Tuesday, August 2, 2011

The Magic of Stage

(Catatan Seorang Aktor Karbitan yang Langsung Kapok)

BUTET Kartaredjasa menyebutnya The Magic of Stage, Sihir Panggung. Saya merasakannya semalam, dan saat saya tuliskan kolom ini, saya sedang dalam persiapan untuk merasakannya lagi di malam kedua.

Ya, saya menambah satu pengalaman hidup lagi: jadi aktor – dan buru-buru harus ditambah ‘karbitan’. Ya, saya aktor karbitan. Saya dapat peran kecil di pentas Mak Jogi – Hikayat Jenaka untuk Indonesia. Saya menjadi penyair Kerajaan Sepancungan Daun bernama Raja Ali Hasan.  Saya harus menelepon adik lelaki saya yang semasa mahasiswa di kampusnya dahulu ia menjadi aktor, memimpin teater, menulis naskah dan menulis naskah.  Sialnya, dia hanya tertawa terbahak-bahak, sama sekali tak mau memberi saya sekadar tips. Sialan. 



“Kalau dulu ada Raja Ali Haji yang terkenal dengan Gurindam 12, sekarang di kerajaan ini ada Raja Ali Hasan dengan Gurindam ST 12,” kata Juru Cerita dan asistennya, memperkenalkan apa peran saya kepada penonton.

Betul, ini hanya peran kecil di tengah lesatan-lesatan terang para bintang besar: Tom Ibnur dan Didik Nini Thowok, keduanya dua maestro tari Indonesia; Hendri Lamiri, pemain biola dengan liuk badan dan sayatan anggun yang lagu-lagunya bersama grup Arwana sangat saya gemari; Agus PM Toh, pendongeng dari Aceh yang sepanjang tahun punya jadwal tetap mendongeng dan mengajar di berbagai Negara di Eropa; Trio Gam yaitu Gareng, Joned dan Wisben, komedian paling dagel dari Yogyakarta; dan Efendi Gazali, pengajari ilmu komunikasi, wabilkhusus komunikasi politik yang integritas kecendekiawanannya tidak terbeli oleh penguasa. 

Saya tampil di dua adegan saja, dari 14 adegan lakon tersebut. Peran saya ya, tak jauh-jauh dari sosok penyair, berpantun, bersyair, karena itu saya anggap tidak berat. Tidak berat? Ternyata saya salah besar.  Bahkan untuk tampil selintasan pun, kita harus bersiap seakan ikut dalam seluruh bagian adegan. Karena peran kecil kita menjadi bagian dari semua rangkaian pertunjukan tersebut.

Untuk dipentaskan selama dua malam, tim produksi harus menyewa panggung untuk empat hari. Dua harinya dipakai untuk latihan. Itu sebabnya, memproduksi sebuah pertunjukan teater bukanlah sesuatu yang murah.  Butet dan kawan-kawan beruntung dapat menggandeng Djarum yang sejak 1972 punya program Apresiasi Budaya, juga banyak sponsor lain. Apakah itu cukup? Tidak. “Setiap kali pentas ibaratnya saya harus nombok dengan menjual satu Avanza,” kata Butet. Wah!

Mak Jogi adalah bagian dari rangkaian produksi teater Indonesia Kita yang digarap oleh satu tim kreatif yang digagas oleh raja monolog Butet Kartaredjasa, Djadug Ferianto, dan Agus Noor. Mak Jogi adalah produksi keempat, setelah Laskar Dagelan, Beta Maluku, dan Kartolo Mblalelo. Semuanya digelar di tempat yang sama yaitu Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Bagaimana saya bisa terlibat di pentas itu? Karena jaringan pertemanan. Inilah keampuhan jaringan. Bagaimana saya bisa berkawan dengan Butet? Djadug? Dan Agus Noor? Karena kami berada di satu ranah yang sama: kesenian. Lalu pertemanan itu dimudahkan lagi oleh berbagai media sosial, seperti Twitter (tanggal 26 Juli kemari ada satu akun pengingat yang menggamit saya, menyebutkan pada hari itu usia akun twitter saya @haspahani tepat empat tahun).  Saya bisa menyapa akrab mereka, mengucapkan selamat pagi, seperti dua orang saling bertetangga dan berbincang lewat jendela yang terbuka.   

