jeramah: serupa inikah rasa enggan itu? telapak tanganmu
      di punggungku. aku menduga cinta itu merasuk
      lewat jemarimu. dua dada telanjang. dua mulut
      bercengkeraman. ada kata yang belum tuntas
      dibicarakan. "Sudah malam, sudah malam,"
      aku masih ragu, engkau pun tak kunjung faham.
jerabak: ada pelabuhan, dua berjauhan. aku di tepi danau
      ini, kau di seberang sana. tak ada yang ingin
      jadi perahu. lalu waktu melapukkan tiang-tiang.
      kita terbengkalai, dalam penungguan yang lalai.
jerau: bulan merah tua. warna yang dikirim api dan asap,
      padang yang terbakar di sana: hati lapang kita.
      jangan berharap pada hujan. ini kemarau bukan?
      jangan menunggu malam berubah warna, sayang,
      (merah ini kelak semakin menua).
jerah: lalu kita saling mengembara, saling menghindari.
      aku menemukan dia di mana-mana. (engkau jugakah?)
      tapi dia tak menunjukkan jalanku menemukanmu.
      aku menemukannya di setiap singgah. (engkau jugakah?)
      dia menawarkan lelah, dan merayuku agar menyerah.
April 2004
Catatan:
   Maaf, catatan ini akan mengganggu pembacaan siapapun atas sajak di atas. Ini benar-benar hanya sebuah catatan. Ini bisa dibaca lepas dari puisi yang hendak diberinya catatan. Puisi Kamus Empat Kata Berhuruf Awal J sebagai mana semua puisi yang saya tulis, adalah hasil dari eksperimen berbahasa. Saya tidak menyombong hendak menghasilkan sesuatu yang luar biasa dari eksperimen-eksperimen ini. Ini cuma sebuah percobaan kecil-kecilan. Saya hanya menikmati prosesnya. Menikmati gelisahnya. Menikmati rasa mengganjal yang terus menerus membuat saya seperi sedang dikejar sesuatu dan harus terus berlari, terus mencari tempat sembunyi.
   Sudah lama saya menyalin dari kamus penjelasan empat kata itu: jeramah, jerabak, jerau dan jerah. Saya menyalinnya ke dalam buku notes kecil yang selalu saya bawa ke mana-mana. Saya kira suatu saat kata itu akan punya tempat dalam puisi yang kelak akan saya tulis. Pada pertemuan terakhir dengan kata-kata salinan itu, terlintaslah rasa bersalah. Aku ternyata belum datang juga rasa yang meminta dipuisikan dan bisa melibatkan kata-kata tadi. Lalu saya fikir kenapa tidak empat kata itu saja yang jadi puisi? Rasa dan fikir itulah yang mendorong lahirnya sebuah eksperimen dan hasilnya adalah puisi di atas.
   Maaf, ini cuma catatan tak penting yang tak perlu diambil hati.
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Wednesday, March 31, 2004
Monday, March 29, 2004
The Art of Poetry
Jorge Luis Borges
Menatap sungai, dicipta waktu dan arus air
kau ingat? Waktu adalah sungai yang lain.
Kita, kau tahu, berliku bagai sungai yang lain
wajah kita kelak menghilang, bagai arus air.
Terjaga, kau rasakan, adalah juga mimpi,
mimpi yang bukan bermimpi, dan maut
yang mencekam di tulang kita adalah maut,
setiap malam kita pinta datangnya; itu mimpi.
Setiap hari segenap tahun menemu: simbol.
Seluruh hari lelaki, juga sepanjang tahun,
dan menukar kekejaman seluruh tahun-tahun
menjadi musik, suara, dan sebuah simbol.
Mimpi terlihat pada maut, matahari senja hari.
kesedihan yang sungguh -- selayaknya puisi,
apa adanya, abadi adanya, seperti puisi,
bertukar ganti, seperti fajar dan senja hari.
Sekali waktu, malam hari, ada seraut wajah
menatapi kita dari kedalaman di balik cermin.
Seni itu mustilah menjadi seperti cermin,
yang menyingkapkan bagi kita: seraut wajah.
Kata mereka Ulysses, mengenakan keajaiban,
menangis dengan cinta menatap Ithaca,
lembut dan hijau. Seni adalah dia: Ithaca,
takdir yang berwarna hijau, bukan keajaiban.
Seni tak berakhir, seperti arus sungai itu,
berlalu, juga tetap tinggal, cermin pun sama
Heraclitus yang teguh, dia orang yang sama
juga seperti lainnya, seperti arus sungai itu.
Menatap sungai, dicipta waktu dan arus air
kau ingat? Waktu adalah sungai yang lain.
Kita, kau tahu, berliku bagai sungai yang lain
wajah kita kelak menghilang, bagai arus air.
Terjaga, kau rasakan, adalah juga mimpi,
mimpi yang bukan bermimpi, dan maut
yang mencekam di tulang kita adalah maut,
setiap malam kita pinta datangnya; itu mimpi.
Setiap hari segenap tahun menemu: simbol.
Seluruh hari lelaki, juga sepanjang tahun,
dan menukar kekejaman seluruh tahun-tahun
menjadi musik, suara, dan sebuah simbol.
Mimpi terlihat pada maut, matahari senja hari.
kesedihan yang sungguh -- selayaknya puisi,
apa adanya, abadi adanya, seperti puisi,
bertukar ganti, seperti fajar dan senja hari.
Sekali waktu, malam hari, ada seraut wajah
menatapi kita dari kedalaman di balik cermin.
Seni itu mustilah menjadi seperti cermin,
yang menyingkapkan bagi kita: seraut wajah.
Kata mereka Ulysses, mengenakan keajaiban,
menangis dengan cinta menatap Ithaca,
lembut dan hijau. Seni adalah dia: Ithaca,
takdir yang berwarna hijau, bukan keajaiban.
Seni tak berakhir, seperti arus sungai itu,
berlalu, juga tetap tinggal, cermin pun sama
Heraclitus yang teguh, dia orang yang sama
juga seperti lainnya, seperti arus sungai itu.
Bukit Pinus
Haiku Matsuo "Basho" Munefusa
di dekat pintu berpagar perdu
geram dedaun teh tak lagi sempat
badai lewat, tak ada yang tercatat
kembang sepatu berbunga,
tumbuh di sisi jalanan,
dimakan oleh kudaku
kesunyian itu —
meresap ke dalam batu-batu
seekor jengkerik menangis
puncak-puncak kabut
berguguran, betapa banyak
gunung rembulan
dari Gunung Atsumi
hingga ke Fuku-ura
mendingin senja hari
merah memerah
matahari terhentikan
angin musim luruh
sepanjang malam hari
simak desau angin gugur
di belakangan tegak gunung
bulan musim panen
iklim baik di Hokkuku
jangan tergantung pada cuaca
berkaca di wajah mekar bunga
merasa malukah engkau,
duhai bulan berbalut kabut?
sepanjang apa pun hari
tak juga cukup untuk berlagu-
burung kecil itu!
sambar halilintar:
jerit tangis bangau
menikam kegelapan
jalan kecil di pegunungan--
terbit cahaya matahari
menembus aroma prem
semak bersisian jalan
semakin dekat kau tampak
bunga-bunga bermekaran
bulan masih ada di sana
mempertegas betapa jauh rumah
musim panas di Suma
di cabang yang telanjang
hinggap seekor gagak
remang petang musim gugur
krisan berbunga putih
terperangkap di mata
tak satu ada: bercak debu
kampung itu betapa tua
tak ada satu rumah pun
tanpa sepohon kesemak.
