Wednesday, May 23, 2012

[Kolom] Permen Karet untuk Mata itu Namanya Televisi


BARU-BARU ini saya membeli sebuah kamera. Saya sedang perlu kamera yang masuk akal. Harganya masuk akal. Spesifikasi teknisnya juga masuk akal.  Kamera sekarang menurut saya harganya sudah tidak masuk akal buat saya. Ada sebuah kamera diiklankan di suplemen DL yang menyertai The Straits Times, koran negeri  jiran kita. Saya jatuh hati pada pandangan pertama pada kamera itu.  Ketika saya minta kawan-kawan  kantor untuk mengecek berapa harga kamera itu di Indonesia saya terkejut: Rp33 juta! Sebenarnya itu wajar, mengingat kemampuan yang ditawarkan.  Tapi, saya sedang tidak perlu kamera sedemikian canggih dengan harga sedemikian mahal.




Saya sudah punya kamera saku digital. Tapi, kamera itu sudah tidak cukup lagi untuk kebutuhan saya. Maka lewat perburuan sedikit intens, mengecek barang di toko, memperbandingkan harga di situs khusus yang menjual kamera dan perangkat-perangkatnya secara online saya menemukan sebuah kamera yang pas: Olympis, PEN EPL-1.  Di toko, sepertinya ini barang sisa yang kurang laku. Penjualannya dipaketkan dengan televisi layar datar. Harga televisi itu di atas satu jutaan. Harga kamera itu jadinya lumayan murah. Kebahagiaan seorang pembelanja adalah ketika menemukan barang yang dibutuhkan dengan harga yang jauh dibawah anggaran. Maka, bahagialah saya.  Kamera 'masuk akal' itu antara lain saya gunakan untuk memotret selama lawatan saya di Eropa.
*
Masalahnya adalah, di mana kami meletakkan televisi yang kami dapat dari bonus beli kamera ini. Kami sudah punya dua televisi dan itu cukup, termasuk televisi bekas yang bersejarah, karena televisi pertama yang kami beli selama tinggal di Batam.  Televisi gemuk itu ada di kamar tidur, dengan antena dalam. Penutup panel tombolnya sudah tak bisa dirapatkan lagi. Seandainya televisi bekas itu kami letakkan di gudang, pasti juga dia tak akan marah.  Jadi mempertahankantelevisi itu hanya melankoli kami saja. Ah, dasar manusia, kadang dijerat oleh perasaannya sendiri.   

Sebagai hasil tukar pikiran dengan istri saya, maka televisi itu akhirnya kami pasang di dapur. Mengingat ruang dapur yang tak terlalu luas, maka televisi itu harus dipasang di dinding, agar tak bikin dapur terasa makin sempit.  Kami memanggil tukang, untuk memasang televisi itu, sekalian memasang antena luar. Aduh, televisi gratis ini menuntut pengeluaran juga rupanya. Kami jadinya harus beli dudukan televisi untuk dipasang di dinding, kabel, tiang antena, dan tentu saja antena luar. 

Dari televisi bonusan itulah, kami menyaksikan siaran langsung tiga jam, resepsi pernikahan Anang-Ashanti.  Nama programnya "Jodohku".  Itu dari judul lagu yang dinyanyikan duo Anang-Ashanti.  Sehari sehabis siaran langsung itu, saya buka e-mail, dan dari satu milis yang saya ikuti, bertubi-tubi masuk email yang mendiskusikan soal siaran langsung Anang-Ashanti. Pertanyaan awalnya begini: layakkah peristiwa ini jadi siaran langsung di jam tayang utama, pada Hari Kebangkitan Nasional, tiga jam pula? 

Sebagian besar penanggap saya simpulkan mengatakan: "tidak!" Tapi, inilah industri. Begitulah dipermaklumkan. Penonton ternyata tak peduli dengan segala idealisme: tak peduli bahwa kanal televisi adalah saluran publik yang harus digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan publik, tak peduli nilai edukasi apa yang bisa didapat dari tayangan resepsi Anang-Ashanti. Toh, nyatanya, seorang peserta milis mengutip hasil survei Nielsen malam itu: acara tersebut dapat rating 7 dengan meraup persentase penonton  lebih dari 30 persen. Artinya, malam itu, lebih dari sepertiga penonton televisi di Indonesia menyaksikan Anang-Ashanti (dalam busana hijau tua keemasan) menyalami lebih dari lima ribu tamu undangan. 

