Wednesday, August 17, 2011

[kolom] Atas Nama Bangsa Indonesia….



JEPANG
menyerah kepada sekutu. Hatta sudah mendengar perkiraan itu beberapa hari
sebelumnya saat ia berada di Singapura. Sjahrir pada hari itu mendengar
beritanya disiarkan oleh radio.  Di
Jakarta, pemerintah pendudukan Jepang sudah membentuk Panitia Persiapan
Kemerdekaan (PPK). Lewat lembaga ini Jepang menjanjikan kemerdekaan bagi
Indonesia. Sukarno ketuanya. Tapi, kekalahan Jepang datang leih cepat dari yang
diperkirakan.

Sjahrir melihat peluang lain: kemerdekaan Indonesia harus
segera dinyatakan lewat radio ke seluruh dunia oleh Sukarno sendiri sebagai
pemimpin rakyat atas nama rakyat Indonesia. Sjahrir menganggap jika kemerdekaan
terus diupayakan lewat PPK sama saja bangsa ini bergantung pada Jepang. 
Hatta setuju bahwa kemerdekaan Indonesia harus dinyatakan
sesegera mungkin. Tapi ia tak setuju pada ide Sjahrir agar Sukarno bertindak
langsung diluar PPK. Ia juga yakin Sukarno tak akan setuju dengan jalan  itu.
Hatta dan Sjahrir kemudian menemui Sukarno. Usulan Sjahrir
dibentangkan. Benar saja, Sukarno menolak. Ia 
merasa tidak berhak bertindak sendiri, karena hak itu adalah tugas
Panitia Persiapan Kemerdekaan di mana dia menjadi ketuanya.
"Alangkah janggalnya di mata orang, setelah kesempatan
terbuka untuk mengucapkan kemerdekaan Indonesia, aku bertindak sedri melewati
Panitia Persiapan Kemerdekaan yang kuketuai," kata Sukarno.
Langkah terpenting saat itu adalah memastikan benarkah
Jepang telah menyerah kepada tentara sekutu. Berdua, Sukarno dan Hatta menemui
Admiral Maeda. Semenit lamanya sang admiral terdiam, sebelum menjawab bahwa
memang demikianlah yang telah secara resmi diumumkan oleh sekutu.
"Akan tetapi kami belum memperoleh berita dari Tokyo.
Sebab itu berita tersebut belum kami pandang benar. Hanya instruksi dari Tokyo
yang menjadi pegangan kami," kata Admiral Maeda.
Tapi itu sudah cukup bagi Hatta dan Sukarno: mereka yakin
Jepang sudah kalah. Kepada Sukarno,  Hatta – seorang adminitratur dan penata organisasi
ulung itu -  mengusulkan besok harinya,
tanggal 16 Agustus 1945 segera digelar rapat PPKI. Jam 10.00.  Tempat Hotel des Indes. Peserta rapat adalah
seluruh anggota PPK yang saat itu sudah lengkap semua berada di Jakarta.
Sukarno dan Hatta pun segera pulang ke rumah masing-masing.
Kabar takluknya Jepang merebak cepat.  Sore tanggal 15 Agustus itu dua pemuda yaitu
Subadio Sastosatomo dan Soebianto Djojohadikoesoemo, datang ke rumah Hatta.
Keduanya mendesak agar Hatta meminta kepada Sukarno untuk segera mengumumkan
kemerdekaan Indonesia, seperti usulan Sjahrir, dan mengabaikan upaya
kemerdekaan lewat PPK. Hatta tetap pada pendapatnya, lagi pula sebuah rapat
penting besok pagi sudah disiapkan.
Ketidaksabaran dan harga diri meninggi di kalangan pemuda saat
itu. Malam harinya ketika Hatta mengetik naskah Proklamasi  (bukan naskah yang kita kenal saat  ini) yang akan dia usulkan dalam rapat PPK
esok harinya, Mr Subardjo datang ke rumahnya. 
Hatta diajak ke rumah Sukarno yang sedang dikerumuni pemuda yang mendesak
agar ia memproklamasikan segera kemerdekaan  malam itu juga.
Sukarno tetap berkeras mengikuti proses yang sudah
disiapkan.  Jepang besok pagi, 16
Agustus, akan membuat pernyataan memerdekakan Indonesia.  Setelah itu, PPK akan bersidang melaksanakan
kemerdekaan tersebut, mengesahkan rencana Undang-undang Dasar yang sudah
disiapkan oleh Panitia Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan, memilih kepala
pemerintahan, dan kemudian mengatur strategi untuk mempertahankan kemerdekaan
agar tak direbut kembalil oleh Belanda yang akan datang membonceng sekutu.
Perdebatan memanas. 
Wikana, salah seorang pemuda meminta dengan ancaman, “Apabila Bung Karno
tidak mau mengucapkan pengumuman kemerdekaan itu mala mini juga, besok pagi
akan terjadi pembunuhan dan penumpahan darah.”
Sukarno naik darah. Ia datangi Wikana, dan sambil menunjuk
lehernya sendiri  ia menghardik. “Ini
leherku, seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga,
jangan menunggu sampai besok.”
Sejarah bangsa ini kemudian mencatat sebuah tindakan gegabah
pemuda  yang menggagalkan rapat PPK
