penanda bahwa kita mengingat dia.
BANYAK penyair yang menulis puisi seperti itu. Rumi menulis Matsnawi untuk sahabat paling karib yang meninggalkannya. Bukalah buku puisi milik seorang penyair, temukan puisi yang ia tulis untuk kerabatnya. Rasakan kedekatan yang bisa terasa dari puisi itu. Ukur kedekatan pertemanan mereka dari puisi itu.
BERAPA banyak teman yang kita punya? Sudahkan kita menulis puisi untuk teman-teman kita? Mereka tidak meminta. Tapi itulah alasan terbaik untuk menulis puisi untuk mereka. Seperti puisi, pertemanan akan terasa lebih indah jika kita melandasinya dengan keikhlasan.[]
Pintu Belakang
Sajak Ted Kooser
    Pintu yang kita lintasi ketika melangkah keluar
ke masa lalu, begitu mudah ditolak dan terbuka,
seringan udara, pintu berjaring kawat hijau
dengan pegas kendur menjuntai. Ada pengait
yang tak lagi terkaitkan, ada yang sudah
terjadi rupanya: ada yang lebih dahulu tiba
dari masa lalu dan mencuri sesuatu yang baik
dari masa kini. Kita tahu siapakah mereka.
Telah kita coba menggentarkan hatinya,
kita berpindah dari rumah ke rumah,
dari kota ke kota, tapi toh mereka menemukan
kita lagi, menemukan lagi. Kau lihat mereka
datang, terkadang dari jauh yang jauh --
seorang gadis yang molek, jejaka yang elok,
melangkah mendekat di gerbang taman belakang,
berjenak sejenak memetik kuntum-kuntum mawar.
THE BACK DOOR
    The door through which we step out
into the past is an easy push,
light as the air, a green screen door
with a sagging spring. There's a hook
to unhook first, for there have been
incidents: someone has come up
out of the past to steal something good
from the present. We know who they are.
We have tried to discourage them
by moving from house to house,
from city to city, but they find us
again and again. You see them coming
sometimes from a long ways off —
a pretty young woman, a handsome man,
stepping in through the back garden gate,
pausing to pick the few roses.
    Pintu yang kita lintasi ketika melangkah keluar
ke masa lalu, begitu mudah ditolak dan terbuka,
seringan udara, pintu berjaring kawat hijau
dengan pegas kendur menjuntai. Ada pengait
yang tak lagi terkaitkan, ada yang sudah
terjadi rupanya: ada yang lebih dahulu tiba
dari masa lalu dan mencuri sesuatu yang baik
dari masa kini. Kita tahu siapakah mereka.
Telah kita coba menggentarkan hatinya,
kita berpindah dari rumah ke rumah,
dari kota ke kota, tapi toh mereka menemukan
kita lagi, menemukan lagi. Kau lihat mereka
datang, terkadang dari jauh yang jauh --
seorang gadis yang molek, jejaka yang elok,
melangkah mendekat di gerbang taman belakang,
berjenak sejenak memetik kuntum-kuntum mawar.
THE BACK DOOR
    The door through which we step out
into the past is an easy push,
light as the air, a green screen door
with a sagging spring. There's a hook
to unhook first, for there have been
incidents: someone has come up
out of the past to steal something good
from the present. We know who they are.
We have tried to discourage them
by moving from house to house,
from city to city, but they find us
again and again. You see them coming
sometimes from a long ways off —
a pretty young woman, a handsome man,
stepping in through the back garden gate,
pausing to pick the few roses.
Hangat Jingga Senja Makin Samar
Aku ingat kau yang mencintai langit setelah selesai hujan.
"Seperti ada puisi menguap dari rumput, mohon dibacakan."
Pada pelangi sebentar, bisikmu gemetar, "langit usai hujan,
bisakah kau ajari aku menertibkan angan. Aku kedinginan."
Aku ingat kau yang seperti enggan mengunci jendela kamar,
sebelum kubacakan puisi, hangat jingga senja makin samar.
"Seperti ada puisi menguap dari rumput, mohon dibacakan."
Pada pelangi sebentar, bisikmu gemetar, "langit usai hujan,
bisakah kau ajari aku menertibkan angan. Aku kedinginan."
Aku ingat kau yang seperti enggan mengunci jendela kamar,
sebelum kubacakan puisi, hangat jingga senja makin samar.
Subscribe to:
Posts (Atom)