Wednesday, May 2, 2012

[Kolom] Studi Banding Sekaligus "Naik Haji" ke Düsseldorf

 APA rasanya studi banding ke luar negeri? Saya akan tahu. Hari ini saya berangkat dan akan ada di beberapa negara di Eropa, hingga 12 Mei nanti.  Saya tergabung dengan rombongan besar (kurang lebih 40 orang) grup Jawa Pos dengan tujuan utama adalah 'naik haji' ke ajang pameran teknologi cetak terbaru DRUPA di Düsseldorf, Rhine-Westphalia Utara, Jerman. DRUPA tahun ini adalah pameran yang ke-14, sejak digelar pertama tahun 1951. Nama DRUPA adalah gabungan dari dua kata Jerman druck und papiertechnik,  artinya adalah "teknologi kertas dan percetakan".    



DRUPA adalah ajang empat tahunan.  Jadi, yang dipamerkan benar-benar hasil riset dan penemuan terbaru dalam industri cetak. Di kalangan industri cetak DRUPA memang dianggap seperti 'naik haji'. Tren, perubahan, masa depan industri cetak ditentukan oleh pameran tersebut. Semboyannya saja amat hegemonik: One World, One Drupa. Satu Dunia, Satu Drupa!

Sebagaimana layaknya 'ibadah haji', berangkat ke Jerman, juga bagai ziarah atau menapaktilasi jejak Johanes Guttenberg, inventor hebat yang pada tahun 1450 merevolusi teknologi cetak - dengan penemuannya berupa mesin cetak  movable type - sehingga menjadi sangat massif, indah, dan murah seperti sekarang ini. Ini adalah lompatan besar dari teknologi cetak cukil-blok-kayu (yang rumit dan lambat) yang sudah ada di Cina sejak tahun 200-an. Nama Guttenberg memang disebut dengan takzim bagai 'nabi'-nya  industri percetakan.

DRUPA terakhir, empat tahun lalu, tepatnya di tahun 2008, diikuti oleh 1.953 peserta pameran dari 54 negara dan dikunjungi oleh 390.044 orang. Pengunjung tersebut, menurut data statistik panitia, lebih dari separo, yakni 59 persen datang dari luar Jerman. Siapa mereka? Menurut data lagi, 78 persen dari pengunjung adalah pengambil keputusan di perusahaan masing-masing. Betul-betul pengunjung yang mabrur-lah!

Ini benar-benar sebuah pameran gigantis. Panitia DRUPA membagi delapan kategori peserta pameran, yakni Teknologi Pracetak (338 peserta/759 produk); Teknologi Cetak (636 peserta/1.348 produk); Teknologi Pascacetak (645 peserta/1.504 produk);  Teknologi Kertas (162 perserta/295 produk); Tinta (342 peserta/661 produk); KOmponen dan Infrastruktur (248 peserta/383 produk); Peranti Lunak (357 perserta/331 produk); dan kategori lain-lain (44 peserta/35 produk).

Arena pamerannya terbentang  sedemikian luas, sehingga meliputi hampir 18 hektar ruang pamer. Merek-merek pemain industri percetakan, atau sektor pendukung yang berkaitan dengannya menganggap hadir di pameran ini hukumnya wajib. Panitia pun jauh-jauh hari sudah mempromosikan pameran ini sejak beberapa tahun lalu, antara lain dengan berkeliling dunia, menggelar roadshow prapameran di 40 negara potensial, termasuk Indonesia.

*

INI adalah studi banding yang mahal. Ongkosnya, lebih mahal daripada jika saya naik haji ke Mekkah dan Madinah. Jika harus berangkat dengan ongkos pribadi pasti saya tak akan pernah punya mimpi. Studi banding, ternyata memang mahal, Saudara. Mengingat ongkos mahal itu, saya menuntut pada diri saya sendiri agar ambil manfaat sebesar-besarnya dari DRUPA ini. Jika Jawa Pos Grup memberangkatkan rombongan besar sekali, tiap kali DRUPA digelar, ini tak lepas dari visi Dahlan Iskan, orang yang di Jawa Pos Grup kerap disapa "Pak Bos', yang kini Menteri BUMN itu.

"Ketika Jawa Pos grup sedang dikembangkan, saya sangat sering berangkat ke Amerika. Ini keberuntungan bagi Jawa Pos Grup karena dari kunjungan itulah saya memperoleh model bagaimana grup koran dikembangkan," kata Dahlan dalam sebuah rapat.