tanggal 16 Agustus 1945. Subuh itu Sukarno dan Hatta diculik, dibawa ke
Rengasdengklok.  Sukarno tak mau menuruti
keinginan para pemuda. Para pemuda itu juga tak ingin ada rapat PPK, karena
jika itu terjadi maka kemerdekaan Indonesia adalah pemberian Jepang. Begitu
mahalnya sebuah harga diri bangsa tertanam di dada para pemuda itu.
Skenarionya adalah: jam 12.00 siang itu, 15 ribu rakyat akan
menyerbu kota, bersama mahasiswa dan Peta melucuti Jepang. Sebuah skenario
nekad dan berdarah!  Di Rengasdengklok  Sukarno dan Hatta dalam jagaan para pemuda
meneruskan  pimpinan Pemerintah Republik
Indonesia.  Upaya Hatta mencegah
penculikan itu sia-sia.
“Itu sudah menjadi keputusan kami semua dan tidak dapat
dipersoalkan lagi. Bung ikut saja bersama Bung Karno pergi ke Rengasdengklok,”
kata Sukarni.
Tak ada kecamuk lain dalam pikiran Hatta kecuali bahwa
pernyataan kemerdekaan Indonesia gagal diselenggarakan.  Rapat PPK tak terselenggara. Padahal itulah
rapat terpenting, dan merupakan puncak dari rangkaian rapat sebelumnya
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.  Dan
di Jakarta tak terjadi apa-apa. Tak ada rakyat yang melucuti tentara Jepang.
Malam itu, pukul 20.00 Sukarno dan Hatta kembali ke Jakarta.
 Suasana serba tak pasti, tapi langkah
cepat dan tepat diamil. Seluruh anggota PPK yang batal rapat, dan masih
menginap di Hotel des Indes dibawa semua ke rumah yang dipinjamkan oleh Admiral
Maeda.  Rapat dimulai pukul  00.00, pada jam itu, pihak hotel melarang
mereka menggelar kegiatan apapun termasuk rapat.  Hari sudah masuk ke tanggal 17 Agustus 1945.  “Itu kewajiban saya yang mencintai kemerdekaan
Indonesia,” kata Admiral Maeda yang merelakan rumahnya dipinjamkan untuk rapat
PPK.
Tapi, lain Maeda lain Nishimura. “Apabila rapat itu
berlangsung tadi pagi, kami akan bantu. Akan tetapi, setelah tengah hari, kami
harus tunduk kepada perintah sekutu dan tiap-tiap perubahan status quo tidak
dibolehkan. Jadi,s ekarang rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ini
terpaksa kami larang!” Tapi, kali ini Sukarno dan Hatta tak terhalang.  Maeda diam-diam meninggalkan rumahnya
sendiri. Di rumah itu, kira-kira 40-50 orang menggelar rapat mahapenting:  bagaimana menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Di jalan di luar rumah para pemuda menonton dalam ketegangan masing-masing
menunggu hasil pembicaraan.
Di dalam rumah, setelah beberapa saat pembicaraan, penegasan
sikap terhadap penolakan Jepang yang tak mau lagi mengakui kemerdekaan
Indonesia, Sukarno mengajak Hatta ke sebuah ruang tamu kecil bersama Subardjo,
Soekarni, dan Sayuti Melik. Di ruang itulah teks  proklamasi dirumuskan.
“Aku persilakan Bung Hatta menyusun teks ringkasa itu sebab
bahasanya kuanggap yang terbaik. Sesudah itu kita persoalkan bersama-sama.
Setelah kita memperoleh persetujuan, kita bawa ke muda singa lengkap yang sudah
hadir di ruang tengah,” kata Sukarno.
Hatta  berkata kepada
Sukarno, “Apabila aku mesti memikirkannya, lebih baik Bung menuliskan, aku
mendiktenya.”  Mula-mula Hatta  memetik kalimat pertam dari akhir aline
ketiga rencana Pembukaan UUD:  Kami bangsa Indonesia  dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.  Lalu bagaimana revolusi kemerdekaan itu
dilaksanakan? Hatta mendiktekan kepada Sukarno: 
Hal-hal yang mengenai pemindahan
kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo
yang sesingat-singkatnya.
Di depan sidang, subuh itu, Sukarno membacakan rumusan
proklamasi itu berulang-ulang, dan berhati-hati. Beberapa kali dia bertanya
dapatkan rumusan itu disetujui? Setelah gemuruh kata setuju dikumandangkan
rapat pun ditutup dengan satu tambahan kesepakatan atas usulan Sukarni agar hanya
Sukarno dan Hatta yang menandatangani naskah itu atas nama bangsa Indonesia.
Subuh itu juga, kepada Burhanuddin  Diah, salah seorang pemuda wartawan yang
hadir, Hatta meminta agar teks proklamasi itu diperbanyak dan dikawatkan ke
seluruh dunia mana saja yang mungkin dicapai dengan teknologi komunikasi saat
itu.  Teks itu dibacakan pukul 10.00 17
Agustus 1945, di halaman rumah Sukarno di Pegangsaan Timur 56, di hadapan
rakyat  Indonesia. ***