Monday, May 14, 2012

Di depan Teater Chaplin


ADA berapa teater untukmu di kota ini, Chaplin? 

Aku seperti pengembara, dengan sedikit waktu malam, 
dan ingin masuk, mungkin untuk sebuah peran sebagai 
kucing  jenaka, bernyanyi untuk Cinderalla yang lupa.


Kalau kita bertemu, malam itu, aku sudah berlatih
untuk bercakap-cakap seperti adegan dalam film bisu. 
Dengan begitu, kita tak perlu saling menerjemahkan.



*

Berapa kali, Chaplin, seorang harus menjadi yatim?


Teater,  mungkin sejenis rumah penampungan juga,
untuk keinginan-keinginan yang tak punya tempat.

Ini bukan lagak, bukan soal kepandaian berpura-pura.

Panggung, mungkin sejenis tempat pindah dan singgah ,
dari satu lakon ke lain lakon, dalam takdir yang kekal,
apapun peranmu, loper surat kabar dalam kisah
detektif, menemukan berita yang tak ada, atau badut
malang pada sebuah sirkus:  terusir dan teringkus!   

*

Berapa lama aku harus berdiri dan bertepuk untukmu? 

Tak ada makammu, di sini, Chaplin. Aku ziarahi saja
keinginanku yang tak mati dan belum ingin aku kubur,
dalam senyap hati setenteram udara Danau Jenewa,
toh tidak akan ada yang akan ingin mencurinya. 

Dan kau tetap hidup di kota ini, dalam cahaya proyektor
yang berisik, dan kami masih akan tertawa, bagi pejalan
dengan sepatu bertelapak besar, celana gembung, dan
jas sesak, serta topi yang melindungimu dari salah-duga,
bahwa engkau tak pernah bisa sekadar berbahagia.