di dekat pintu berpagar perdu
geram dedaun teh tak lagi sempat
badai lewat, tak ada yang tercatat
kembang sepatu berbunga,
tumbuh di sisi jalanan,
dimakan oleh kudaku
kesunyian itu —
meresap ke dalam batu-batu
seekor jengkerik menangis
puncak-puncak kabut
berguguran, betapa banyak
gunung rembulan
dari Gunung Atsumi
hingga ke Fuku-ura
mendingin senja hari
merah memerah
matahari terhentikan
angin musim luruh
sepanjang malam hari
simak desau angin gugur
di belakangan tegak gunung
bulan musim panen
iklim baik di Hokkuku
jangan tergantung pada cuaca
berkaca di wajah mekar bunga
merasa malukah engkau,
duhai bulan berbalut kabut?
sepanjang apa pun hari
tak juga cukup untuk berlagu-
burung kecil itu!
sambar halilintar:
jerit tangis bangau
menikam kegelapan
jalan kecil di pegunungan--
terbit cahaya matahari
menembus aroma prem
semak bersisian jalan
semakin dekat kau tampak
bunga-bunga bermekaran
bulan masih ada di sana
mempertegas betapa jauh rumah
musim panas di Suma
di cabang yang telanjang
hinggap seekor gagak
remang petang musim gugur
krisan berbunga putih
terperangkap di mata
tak satu ada: bercak debu
kampung itu betapa tua
tak ada satu rumah pun
tanpa sepohon kesemak.
Sunday, March 28, 2004
Anak-anak Malaikat
Syair Rabindranath Tagore
Mereka berteriakan dan bergelut; mereka gamang dan
putus asa, mereka tahu tak habis pertengkaran itu.
Tapi, biarkan hidupmu hidup di tengah mereka seperti
kobar cahaya, anakku, cahaya murni tanpa kerdip,
membawa kegirangan mereka pada kesenyapan.
Mereka lalim dalam ketamakan dan rasa cemburu,
Kata-kata mereka pedang mengintai, haus darah.
Tapi, kau pergilah ke sana dan berdiri tegak di antara
hati mereka yang memberengut, anakku, dan tebarkan
lembut tatapmu, seperti damai senja yang memaafkan
pertelegahan meletihkan, sepanjang hari itu.
Biarkan mereka memandangai wajahmu, anakku,
Biarkan mereka mengerti makna segala-galanya;
Biarkan mereka mencintamu, lalu saling mencinta.
Datang dan duduklah di tak terhingga dada,
anakku. Ketika matahari terbit bangkit membuka
hatimu, anakku, bagi kelopak bunga bermekaran,
dan ketika matahari terbenam menekurkan wajahmu
senyap sunyi: sembahyang yang melengkapi hari.
Gambar dari ANGEL IMAGE by G TROVATO
THE CHILD-ANGEL
They clamour and fight, they doubt and despair, they know no end
to their wranglings.
Let your life come amongst them like a flame of light, my child,
unflickering and pure, and delight them into silence.
They are cruel in their greed and their envy, their words are
like hidden knives thirsting for blood.
Go and stand amidst their scowling hearts, my child, and let your
gentle eyes fall upon them like the forgiving peace of the
evening over the strife of the day.
Let them see your face, my child, and thus know the meaning of
all things; let them love you and thus love each other.
Come and take your seat in the bosom of the limitless, my child.
At sunrise open and raise your heart like a blossoming flower,
and at sunset bend your head and in silence complete the worship
of the day.
Mereka berteriakan dan bergelut; mereka gamang dan
putus asa, mereka tahu tak habis pertengkaran itu.
Tapi, biarkan hidupmu hidup di tengah mereka seperti
kobar cahaya, anakku, cahaya murni tanpa kerdip,
membawa kegirangan mereka pada kesenyapan.
Mereka lalim dalam ketamakan dan rasa cemburu,
Kata-kata mereka pedang mengintai, haus darah.
Tapi, kau pergilah ke sana dan berdiri tegak di antara
hati mereka yang memberengut, anakku, dan tebarkan
lembut tatapmu, seperti damai senja yang memaafkan
pertelegahan meletihkan, sepanjang hari itu.
Biarkan mereka memandangai wajahmu, anakku,
Biarkan mereka mengerti makna segala-galanya;
Biarkan mereka mencintamu, lalu saling mencinta.
Datang dan duduklah di tak terhingga dada,
anakku. Ketika matahari terbit bangkit membuka
hatimu, anakku, bagi kelopak bunga bermekaran,
dan ketika matahari terbenam menekurkan wajahmu
senyap sunyi: sembahyang yang melengkapi hari.
Gambar dari ANGEL IMAGE by G TROVATO
THE CHILD-ANGEL
They clamour and fight, they doubt and despair, they know no end
to their wranglings.
Let your life come amongst them like a flame of light, my child,
unflickering and pure, and delight them into silence.
They are cruel in their greed and their envy, their words are
like hidden knives thirsting for blood.
Go and stand amidst their scowling hearts, my child, and let your
gentle eyes fall upon them like the forgiving peace of the
evening over the strife of the day.
Let them see your face, my child, and thus know the meaning of
all things; let them love you and thus love each other.
Come and take your seat in the bosom of the limitless, my child.
At sunrise open and raise your heart like a blossoming flower,
and at sunset bend your head and in silence complete the worship
of the day.
Thursday, March 25, 2004
Ke Tepian Sungai Seberang
Syair Rabindranath Tagore
Aku rindu tiba-tiba, pergi ke sana,
pergi lebih jauh ke tepian sungai,
ada perahu di sana berbaris segaris,
bertambatan di galah-galah bambu;
ada mereka menyeberang pagi hari
memanggul mata bacak di pundaknya,
menuju sawah, ada nun jauh di sana;
ada sekawanan sapi membuka kandang
pergi juga ke tepian yang di seberang
ke sana datang, rumput seluas padang;
Lalu senja datang, ketika semua pulang,
tertinggal seekor jakal, melolong jalang,
padang bersemak panjang, d pulau seberang.
Ibu, kuharapkan engkau tidak keberatan,
kelak aku ingin jadi pengemudi perahu itu.
Dan kata mereka, ada danau yang asing
tersembunyi di sebalik tebing sungai itu.
ada sekawanan burung dan bebek liar
datang ketika cuaca reda, hujan berlalu,
alang-alang tumbuh di sekeliling danau,
burung air mengerami telurnya di situ;
ada burung berkik, ekornya menari-nari,
langkah kakinya ringan menjejak di lumpur;
senja tiba, rumput tinggi bermahkota bunga,
putih warnanya, mengundang bulan datang,
berenang mengambang di tari-tari riaknya.
Ibu, kuharapkan engkau tidak keberatan,
kelak aku ingin jadi pengemudi perahu itu.
Kelak aku menyeberang dari tepian ke tepian,
dan lihatlah, Ibu, bocah-bocah itu bermandian,
sambil memandangiku penuh kekaguman.
Ketika matahari memanjat puncak langit,
dan waktu pagi bertukar ke petang hari,
aku kembali pulang ke padamu, Ibu,
seraya berseru, "Ibu, betapa laparnya aku!"
Ketika hari tuntas dan bayangan gemetaran
di bawah pohon, aku kembali di petang hari.
Aku tak akan pernah pergi jauh darimu, Ibu,
pergi jauh ke kota, seperti Ayahku bekerja.
Ibu, kuharapkan engkau tidak keberatan,
kelak aku ingin jadi pengemudi perahu itu.
THE FURTHER BANK
I long to go over there to the further bank of the river,
Where those boats are tied to the bamboo poles in a line;
Where men cross over in their boats in the morning with ploughs
on their shoulders to till their far-away fields;
Where the cowherds make their lowing cattle swim across to the
riverside pasture;
Whence they all come back home in the evening, leaving the
jackals to howl in the island overgrown with weeds,
Mother, if you don't mind, I should like to become the boatman of
the ferry when I am grown up.