Maaf, saya tidak sedang hendak mengangkuhkan luas jejaring pertemanan saya – yang sebenarnya tidak luas-luas amat. Saya hanya ingin berbagi pendapat bahwa jejaring seperti itu bermanfaat, dan kita, siapa saja kita, bisa membangunnya.


*

Mak Jogi adalah pertunjukan dengan roncean banyak cabang kesenian. Ada tarian yang dibawakan dengan memukau oleh penari-penari dari IKJ, dan fragmen cerita. Latihan masing-masing bagian itu terpisah-pisah, terpenggal-penggal. Ini kesulitan pertama saya sebagai aktor karbitan. Susah membayangkan bagaimana kelak pertunjukan itu dirangkai.

Latihan untuk pertama, tidak diikuti oleh seluruh pemain. Ini kesulitan lain buat saya. Bagaimana nanti bentuk adegannya ketika seluruh pemain hadir lengkap. Hanya beberapa jam sebelum pertunjukan yang sesungguhnya pukul 20.00 WIB, tepatnya pukul 14.00 WIB, percobaan menyatukan seluruh adegan digelar. “Ini tidak akan dipotong. Kita ingin tahu durasi pertunjukan,” kata Djadug. 

 Maka, mainlah kami dengan segala kekurangan dan salah di sana-sini. Dialog lamban, gerak pemain tumpang-tindih, improvisasi dialog yang berulang-ulang, dan durasi yang molor. “Dua jam 24 menit. Masih molor. Harusnya dua jam saja,” kata Djadug dengan suara menggelegar.

Butet dan Agus Noor lalu mengevaluasi. Mereka memberi koreksi orang per orang. Saya misalnya. Dianggap kurang flamboyan di panggung layaknya seorang penyair. “Coba bayangkan Rendra!” kata Agus Noor mengarahkan saya. Butet kepada kami yang tampil dalam satu adegan mengingatkan agar kami menjaga membangun emosi dari adegan ke adegan. Kalau tidak ada emosi, kata Butet, tidak ada dinamika. Kalau tidak ada dinamika, tak ada irama, kalau taka da irama tak muncul karakter. Ah, pelajaran singkat tentang berlakon dari maestronya. Catat!

“Tapi, jangan terlalu cemas. Tetap santai, tapi konsentrasi saja ke peran masing-masing. Nanti di panggung dengan reaksi penonton pasti semuanya keluar potensinya,” kata Butet.  Maka, saya yang amatir ini sampai menit-menit  terakhir menjelang naik panggung masih belum yakin apakah bisa berperan dengan baik atau tidak.   

Lantai panggung Graha Bhakti Budaya TIM bukanlah asing buat kaki saya. Bersama Husnizar Hood, Ramon Damora, Peppy Chandra, dulu, di tahun 2007, kami sama-sama tampil baca puisi di tempat yang sama.  Tapi, baca puisi bersama-sama yang masing-masing tampil personal, berbeda dengan teater yang menuntut peran kita sekecil apapun harus menyatu dengan seluruh bagian.

Hasilnya? Sebagaimana rangkaian Indonesia Kita sebelumnya,  pentas Mak Jogi malam pertama sukses. “Kalian luar biasa!” kata Butet usai pentas di belakang panggung.  “Ini yang saya bilang The Magic of Stage. 50 persen energi aktor terserap dari penonton,” katanya. 

Saya membayangkan mungkin begitulah caranya – dengan sihir panggung itu - Butet menaklukkan naskah, menguasan panggung, dan memukau penonton saat ia tampil bersama Teater Gandrik, dan terutama saat dia sendiri bermonolog. Monolog artinya tampil sendiri selama dua jam. Aduh, bagaimana caranya menghafal naskah untuk tampil selama dua jam itu? Saya sendiri hanya tampil dengan dialog pendek dan empat pantun serta dua bait syair minta ampun susahnya menghafal.


*

Dan akhirnya saya harus katakana: saya kapok main teater. Saya kapok jadi aktor karbitan. Teater adalah muara besar dari semua cabang seni. Karena itu melelahkan sekali jika kita terlibat di situ, lelah jiwa raga. Jiwa dan raga saya tidak di situ. Saya tidak membenci teater, saya justru setelah kekapokan ini akan sangat menghargainya, dan mencintainya dengan kadar yang berlipat-lipat. I love you, teater! ***