"And everybody happy," kata seorang peserta milis lain. Anang-Ashanti dapat bayaran dari menjual hak siar resepsinya, pemasang iklan senang karena iklannya disaksikan oleh banyak mata, dan pengelola televisi senang karena berhasil menangguk banyak uang malam itu, dengan biaya produksi yang amat murah. Murah? Ya, para artis yang tampil konon, sama sekali tak dibayar, kecuali mungkin MC, dan musisinya.
Membosankankah acara resepsi itu? Secara umum, ya. Tapi, ada juga sedikit drama. Yakni ketika Krisdayanti dan Raul Lemos, datang bersama putri mereka. Mereka bersalaman layaknya tetamu lain, berfoto bersama, dan kamera seperti mendapatkan momentum paling dramatis ketika Raul menyalami Anang lalu mereka bersalaman, dan Raul tampak membisikkan sesuatu. Orang kita memang lucu. Katanya yang dibisikkan oleh Raul adalah begini, "kalau bosan nanti buat saya lagi, ya..." Ini tentu saja tidak benar. 

Anang-Ashanti tentu tak mengharapkan itu. "Jangan ada yang ganggu-ganggu lagi," kata Aurel Hermansyah, putri sulung Anang dari Krisdayanti. Dari televisi juga kita tahu bahwa Anang sangat mendengarkan pertimbangan Aurel, putrinya ini. Aurel yang menetapkan kriteria ibu barunya harus lebih tinggi dari Krisdayanti, harus putih, dan dia pula yang 'menolak' Syahrini, gebetan pertama Anang, selepas resmi bercerai dengan Krisdayanti. 

Keesokan pagi, di sebuah tayangan infotainmen, di televisi di dapur kami itu, saya juga menyaksikan wawancara Anang-Ashanti tentang malam pertama mereka! Oh, Tuhan! Hal-hal begini juga ditayangkan televisi? Tunggu, ini jawaban Anang-Ashanti, bahwa malam pertama mereka tidur bersma Azriel, anak lelaki Anang, yang katanya tak mengerti situasi, dan masih tak juga mengerti meskipun sudah ditegur oleh Aurel. Ini mungkin jawaban sudah disiapkan oleh Anang.
*
Anang memang jago memanfaatkan televisi. Ia tampak sudah mempersiapkan segalanya. Pertemuan pertamanya dengan Ashanti, kencannya kemana saja, umroh bersama, melamar, pertemuan Anang dengan keluarga Ashanti, pendekatan Ashanti kepada anak-anak Anang, perjalanannya ke Kalimantan meminta Bupati Kutai Timur menjadi saksi nikah, sampai pernikahan dan resepsi, seperti rangkaian liputan dokumenter yang lengkap.

Harus kita akui Anang adalah manajer dan produser yang luar biasa, termasuk untuk dirinya sendiri. Dulu ia adalah orang yang dengan rela menarik diri ke belakangan layar mengatur karir Krisdayanti istrinya. Maka kita menemukan seorang Krisdayanti dengan karir yang mencorong. Kebintangannya selalu terang. Sampai kemudian datang 'gangguan-gangguan' seperti yang dengan amat dewasa disebutkan oleh Aurel, putri Anang yang di televisi tampak sangat dewasa untuk ukuran gadis belasan tahun. Ah, Aurel, kau juga dibesarkan televisi, Nak? 

*
Saya tak tahu dalam konteks apa seorang arsitektur hebat bicara soal televisi dengan nada buruk. “Televisi adalah permen karet untuk mata,”  kata Frank Lloyd Wright. Saya kira saya bisa memahami itu dengan cara begini: permen karet bukanlah makanan utama, dan tak jelas apa manfaatnya, kecuali ya sebagai kunyahan saja. Ia hanya kita santap di kala iseng,  sampai habis manis sintesis yang dikandungnya, lalu tersisa karetnya yang pahit, dan kita buang sebagai sampah. Dan itu sama sekali tak membikin kita kenyang.  Mungkin begitulah hakikat televisi. Kita tak akan dapat tambahan pengetahuan, tak akan jadi manusia yang lebih arif, lebih bijak, jika hanya berharap dari televisi. 

Ya, kita tak bisa berharap banyak dari permen karet bernama televisi itu.  Pakar semiotika dan novelis besar italia Umberto Eco menyimpulkan itu dengan kalimat lain (yang seperti kalimat-kalimat Eco yang lain, selalu bernas dan jenaka), katanya, “Jika Anda ingin memanfaatkan televisi  untuk mengajari seseorang, maka yang harus Anda lakukan pertama-tama  adalah ajari orang itu bagaimana memanfaatkan televisi!”***