They say there are strange pools hidden behind that high bank,
Where flocks of wild ducks come when the rains are over, and
thick reeds grow round the margins where waterbirds lay their
eggs;
'
Where snipes with their dancing tails stamp their tiny footprints
upon the clean soft mud;
Where in the evening the tall grasses crested with white flowers
invite the moonbeam to float upon their waves.
Mother, if you don't mind, I should like to become the boatman of
the ferryboat when I am grown up.
I shall cross and cross back from bank to bank, and all the boys
and girls of the village will wonder at me while they are
bathing.
When the sun climbs the mid sky and morning wears on to noon, I
shall come running to you, saying, "Mother, I am hungry!"
When the day is done and the shadows cower under the trees, I
shall come back in the dusk.
I shall never go away from you into the town to work like father.
Mother, if you don't mind, I should like to become the boatman of
the ferryboat when I am grown up.
Aku rindu tiba-tiba, pergi ke sana,
pergi lebih jauh ke tepian sungai,
ada perahu di sana berbaris segaris,
bertambatan di galah-galah bambu;
ada mereka menyeberang pagi hari
memanggul mata bacak di pundaknya,
menuju sawah, ada nun jauh di sana;
ada sekawanan sapi membuka kandang
pergi juga ke tepian yang di seberang
ke sana datang, rumput seluas padang;
Lalu senja datang, ketika semua pulang,
tertinggal seekor jakal, melolong jalang,
padang bersemak panjang, d pulau seberang.
Ibu, kuharapkan engkau tidak keberatan,
kelak aku ingin jadi pengemudi perahu itu.
Dan kata mereka, ada danau yang asing
tersembunyi di sebalik tebing sungai itu.
ada sekawanan burung dan bebek liar
datang ketika cuaca reda, hujan berlalu,
alang-alang tumbuh di sekeliling danau,
burung air mengerami telurnya di situ;
ada burung berkik, ekornya menari-nari,
langkah kakinya ringan menjejak di lumpur;
senja tiba, rumput tinggi bermahkota bunga,
putih warnanya, mengundang bulan datang,
berenang mengambang di tari-tari riaknya.
Ibu, kuharapkan engkau tidak keberatan,
kelak aku ingin jadi pengemudi perahu itu.
Kelak aku menyeberang dari tepian ke tepian,
dan lihatlah, Ibu, bocah-bocah itu bermandian,
sambil memandangiku penuh kekaguman.
Ketika matahari memanjat puncak langit,
dan waktu pagi bertukar ke petang hari,
aku kembali pulang ke padamu, Ibu,
seraya berseru, "Ibu, betapa laparnya aku!"
Ketika hari tuntas dan bayangan gemetaran
di bawah pohon, aku kembali di petang hari.
Aku tak akan pernah pergi jauh darimu, Ibu,
pergi jauh ke kota, seperti Ayahku bekerja.
Ibu, kuharapkan engkau tidak keberatan,
kelak aku ingin jadi pengemudi perahu itu.
THE FURTHER BANK
I long to go over there to the further bank of the river,
Where those boats are tied to the bamboo poles in a line;
Where men cross over in their boats in the morning with ploughs
on their shoulders to till their far-away fields;
Where the cowherds make their lowing cattle swim across to the
riverside pasture;
Whence they all come back home in the evening, leaving the
jackals to howl in the island overgrown with weeds,
Mother, if you don't mind, I should like to become the boatman of
the ferry when I am grown up.
They say there are strange pools hidden behind that high bank,
Where flocks of wild ducks come when the rains are over, and
thick reeds grow round the margins where waterbirds lay their
eggs;
'
Where snipes with their dancing tails stamp their tiny footprints
upon the clean soft mud;
Where in the evening the tall grasses crested with white flowers
invite the moonbeam to float upon their waves.
Mother, if you don't mind, I should like to become the boatman of
the ferryboat when I am grown up.
I shall cross and cross back from bank to bank, and all the boys
and girls of the village will wonder at me while they are
bathing.
When the sun climbs the mid sky and morning wears on to noon, I
shall come running to you, saying, "Mother, I am hungry!"
When the day is done and the shadows cower under the trees, I
shall come back in the dusk.
I shall never go away from you into the town to work like father.
Mother, if you don't mind, I should like to become the boatman of
the ferryboat when I am grown up.
Kenangan Setengah Jalan
yang paling basah dalam kenangan,
pulang lagi kepada musim penghujan
: tetesan tangismu, menggelincirkan.
Maret 2004
pulang lagi kepada musim penghujan
: tetesan tangismu, menggelincirkan.
Maret 2004
[Ruang Renung # 70] Duduk, Membentang Peta, Membaca....
   SEORANG kawan penyair, tiba-tiba menghilang. Dia tidak menulis puisi lagi. Dia mengaku tak bisa lagi menulis puisi. Dia mungkin terpesona dengan puisi-puisinya sendiri yang dulu dia tuliskan. Dia mengenang bagaimana dulu puisi itu berlahiran. Mengalir dari penanya. Tapi, saat ini, dia mungkin tak terdorong lagi menulis puisi. Puisi menjauhinya? Puisi pergi meninggalkannya?
   MENYAIR adalah kerja kreatif. Perlu lagikah kita ulangi kalimat ini? Ada yang wajib kita elakkan dalam kerja ini, yakni pengulangan. Mengulang apa yang sudah dituliskan orang lain, atau mengulang apa yang sudah pernah kita ciptakan sebelumnya, selayaknya memang bukanlah sesuatu yang menggairahkan. Kemana kita menuju? Padahal kita toh tak bisa berhenti setelah melangkah sejauh ini? Buka lagi peta, rancang lagi sebuah penjelajahan baru. Eksplorasi tak boleh berhenti. Di peta yang terbentang, bisa terpampang gamplang: wilayah mana yang belum kita kunjungi. Daerah mana yang paling menantang untuk segera ditaklukkan.
   TENTU saja, kita harus merancang dulu peta kepenyairan kita sendiri. Ah, repot amat, kata sebagian pencinta puisi. Kita toh menulis puisi tidak selalu harus jadi penyair. Ya, bagi yang menjawab seperti ini, tentu baginya tak perlu peta. Dia adalah pejalan kaki yang hanya lewat sambil sesekali tergoda untuk membuat catatan. Kebetulan catatan itu puisi bentuknya. Biarkan saja, itu bukan sebuah kesalahan.
   MAKA, mari. Menilik lagi semua puisi, sudah sejauh apa kita dalam pengembaraan ini. Mari melihat lagi sahabat-sahabat yang dulu seiring, yang dulu sempat berpapasan di beberapa persimpangan, yang sempat bertemu sekejab di persinggahan terakhir. Mari, duduk sebentar. Meluruskan kaki. Melihat seluruh jejak yang tertinggal di telapak sepatu. Mengepaskan letak topi. Mari melihat lagi peta, memberi tanda pada setiap jalan yang pantas kita beri tanda. Sebagai catatan. Sebagai petunjuk. Sudah seberapa banyak kita menaklukkan puncak-puncak dalam peta diri kita sendiri?[hah]
   MENYAIR adalah kerja kreatif. Perlu lagikah kita ulangi kalimat ini? Ada yang wajib kita elakkan dalam kerja ini, yakni pengulangan. Mengulang apa yang sudah dituliskan orang lain, atau mengulang apa yang sudah pernah kita ciptakan sebelumnya, selayaknya memang bukanlah sesuatu yang menggairahkan. Kemana kita menuju? Padahal kita toh tak bisa berhenti setelah melangkah sejauh ini? Buka lagi peta, rancang lagi sebuah penjelajahan baru. Eksplorasi tak boleh berhenti. Di peta yang terbentang, bisa terpampang gamplang: wilayah mana yang belum kita kunjungi. Daerah mana yang paling menantang untuk segera ditaklukkan.
