Puisi Sia-sia, Airmata Sia-sia
: petisi menentang perang, make poems not war
aku melihat bicaramu di televisi (tak kutemu, mesti letih
mencari alasan untuk bersetuju dengan hujjahmu) aku menyimak
persiapan laskarmu (tapi tak dapat meyakinkan aku siapa
sebenarnya musuh yang pantas dimusnahkan) aku melihat
dendam menghitam di wajahmu (kenapa kami harus mencoreng
juga arang di wajah puisi? terbakar pawaka yang kau sulutkan)
aku mencatat adegan mereka memeluk anak isterinya (senjata
yang kau hunus entah berpamitan pada siapa?), aku mendengar
deru kapal peluru mengarung laut ke peluk teluk mauk (tuan, bahan
bakarnya ditambang dari negeri yang hendak kau hancurkan itu kan?)
aku melihat tanggal ancaman yang kau lingkar dengan jumawa
(patera luruh dari pohon almanak tua sejarah manusia)
aku membaca lagi puisi ini (lalu terasa sangat sia-sia menuliskannya)
aku mencari kata yang hendak kubisikkan ke hatimu (hanya lirih, pawana
yang ringkih berhembus tanpa sebisikpun kata, hanya sedih, basah mata
yang menitik kukira darah ternyata cuma air mata yang sebenarnya
kupersiapkan luruh kelak saat datang duka maha duka, lalu tiba-tiba aku
merasa sia-sia meneteskannya)
Mar 2003