Pada tahun-tahun 1980-an, saat Dahlan memulai mimpi besarnya membangun sebuah grup surat kabar besar, tidak ada modelnya Indonesia. "Saya melihat di Amerika di tiap kota, ada dua koran yang kuat. Koran umum dan koran metro, atau koran kuninglah. Di kota-kota kecil itu koran nasional kecil sekali pasarnya. Saya yakin ini juga bisa dikembangkan di Indonesia," kata Dahlan. Dan keyakinannya terbukti benar.

Maka, Dahlan Iskan adalah orang yang sangat setuju dan menganggap penting dengan 'studi banding'. Kata beliau, karena sedemikian pentingnya, maka nabi pun pernah bersabda, "tuntulah ilmu sampai ke negeri Cina", dan hadist itu bisa dianggap sebagai dalil naqli untuk studi banding.

Ibarat kata, secupat-cupatnya pikiran seseorang, jika ia punya kesempatan bepergian ke negeri lain, pasti ada sesuatu yang bisa ia lihat, yang menambah wawasannya, membuka pikirannya, yang bisa dijadikan rujukan ketika membangun sesuatu di tempat asalnya.

Ketika kesibukannya di grup tak lagi banyak, Dahlan pun menjelajah Tiongkok, dan melihat bagaimana negeri itu dibangun dengan gegap gempita, dan beliau meramalkan jauh-jauh hari bahwa negeri ini akan pegang peran penting di dunia. Itu sebabnya Dahlan pun belajar Bahasa Mandarin hingga fasih. Dan kini terbukti ramalannya itu benar. RRC kini adalah negara secara ekonomi boleh dibilang menjadi negara adidaya baru.

Hasil kunjungan Dahlan menjelajah Tiongkok terkumpul dalam sebuah buku "Pelajaran dari Tiongkok", diterbitkan oleh JP Book, Juli 2007. Ini adalah buku pertama Dahlan. Boleh dibilang Dahlan dipaksa untuk menerbitkan catatan-catatan tersebut. Ia adalah penganut anti masa lalu. Membukukan tulisan, baginya, seperti memuja masa lalu, dan itu baginya salah. Dahlan kemudian sadar bahwa buku bukanlah tempat untuk memuja masa lalu, tapi mencatat apa yang dilihat, diperbuat di masa lalu untuk jadi pelajaran di masa depan. Saya kira itu juga hikmah dari rajinnya dia melakukan studi banding.

*

Ada cerita lain tentang studi banding. Saya dapatkan dari Hardi Hood, salah seorang dari empat senator anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Duduk di senat memberi kesempatan padanya untuk mengunjungi berbagai negara - antara lain Jepang, Hongkong, Inggris - dalam rangka studi banding, melihat bagaimana pemerintahan di negara-negara tersebut diselenggarakan.

Sebagaimana keberangkatan kami, jika DPD berangkat studi banding ke luar negeri, maka mereka juga diurus oleh agen wisata. Nah, yang memalukan, kata Hardi, ketika ia di Jepang, ada cerita rombongan studi banding dari sebuah lembaga terhormat di negeri ini minta dicarikan jasa yang tak pantas untuk mereka yang datang atas nama dan atas biaya negara. "Kalau urusan begituan itu ya cari sendiri sajalah,"  kata Hardi menirukan sang pemandu studi banding.

Cerita-cerita begitu itulah, saya kira yang bikin rakyat Indonesia sangat kritis dan sinis pada kerapnya studi banding para wakil rakyat: sudah ongkosnya mahal, hasilnya secara nyata tak ada, atau tak tersampaikan pada rakyat dengan pantas. Pernah suatu kali anggota DPR RI studi banding tentang kepanduan alias Pramuka ke negara Afrika.  Kesannya ngaco sekali itu, kan?  Ditambah lagi, retorika para wakil rakyat itu ketika ditanya soal studi banding juga sering mengesalkan hati. Berkunjung ke luar negeri, jadi semacam aji mumpung yang hanya menghabiskan uang rakyat.  

Jika dikumpulkan, barangkali hasil studi banding para wakil rakyat itu ke berbagai belahan dunia, dan makan uang rakyat ratusan miliar itu sudah menghasilkan puluhan buku.  Masalahnya, tidak banyak anggota DPR kita yang mau dan mampu menulis.  Bangsa ini memang bermasalah dalam hal tulis-menulis .  Anggota DPR kita paling getol kalau bicara di sidang paripurna. Saling rebut kesempatan. Berteriak bak pedagang di pasar.  Apalagi jika disorot kamera televisi.***