   TENTU saja, kita harus merancang dulu peta kepenyairan kita sendiri. Ah, repot amat, kata sebagian pencinta puisi. Kita toh menulis puisi tidak selalu harus jadi penyair. Ya, bagi yang menjawab seperti ini, tentu baginya tak perlu peta. Dia adalah pejalan kaki yang hanya lewat sambil sesekali tergoda untuk membuat catatan. Kebetulan catatan itu puisi bentuknya. Biarkan saja, itu bukan sebuah kesalahan.
   MAKA, mari. Menilik lagi semua puisi, sudah sejauh apa kita dalam pengembaraan ini. Mari melihat lagi sahabat-sahabat yang dulu seiring, yang dulu sempat berpapasan di beberapa persimpangan, yang sempat bertemu sekejab di persinggahan terakhir. Mari, duduk sebentar. Meluruskan kaki. Melihat seluruh jejak yang tertinggal di telapak sepatu. Mengepaskan letak topi. Mari melihat lagi peta, memberi tanda pada setiap jalan yang pantas kita beri tanda. Sebagai catatan. Sebagai petunjuk. Sudah seberapa banyak kita menaklukkan puncak-puncak dalam peta diri kita sendiri?[hah]
Sunday, March 21, 2004
Lansekap di Sebuah Mimpi
untuk Engkau: Salvador Dali
Dan, kuas itu meneruskan imajinasi, tak bisa kuikuti.
Tulang iga langit berkaki pada delapan penjuru angin,
ada putih yang sabar bertahan dari godaan hitam,
air mata mengeras, membatu di sudut matahari itu.
Waktu, waktu meleleh, jarum jam tersangkut di sela gigi:
bumi yang terus mengunyah batu pijar. "Haus, haus!"
Dan, kuas itu meneruskan imajinasi, tak bisa kuikuti.
Masih ada tempat untuk tempat tidur lain? Mimpi lain?
Bantal-bantal melayah, warna langit merah, hujan darah.
Ada pisau memotong-motong sepiring daging kuda,
siapa yang hendak menyantap bersama ringkiknya?
Pelangi putus, sebelum selesai lagu dari piano besar.
Ada yang bermain kelamin sendiri, tengkorak sendiri.
Dan, kuas itu meneruskan imajinasi, tak bisa kuikuti.
Salvador, adakah boneka membusuk di kabin taksi?
Kuulangi, adakah boneka membusuk di kabin taksi?
Kau tak menjawab, dan baiklah aku setuju saja, katamu,
kau dan si gila bedanya cuma satu: kau tidak gila!
untuk Engkau: Salvador Dali
Dan, kuas itu meneruskan imajinasi, tak bisa kuikuti.
Tulang iga langit berkaki pada delapan penjuru angin,
ada putih yang sabar bertahan dari godaan hitam,
air mata mengeras, membatu di sudut matahari itu.
Waktu, waktu meleleh, jarum jam tersangkut di sela gigi:
bumi yang terus mengunyah batu pijar. "Haus, haus!"
Dan, kuas itu meneruskan imajinasi, tak bisa kuikuti.
Masih ada tempat untuk tempat tidur lain? Mimpi lain?
Bantal-bantal melayah, warna langit merah, hujan darah.
Ada pisau memotong-motong sepiring daging kuda,
siapa yang hendak menyantap bersama ringkiknya?
Pelangi putus, sebelum selesai lagu dari piano besar.
Ada yang bermain kelamin sendiri, tengkorak sendiri.
Dan, kuas itu meneruskan imajinasi, tak bisa kuikuti.
Salvador, adakah boneka membusuk di kabin taksi?
Kuulangi, adakah boneka membusuk di kabin taksi?
Kau tak menjawab, dan baiklah aku setuju saja, katamu,
kau dan si gila bedanya cuma satu: kau tidak gila!
Saturday, March 20, 2004
Penyair kepada Kekasihnya
Maxwell Bodenheim
Gereja sewarna perak, menua di tepi hutan,
serupa itulah cintaku kepadamu, Kekasih.
Pepohonan menjaga di sekelilingnya
adalah kata-kata yang kucuri dari hatimu.
Lonceng tua sewarna perak juga
  adalah senyum terakhir darimu
menggantung tinggi di puncak gerejaku.
Lonceng yang berdentang, hanya bila
  engkau datang dari hutan itu,
lalu berdiri bersama di sisiku.
Tapi, tak perlu lagi ada lonceng itu,
karena suaramu jauh lebih merdu.
Poet to His Love
AN old silver church in a forest
Is my love for you.
The trees around it
Are words that I have stolen from your heart.
An old silver bell, the last smile you gave,
Hangs at the top of my church.
It rings only when you come through the forest
And stand beside it.
And then, it has no need for ringing,
For your voice takes its place.
Gereja sewarna perak, menua di tepi hutan,
serupa itulah cintaku kepadamu, Kekasih.
Pepohonan menjaga di sekelilingnya
adalah kata-kata yang kucuri dari hatimu.
Lonceng tua sewarna perak juga
  adalah senyum terakhir darimu
menggantung tinggi di puncak gerejaku.
Lonceng yang berdentang, hanya bila
  engkau datang dari hutan itu,
lalu berdiri bersama di sisiku.
Tapi, tak perlu lagi ada lonceng itu,
karena suaramu jauh lebih merdu.
Poet to His Love
AN old silver church in a forest
Is my love for you.
The trees around it
Are words that I have stolen from your heart.
An old silver bell, the last smile you gave,
Hangs at the top of my church.
It rings only when you come through the forest
And stand beside it.
And then, it has no need for ringing,
For your voice takes its place.
Manuskrip Tua
Alfred Kreymborg
LANGIT adalah
buku indah, halamannya kulit tua,
matahari dan bulan menuliskan
buku hariannya di situ.
Bila kau hendak membacanya
kau mesti jadi ahli bahasa
lebih bijak dari Bapak Kebijakan;
kau mesti jadi peramal
lebih khayal dari Ibunda Impian.
Tapi, jika kau hendak merasakannya,
jadilah orang yang amat bersahaja:
Orang yang senantiasa
rela menerima, curahan keluh ---
bagai sang bumi
atau laut itu.
Old Manuscript
THE sky
is that beautiful old parchment
in which the sun
and the moon
keep their diary.
To read it all,
one must be a linguist
more learned than Father Wisdom;
and a visionary
more clairvoyant than Mother Dream.
But to feel it,
one must be an apostle:
one who is more than intimate
In having been, always,
the only confidant—
like the earth
or the sea.
LANGIT adalah
buku indah, halamannya kulit tua,
matahari dan bulan menuliskan
buku hariannya di situ.
Bila kau hendak membacanya
kau mesti jadi ahli bahasa
lebih bijak dari Bapak Kebijakan;
kau mesti jadi peramal
lebih khayal dari Ibunda Impian.
Tapi, jika kau hendak merasakannya,
jadilah orang yang amat bersahaja:
Orang yang senantiasa
rela menerima, curahan keluh ---
bagai sang bumi
atau laut itu.
Old Manuscript
THE sky
is that beautiful old parchment
in which the sun
and the moon
keep their diary.
To read it all,
one must be a linguist
more learned than Father Wisdom;
and a visionary
more clairvoyant than Mother Dream.
But to feel it,
one must be an apostle:
one who is more than intimate
In having been, always,
the only confidant—
like the earth
or the sea.
Friday, March 19, 2004
Elegi
Jorge Luis Borges
Ah nasibmu, Borges,
berlayar menempuhi segala samudera dunia
berlayar mengarungi laut satu berbagai nama
berbagi ada dengan berbagai kota: Edinburg,
Zurich, dan dua Kordoba, Texas, juga Kolombia,
terpulang kembali ke akhir generasi yang berganti
ke negeri nenek moyang, tanah-tanah yang purba
ke Andalusia, ke Portugal dan negeri-negeri lainnya
dimana orang Inggris bertempur dengan Denmark
dan mereka membancuhkan darah mereka,
mengembara menembus senyap
labirin merah Kota London,
lalu menua di pantulan setiap cermin,
sia-sia mencari, pada tatapan beku patung,
bertanya pada litograf, ensiklopedi, dan atlas,
melihat apa saja yang juga dilihat manusia lainnya,
kematian, fajar yang enggan, tanah lapang,
dan bintang-bintang cemerlang,
dan aku juga tak melihat apa-apa, nyaris tak ada,
kecuali wajah gadis dari Buenos Aires,
wajah yang tak akan pernah ingin kau ingat.
Ah nasibmu, Borges,
mungkin tak lebih asing dari engkau sendiri.
Elegy
Oh destiny of Borges
to have sailed across the diverse seas of the world
or across that single and solitary sea of diverse
names,
to have been a part of Edinburgh, of Zurich, of the
two Cordobas,
of Colombia and of Texas,
to have returned at the end of changing generations
to the ancient lands of his forebears,
to Andalucia, to Portugal and to those counties
where the Saxon warred with the Dane and they
mixed their blood,
to have wandered through the red and tranquil
labyrinth of London,
to have grown old in so many mirrors,
to have sought in vain the marble gaze of the statues,
to have questioned lithographs, encyclopedias,
atlases,
to have seen the things that men see,
death, the sluggish dawn, the plains,
and the delicate stars,
and to have seen nothing, or almost nothing
except the face of a girl from Buenos Aires
a face that does not want you to remember it.
Oh destiny of Borges,
perhaps no stranger than your own.
Ah nasibmu, Borges,
berlayar menempuhi segala samudera dunia
berlayar mengarungi laut satu berbagai nama
berbagi ada dengan berbagai kota: Edinburg,
Zurich, dan dua Kordoba, Texas, juga Kolombia,
terpulang kembali ke akhir generasi yang berganti
ke negeri nenek moyang, tanah-tanah yang purba
ke Andalusia, ke Portugal dan negeri-negeri lainnya
dimana orang Inggris bertempur dengan Denmark
dan mereka membancuhkan darah mereka,
mengembara menembus senyap
labirin merah Kota London,
lalu menua di pantulan setiap cermin,
sia-sia mencari, pada tatapan beku patung,
bertanya pada litograf, ensiklopedi, dan atlas,
melihat apa saja yang juga dilihat manusia lainnya,
kematian, fajar yang enggan, tanah lapang,
dan bintang-bintang cemerlang,
dan aku juga tak melihat apa-apa, nyaris tak ada,
kecuali wajah gadis dari Buenos Aires,
wajah yang tak akan pernah ingin kau ingat.
Ah nasibmu, Borges,
mungkin tak lebih asing dari engkau sendiri.
Elegy
Oh destiny of Borges
to have sailed across the diverse seas of the world
or across that single and solitary sea of diverse
names,
to have been a part of Edinburgh, of Zurich, of the
two Cordobas,
of Colombia and of Texas,
to have returned at the end of changing generations
to the ancient lands of his forebears,
to Andalucia, to Portugal and to those counties
where the Saxon warred with the Dane and they
mixed their blood,
to have wandered through the red and tranquil
labyrinth of London,
to have grown old in so many mirrors,
to have sought in vain the marble gaze of the statues,
to have questioned lithographs, encyclopedias,
atlases,
to have seen the things that men see,
death, the sluggish dawn, the plains,
and the delicate stars,
and to have seen nothing, or almost nothing
except the face of a girl from Buenos Aires
a face that does not want you to remember it.
Oh destiny of Borges,
perhaps no stranger than your own.
[Kata Pujangga] Bakat = Listrik, Maya Angelou
Saya percaya bakat itu seperti listrik, kita tidak mengerti soal listrik tapi kita memakainya.
* Penyair
Serenata, Sepotong Lagu Cinta
Federico GarcÃa Lorca
Malam basah membenam diri
pada sepanjang gigir sungai
juga pada buah dada Lolita
cinta, cabangnya mati di sana.
Cinta, cabangnya mati di sana.
Malam yang telanjang bernyanyi
di anjungan jembatan bulan Maret.
Lolita memandikan tubuhnya,
menyiram air garam, kembang mawar.
Cinta, cabangnya mati di sana.
Malam warna perak aroma adas
berkilauan di puncak bubungan.
Perak juga cermin dan arus sungai
aroma adas pada paha putihmu.
Cinta, cabangnya mati di sana.
Serenata
The night soaks itself
along the shore of the river
and in Lolita's breasts
the branches die of love.
The branches die of love.
Naked the night sings
above the bridges of March.
Lolita bathes her body
with salt water and roses.
The branches die of love.
The night of anise and silver
shines over the rooftops.
Silver of streams and mirrors
Anise of your white thighs.
The branches die of love.
Malam basah membenam diri
pada sepanjang gigir sungai
juga pada buah dada Lolita
cinta, cabangnya mati di sana.
Cinta, cabangnya mati di sana.
Malam yang telanjang bernyanyi
di anjungan jembatan bulan Maret.
Lolita memandikan tubuhnya,
menyiram air garam, kembang mawar.
Cinta, cabangnya mati di sana.
Malam warna perak aroma adas
berkilauan di puncak bubungan.
Perak juga cermin dan arus sungai
aroma adas pada paha putihmu.
Cinta, cabangnya mati di sana.
Serenata
The night soaks itself
along the shore of the river
and in Lolita's breasts
the branches die of love.
The branches die of love.
Naked the night sings
above the bridges of March.
Lolita bathes her body
with salt water and roses.
The branches die of love.
The night of anise and silver
shines over the rooftops.
Silver of streams and mirrors
Anise of your white thighs.
The branches die of love.
Wednesday, March 17, 2004
Randu Rini
Title : Tak ada yang lebih baik dari ini
Duration : 60"
Client : Heart Inc.
SFX : pintu berderit terbuka
SFX : suara langkah kaki di atas lantai kayu
SFX : Music, "Home" by Sheryl Crow
Female Announcer :
tak ada yang lebih baik dari ini, di sini, berayun tepat di sebelah
nafasmu. langit berdenyut dalam semesta kita. kurapatkan jemari,
mendengarkan matahari membaca puisi dan cemburu bulan nanti.
kurapatkan diri, merindu sabit di bawah dahimu. melepaskan lelah
panjang pencarian.
SFX : Music, "I Shall Believe" by Sheryl Crow
Female Announcer :
tak ada yang lebih buruk dari ini, di sini, saat langit tergenang dan
meninggalkanmu bersama laknat sepi. berapa lembar surat telah kutulis
hanya untuk melekatkan percaya pada dada, membawanya ke sudut-sudut
dunia. tapi mencintaimu saja tak pernah lebih buruk dari ini, di
sini, nafasmu sudah kuhafali.
SFX : langkah kaki di atas lantai kayu
SFX : suara desah nafas
SFX : pintu berderit tertutup
Hasan Aspahani
Title: Tak Ada yang Lebih Sempurna dari Dendam Ini
Duration: 60 tarikan nafas....
Client: Kita, Kau dan Aku!
SFX : Suara pisau diasah
SFX : Suara jari disayat, suara desis....
Male announcer:
Dingin tajam inikah yang kau nantikan? Pisau telah kuruncingkan, di setiap lekuknya aku bayangkan tubuhmu: tikamhunjamku menari, bersama riang sakit dan jerit luka hatimu.
Lalu kutelan sendiri pisau, menyempurnakan rindu: kau dan aku.
Female announcer:
Lakukan, lakukan, lekas lakukan.....
SFX : suara tetesan darah
SFX : suara dua tubuh rubuh
Dobby Fachrizal
Title: Tak ada yang lebih nikmat dari ini
Duration: 60 degup jantung
Client: Sin Inc.
SFX: Debur darah bangkit dari ujung-ujung syaraf
SFX: Dua butir kancing berurai ke lantai
SFX: Music, "I Could Die For You" by RHCP
Body Announcer :
Tak ada yang lebih nikmat dari ini, kuselimuti malam ke telanjang tubuhmu.
menelan racun yang terkirim lewat matamu.
merobekkan seluruh lubuk kesunyianku.
seketika lilin layu di puncak dada.
aku menyusuri penawar yang tumbuh di ubun-ubunmu.
jeritku meringkuk ke sudut ranjang. malam kian memanjang.
SFX: Music,"Tear" by RHCP
Body Announcer:
Tak ada yang lebih sakit dari ini, setiap pengkhianat pasti akan gugur.
kata terakhir jatuh. namamu mengabu di asbak rokokku.
dari ekor matamu luka pun menguak. rahasia demi rahasia pun terbahak.
maut telah siap-siap mengayunkan kampak.
kenikmatan tuntas. tubuhku hangus, dan ruh bergegas.
SFX: desir daun-daun akasia di luar kamar
SFX: rokok kretek yang dihisap dalam-dalam
SFX: kerikil jatuh ke bening kolam
Title : Tak ada yang lebih baik dari ini
Duration : 60"
Client : Heart Inc.
SFX : pintu berderit terbuka
SFX : suara langkah kaki di atas lantai kayu
SFX : Music, "Home" by Sheryl Crow
Female Announcer :
tak ada yang lebih baik dari ini, di sini, berayun tepat di sebelah
nafasmu. langit berdenyut dalam semesta kita. kurapatkan jemari,
mendengarkan matahari membaca puisi dan cemburu bulan nanti.
kurapatkan diri, merindu sabit di bawah dahimu. melepaskan lelah
panjang pencarian.
SFX : Music, "I Shall Believe" by Sheryl Crow
Female Announcer :
tak ada yang lebih buruk dari ini, di sini, saat langit tergenang dan
meninggalkanmu bersama laknat sepi. berapa lembar surat telah kutulis
hanya untuk melekatkan percaya pada dada, membawanya ke sudut-sudut
dunia. tapi mencintaimu saja tak pernah lebih buruk dari ini, di
sini, nafasmu sudah kuhafali.
SFX : langkah kaki di atas lantai kayu
SFX : suara desah nafas
SFX : pintu berderit tertutup
Hasan Aspahani
Title: Tak Ada yang Lebih Sempurna dari Dendam Ini
Duration: 60 tarikan nafas....
Client: Kita, Kau dan Aku!
SFX : Suara pisau diasah
SFX : Suara jari disayat, suara desis....
Male announcer:
Dingin tajam inikah yang kau nantikan? Pisau telah kuruncingkan, di setiap lekuknya aku bayangkan tubuhmu: tikamhunjamku menari, bersama riang sakit dan jerit luka hatimu.
Lalu kutelan sendiri pisau, menyempurnakan rindu: kau dan aku.
Female announcer:
Lakukan, lakukan, lekas lakukan.....
SFX : suara tetesan darah
SFX : suara dua tubuh rubuh
Dobby Fachrizal
Title: Tak ada yang lebih nikmat dari ini
Duration: 60 degup jantung
Client: Sin Inc.
SFX: Debur darah bangkit dari ujung-ujung syaraf
SFX: Dua butir kancing berurai ke lantai
SFX: Music, "I Could Die For You" by RHCP
Body Announcer :
Tak ada yang lebih nikmat dari ini, kuselimuti malam ke telanjang tubuhmu.
menelan racun yang terkirim lewat matamu.
merobekkan seluruh lubuk kesunyianku.
seketika lilin layu di puncak dada.
aku menyusuri penawar yang tumbuh di ubun-ubunmu.
jeritku meringkuk ke sudut ranjang. malam kian memanjang.
SFX: Music,"Tear" by RHCP
Body Announcer:
Tak ada yang lebih sakit dari ini, setiap pengkhianat pasti akan gugur.
kata terakhir jatuh. namamu mengabu di asbak rokokku.
dari ekor matamu luka pun menguak. rahasia demi rahasia pun terbahak.
maut telah siap-siap mengayunkan kampak.
kenikmatan tuntas. tubuhku hangus, dan ruh bergegas.
SFX: desir daun-daun akasia di luar kamar
SFX: rokok kretek yang dihisap dalam-dalam
SFX: kerikil jatuh ke bening kolam
[Tentang Puisi] Antara Penyair dan Idiot, Salvador Dali
Orang pertama yang mengibaratkan pipi seorang gadis belia sebagai setangkai mawar pasti seorang penyair, orang pertama yang mengulang lagi pengandaian itu mungkin seorang idiot.
* Salvador Dali (1904-1089), penghulu aliran lukisan surealis.
Tuesday, March 16, 2004
Kota yang Tak Pernah Tidur
Federico Garcia Lorca
Di cakrawala, tak seorang tertidur.
Tak seorang pun, tak seorang pun.
Tak seorang pun tertidur.
Binatang malam mengendus bulan,
mengincar mangsa di kandangnya.
Ada iguana yang kelak menjelma
dan mengerkah engkau yang tak bermimpi,
dan sia-sia engkau yang menghambur kabur
dengan jiwa hancur, di sudut jalan itu
    diam-diam sudah menunggu: aligator
di langit, bintang-bintang menggerutu.
Di bumi, tak seorang tertidur.
Tak seorang pun, tak seorang pun.
Tak seorang pun tertidur.
Di lapangan kuburan, ada jerangkong
tiga tahun sudah: merintih meraung
tersebab negeri yang kering di lututnya;
dan arwah bocah yang dikubur tadi sore
keras menangis, sejadi-jadinya tangis.
Lekas panggil anjing datang, biar lolongnya
mengembalikan mereka kepada sunyi.
Hidup bukanlah mimpi. Awaslah! Awaslah!
Kita jatuh dari itu tangga, menyantap basah tanah.
Kita memanjati mata pisau itu salju dengan
suara kelopak mati bunga-bunga dahlia.
Tapi, tak ada khilaf, tak ada mimpi-mimpi;
kecuali aroma daging!
Ciuman menambatkan mulut kita
pada belukar urat-urat darah,
dan siapa pun yang mengekalkan duka
    kelak merasai itu duka selamanya.
dan siapa pun yang takutkan kematian
    ancaman itu terus ada di pundaknya.
Suatu hari nanti
kuda-kuda terikat kekangnya di depan salun.
Dan semut-semut yang meradang
melemparkan diri sendiri ke langit kuning
sebelum mengungsi di mata sapi-sapi.
Lain hari
Kita saksikan, bangkit bangkai kupu-kupu
lalu terbang di atas bunga karang kelabu
dan perahu-perahu mengapung bisu.
Kita saksikan cincin berkilat dan mawar
bersemi di lidah-lidah kita.
Awaslah! Awaslah! Berhati-hatilah!
Dia yang masih mencagar tanda cakar
dan masih menabung bagai bertarung,
dan bocah lelaki yang menangis meraung
tersebab tak pernah tahu siapa
yang lebih dahulu menemukan jembatan,
atau orang mati itu yang kini tinggal kepala
dan sepasang sepatu,
kita harus menghalau mereka ke tembok
di sana iguana dan ular menunggu sabar,
di sana gigi-gigi beruang menunggu tenang,
di sana potongan tangan bocah menunggu resah,
dan bulu-bulu unta tegak meremang,
sebelum akhirnya cekam lagu biola biru.
Di cakrawala, tak seorang tertidur.
Tak seorang pun, tak seorang pun.
Tak seorang tertidur.
Bila ada yang memejamkan mata,
ada cemeti, ah bocah, ada cemeti!
Biarkan terbentang pandang mata nyalang
dan pedih luka-luka di api nyala.
Tak seorang tertidur di dunia.
Tak seorang pun, tak seorang pun.
Sudah kusebut itu sebelum bait ini.
Tak seorang tertidur.
Tapi bila ada yang membiarkan tumbuh lumut
di kuil-kuilnya sepanjang malam buta,
buka saja pintu rahasia, agar dilihatnya purnama,
gelas piala, dan peracun nyawa, dan
di panggung itu: tengkorak kepala.
--------
City That Does Not Sleep
In the sky there is nobody asleep. Nobody, nobody.
Nobody is asleep.
The creatures of the moon sniff and prowl about their cabins.
The living iguanas will come and bite the men who do not dream,
and the man who rushes out with his spirit broken will meet on the
    street corner
the unbelievable alligator quiet beneath the tender protest of the
    stars.
Nobody is asleep on earth. Nobody, nobody.
Nobody is asleep.
In a graveyard far off there is a corpse
who has moaned for three years
because of a dry countryside on his knee;
and that boy they buried this morning cried so much
it was necessary to call out the dogs to keep him quiet.
Life is not a dream. Careful! Careful! Careful!
We fall down the stairs in order to eat the moist earth
or we climb to the knife edge of the snow with the voices of the dead
    dahlias.
But forgetfulness does not exist, dreams do not exist;
flesh exists. Kisses tie our mouths
in a thicket of new veins,
and whoever his pain pains will feel that pain forever
and whoever is afraid of death will carry it on his shoulders.
One day
the horses will live in the saloons
and the enraged ants
will throw themselves on the yellow skies that take refuge in the
    eyes of cows.
Another day
we will watch the preserved butterflies rise from the dead
and still walking through a country of gray sponges and silent boats
we will watch our ring flash and roses spring from our tongue.
Careful! Be careful! Be careful!
The men who still have marks of the claw and the thunderstorm,
and that boy who cries because he has never heard of the invention
    of the bridge,
or that dead man who possesses now only his head and a shoe,
we must carry them to the wall where the iguanas and the snakes
    are waiting,
where the bear's teeth are waiting,
where the mummified hand of the boy is waiting,
and the hair of the camel stands on end with a violent blue shudder.
Nobody is sleeping in the sky. Nobody, nobody.
Nobody is sleeping.
If someone does close his eyes,
a whip, boys, a whip!
Let there be a landscape of open eyes
and bitter wounds on fire.
No one is sleeping in this world. No one, no one.
I have said it before.
No one is sleeping.
But if someone grows too much moss on his temples during the
    night,
open the stage trapdoors so he can see in the moonlight
the lying goblets, and the poison, and the skull of the theaters.
Translated by Robert Bly
Di cakrawala, tak seorang tertidur.
Tak seorang pun, tak seorang pun.
Tak seorang pun tertidur.
Binatang malam mengendus bulan,
mengincar mangsa di kandangnya.
Ada iguana yang kelak menjelma
dan mengerkah engkau yang tak bermimpi,
dan sia-sia engkau yang menghambur kabur
dengan jiwa hancur, di sudut jalan itu
    diam-diam sudah menunggu: aligator
di langit, bintang-bintang menggerutu.
Di bumi, tak seorang tertidur.
Tak seorang pun, tak seorang pun.
Tak seorang pun tertidur.
Di lapangan kuburan, ada jerangkong
tiga tahun sudah: merintih meraung
tersebab negeri yang kering di lututnya;
dan arwah bocah yang dikubur tadi sore
keras menangis, sejadi-jadinya tangis.
Lekas panggil anjing datang, biar lolongnya
mengembalikan mereka kepada sunyi.
Hidup bukanlah mimpi. Awaslah! Awaslah!
Kita jatuh dari itu tangga, menyantap basah tanah.
Kita memanjati mata pisau itu salju dengan
suara kelopak mati bunga-bunga dahlia.
Tapi, tak ada khilaf, tak ada mimpi-mimpi;
kecuali aroma daging!
Ciuman menambatkan mulut kita
pada belukar urat-urat darah,
dan siapa pun yang mengekalkan duka
    kelak merasai itu duka selamanya.
dan siapa pun yang takutkan kematian
    ancaman itu terus ada di pundaknya.
Suatu hari nanti
kuda-kuda terikat kekangnya di depan salun.
Dan semut-semut yang meradang
melemparkan diri sendiri ke langit kuning
sebelum mengungsi di mata sapi-sapi.
Lain hari
Kita saksikan, bangkit bangkai kupu-kupu
lalu terbang di atas bunga karang kelabu
dan perahu-perahu mengapung bisu.
Kita saksikan cincin berkilat dan mawar
bersemi di lidah-lidah kita.
Awaslah! Awaslah! Berhati-hatilah!
Dia yang masih mencagar tanda cakar
dan masih menabung bagai bertarung,
dan bocah lelaki yang menangis meraung
tersebab tak pernah tahu siapa
yang lebih dahulu menemukan jembatan,
atau orang mati itu yang kini tinggal kepala
dan sepasang sepatu,
kita harus menghalau mereka ke tembok
di sana iguana dan ular menunggu sabar,
di sana gigi-gigi beruang menunggu tenang,
di sana potongan tangan bocah menunggu resah,
dan bulu-bulu unta tegak meremang,
sebelum akhirnya cekam lagu biola biru.
Di cakrawala, tak seorang tertidur.
Tak seorang pun, tak seorang pun.
Tak seorang tertidur.
Bila ada yang memejamkan mata,
ada cemeti, ah bocah, ada cemeti!
Biarkan terbentang pandang mata nyalang
dan pedih luka-luka di api nyala.
Tak seorang tertidur di dunia.
Tak seorang pun, tak seorang pun.
Sudah kusebut itu sebelum bait ini.
Tak seorang tertidur.
Tapi bila ada yang membiarkan tumbuh lumut
di kuil-kuilnya sepanjang malam buta,
buka saja pintu rahasia, agar dilihatnya purnama,
gelas piala, dan peracun nyawa, dan
di panggung itu: tengkorak kepala.
--------
City That Does Not Sleep
In the sky there is nobody asleep. Nobody, nobody.
Nobody is asleep.
The creatures of the moon sniff and prowl about their cabins.
The living iguanas will come and bite the men who do not dream,
and the man who rushes out with his spirit broken will meet on the
    street corner
the unbelievable alligator quiet beneath the tender protest of the
    stars.
Nobody is asleep on earth. Nobody, nobody.
Nobody is asleep.
In a graveyard far off there is a corpse
who has moaned for three years
because of a dry countryside on his knee;
and that boy they buried this morning cried so much
it was necessary to call out the dogs to keep him quiet.
Life is not a dream. Careful! Careful! Careful!
We fall down the stairs in order to eat the moist earth
or we climb to the knife edge of the snow with the voices of the dead
    dahlias.
But forgetfulness does not exist, dreams do not exist;
flesh exists. Kisses tie our mouths
in a thicket of new veins,
and whoever his pain pains will feel that pain forever
and whoever is afraid of death will carry it on his shoulders.
One day
the horses will live in the saloons
and the enraged ants
will throw themselves on the yellow skies that take refuge in the
    eyes of cows.
Another day
we will watch the preserved butterflies rise from the dead
and still walking through a country of gray sponges and silent boats
we will watch our ring flash and roses spring from our tongue.
Careful! Be careful! Be careful!
The men who still have marks of the claw and the thunderstorm,
and that boy who cries because he has never heard of the invention
    of the bridge,
or that dead man who possesses now only his head and a shoe,
we must carry them to the wall where the iguanas and the snakes
    are waiting,
where the bear's teeth are waiting,
where the mummified hand of the boy is waiting,
and the hair of the camel stands on end with a violent blue shudder.
Nobody is sleeping in the sky. Nobody, nobody.
Nobody is sleeping.
If someone does close his eyes,
a whip, boys, a whip!
Let there be a landscape of open eyes
and bitter wounds on fire.
No one is sleeping in this world. No one, no one.
I have said it before.
No one is sleeping.
But if someone grows too much moss on his temples during the
    night,
open the stage trapdoors so he can see in the moonlight
the lying goblets, and the poison, and the skull of the theaters.
Translated by Robert Bly
Monday, March 15, 2004
Mitos-mitos Diri Sendiri
/1/
aku rumahmu, aku rumahmu
menunggu bimbang datang,
mengetuk pintu: Kau pulang!
/2/
dadaku terbuka, tak ada pintumu di sana
dadaku terluka, jejak darahmu mengada
/3/
sehabis sebait tangis
begitu berat bulu mata
mengerdip adalah siksa
memejam: yang tampak
hanya rasa sakitnya...
/4/
jari ini pernah menyentuh bibirmu
menulis nama yang kerap kau sebut
jari ini pernah menyentuh telingamu
membisik nama yang kerap kau dengar
jari ini pernah menyentuh diriku sendiri
tubuh yang tak sepenuhnya kukenali
/5/
kukira jantung ini segalanya:
detak yang tak pernah kuminta
/6/
yang paling jauh adalah
perjalanan dari kaki ke kaki
yang paling letih adalah
perjalanan dari kaki ke kaki
yang paling sampai adalah
perjalanan dari kaki ke kaki
yang paling jarak adalah
perjalanan dari kaki ke kaki
yang paling tempuh adalah
perjalanan dari kaki ke kaki
yang paling ingin kujelajahi:
penaklukan dari kaki ke hati
Maret 2004
aku rumahmu, aku rumahmu
menunggu bimbang datang,
mengetuk pintu: Kau pulang!
/2/
dadaku terbuka, tak ada pintumu di sana
dadaku terluka, jejak darahmu mengada
/3/
sehabis sebait tangis
begitu berat bulu mata
mengerdip adalah siksa
memejam: yang tampak
hanya rasa sakitnya...
/4/
jari ini pernah menyentuh bibirmu
menulis nama yang kerap kau sebut
jari ini pernah menyentuh telingamu
membisik nama yang kerap kau dengar
jari ini pernah menyentuh diriku sendiri
tubuh yang tak sepenuhnya kukenali
/5/
kukira jantung ini segalanya:
detak yang tak pernah kuminta
/6/
yang paling jauh adalah
perjalanan dari kaki ke kaki
yang paling letih adalah
perjalanan dari kaki ke kaki
yang paling sampai adalah
perjalanan dari kaki ke kaki
yang paling jarak adalah
perjalanan dari kaki ke kaki
yang paling tempuh adalah
perjalanan dari kaki ke kaki
yang paling ingin kujelajahi:
penaklukan dari kaki ke hati
Maret 2004
Hanya Ketukan di Pintu
Di bilikku, suara detak itu bersahutan, Edgar.
Jam, jantung, dan seorang di seberang pagar.
Dentang itu sampai ke pintu, dadaku mencari.
"Pintu tak pernah kukunci," aku mau sendiri.
Maret 2004
Jam, jantung, dan seorang di seberang pagar.
Dentang itu sampai ke pintu, dadaku mencari.
"Pintu tak pernah kukunci," aku mau sendiri.
Maret 2004
Friday, March 12, 2004
[Tentang Puisi] Jangan Teriakkan Puisi, Dana Giaio
Pada puisi yang baik tak ada pemisahan antara bentuk dan perasaan. Bentuk memberi wadah bagi perasaan, sebaliknya emosi memberi gerak kepada bentuk. Bentuk puisi yang paling murni adalah abstrak dan tidak hidup. Emosi saja, akan jadi subjektif dan kacau....Sebuah puisi, tak perlu diteriakkan supaya dia bisa didengarkan.
* Dana Giaio, penyair & kritikus Amerika.
Tuesday, March 9, 2004
Melintasi Jagad Luas*
Deras arus kata mengalir, bagaikan
hujan berkekalan, ke gelas kertas
laju tak tertahankan, lalu berlarian
ia terlepas, melintas jagad luas.
Sedanau nestapa melambai suka cita
menetes jatuh ke benak pintu pikirku
merampasku jadi milikmu, memagutku.
"Terberkati engkau Deva, Sang Guru!"
Karena duniaku, karena duniaku
tak akan ada yang merusaknya
tak akan ada yang mengusiknya
tak akan ada yang mengubahnya
Cahaya pecah jadi bayang berdansa
bersamaku, bagai sejuta tatap mata
terus menyeruku, melintas jagad luas.
Berliku pikir bagai angin tak tahu letih,
mengaduk sekotak huruf, acak terhambur
menemu jalan, melintas jagad luas.
"Terberkati engkau Deva, Sang Guru!"
Karena duniaku, karena duniaku
tak akan ada yang merusaknya
tak akan ada yang mengusiknya
tak akan ada yang mengubahnya.
Suara gelak meneduhi bayang bumi
berderingan merasuki telingaku terbuka
menghasutku, memikat datangku.
Tak lagi berbatas cinta yang kekal
memendarkan cahaya mengepungku
bagai sejuta matahari, terang yang
terus menyeruku, melintas jagad luas.
* Terjemahan untuk Sam Haidy oleh Hasan Aspahani
secara bebas dari lirik lagu Beatles Across The Universe
pada album Let It Be karya Lennon & McCartney.
hujan berkekalan, ke gelas kertas
laju tak tertahankan, lalu berlarian
ia terlepas, melintas jagad luas.
Sedanau nestapa melambai suka cita
menetes jatuh ke benak pintu pikirku
merampasku jadi milikmu, memagutku.
"Terberkati engkau Deva, Sang Guru!"
Karena duniaku, karena duniaku
tak akan ada yang merusaknya
tak akan ada yang mengusiknya
tak akan ada yang mengubahnya
Cahaya pecah jadi bayang berdansa
bersamaku, bagai sejuta tatap mata
terus menyeruku, melintas jagad luas.
Berliku pikir bagai angin tak tahu letih,
mengaduk sekotak huruf, acak terhambur
menemu jalan, melintas jagad luas.
"Terberkati engkau Deva, Sang Guru!"
Karena duniaku, karena duniaku
tak akan ada yang merusaknya
tak akan ada yang mengusiknya
tak akan ada yang mengubahnya.
Suara gelak meneduhi bayang bumi
berderingan merasuki telingaku terbuka
menghasutku, memikat datangku.
Tak lagi berbatas cinta yang kekal
memendarkan cahaya mengepungku
bagai sejuta matahari, terang yang
terus menyeruku, melintas jagad luas.
* Terjemahan untuk Sam Haidy oleh Hasan Aspahani
secara bebas dari lirik lagu Beatles Across The Universe
pada album Let It Be karya Lennon & McCartney.
Monday, March 8, 2004
Suara Sisifus Tertawa
Kata-kataku diperanakkan tanpa ibu,
menguji janji, berkelana bersamaku.
: memburu kehendak nasib terburuk,
murka yang mengundang badai kutuk.
"Sebenarnya sia-sia saja, Saudara,"
kau dengar? Suara Sisifus tertawa!
Kita toh tidak pernah punya rumah,
kepada siapa durhaka tersembah.
Maret 2004
menguji janji, berkelana bersamaku.
: memburu kehendak nasib terburuk,
murka yang mengundang badai kutuk.
"Sebenarnya sia-sia saja, Saudara,"
kau dengar? Suara Sisifus tertawa!
Kita toh tidak pernah punya rumah,
kepada siapa durhaka tersembah.
Maret 2004
Tahun yang Kau Seret Hingga Maret
telah jauh gema: menjerit terompet
tahun yang kau seret hingga Maret
di antara jemari, sebatang arang grafit
kertas kosong belum juga ada tercoret
Maret 2004
tahun yang kau seret hingga Maret
di antara jemari, sebatang arang grafit
kertas kosong belum juga ada tercoret
Maret 2004
Subscribe to:
Posts (Atom)