Oleh Hudan Hidayat
Mungkin puisi Tardji yang belum pernah dibaca orang, adalah puisi yang pada suatu sore dilisankannya padaku dengan gerak jiwa dan raganya. Jadi begini ceritanya.
Pada suatu siang antak-antak 4 atau 3 tahun yang lalu, sang penyair ini selalu kehilangan duit dalam tumpukan honor atau apalah di meja kamar atasnya.
Tapi dia yakin tak seorangpun yang mengambilnya. Maka dia berkesimpulan yang mengambilnya adalah tuyul. Dengan setarikan napas dia bercerita dengan suara serak dan dengan alunan irama puisi lisan.
"Jadi hudan," katanya, "aku yakin tuyullah yang ngambil uangku itu. tak mungkin orang."
"Aku penasaran," katanya. "Macam macam tehnik sudah digunakannya. Konon tuyul takut ngambil uang kalau di dalam dompet kita taruh kaca kecil," katanya. "Lalu kutaruhlah kaca kecil dalam dompetku." Sambil bercerita tardji terkekeh sendiri. Bahkan terkikik kikik lucu. Tubuhnya berguncang-guncang dan aku kira memanglah lucu: menaruh kaca di dompet itu.
Tapi ilmu kaca tak mempan dan duit Tardji tetap hilang.
"Pukimak tuyul ini," kata tardji sambil terkekeh lagi. "Aku pikir-pikir," katanya, "lalu tanpa berpikir kuambil tongkat kayu dan kuintip dari pintu kamarku yang kubuka sedikit. Siapa tahu tuyul itu berjalan ngambil duitku.
Sekarang aku yang terkikik geli sendiri dan Tardji pun ikut terkikik bersamaku. Kubayangkan sang penyair berkaos oblong putih sampai ke gulu dengan celana pendek modis sedang memegang tongkat kayu - biasanya kan megang pena mencatat-catat puisinya. Apa lagi kalau mau naik panggung, sibuk dia membolak balik catatan catatan puisinya dengan tulisan tangan khas tulisan tangan orang dulu. Tulisan tangan model halus kasar. Tapi tulisan tangan tardji guratannya besar besar dan tegas tegas.
Pernah kuambil kertas kertas yang mau dibacanya dari map sebesar nampan itu. Kubolak-balik berisi puisi pendek dan puisi panjang.
Tanah Air Mata, begitulah puisi legendaris itu. Lalu di tepiannya seolah ada coretan entahlah apa fungsinya aku kurang mengerti. Tak pula kutanyakan pada dirinya. Kalau pun kutanyakan pastilah jawabnya: alah kau ini. sudah baca baca ajalah. (hehe apa kabar bang? aku kangen deh).
Kembali ke soal tuyul tadi ya. Lama Tardji menunggu tuyul itu dengan tongkat di tangannya. tumpukan duit ditaruhnya di atas mejanya. Di sekeliling kamarnya terbentang foto foto hitam putih sang penyair lagi telentang mabuk, melompat bringas dengan mata merah, banyaklah lagi. Tapi kalau cerita ini benar maka di situlah settingnya. habis di mana lagi? Tak mungkin kan di bawah di ruang ruang keluarganya cerita semacam ini terjadi. Pastilah di kamar atas itu.
Nah, lama Tardji nunggu tapi dasar tuyul iya tak datanglah hehe. "Pukimak tuyul itu tak datang," kata tardji. "Kalau dia datang pastilah kugebuk dengan tongkat kayuku ini."
Lama nian aku terkikik mendengar cerita yang disampaikannya itu. Oh iya, ini cerita benaran lo bukan fiksi. Setidaknya benaran yang kudengar dari mulut Tardji. Kukira memang benar hehe
Masih ada kelanjutannya cerita ini soalnya. Setelah dia bercerita dia berpikir pikir sendiri. "Gampanglah soal tuyul ini sebenarnya," katanya. Kalaulah ada orang pintar macam kiyai selesailah.
Aku bilang aku ada bang orang pintar. Guru ngajiku orang NU tapi asyik. Langsunglah kupromosikan karena khawatir kalau kalau belum apa apa dia merasa akan diceramahi.
"Guru ngajiku ini keren bang," kataku. Aku malah banyak bicara di depannya bukannya dia. Padahal waktu ketemu pertama kali aku kena marah sama guru ngajiku itu. Gara-garanya aku ngajak dia berdebat dan lama-lama berputar putar tak ada ujung pangkal. Marahlah dia. Kamu ini kesini mau apa? mau belajar agama atau mau berantem dengan saya. Aku berkata, "oh tidak, pak, aku kesini pastilah mau belajar agama."
"Ya sudah kalau mau belajar agama diam jangan bicara lagi. dengarkan aku ini."
Aku berkata, "iya, Pak, aku diam dan aku dengarkan. Tapi sejak itu aku malah jadi dekat dengan guru itu dan guru itu sayang sekali dengan aku.
Sebenarnya tak kudengarkan amat. Cuma kan gak enak bertengkar pula di rumah orang. Tamu lagi, masa bertengkar.
Nah pergilah aku dan Tardji ke guru ngajiku itu. Naik taksi. Lalu naik becak dan sampai ke tempat guru itu. Di sepanjang jalan Tardji bingung melihat aku. Aku gelisah karena kok sepertinya tak sampai sampai juga becak yang kami naiki. Jangan jangan salah alamat dan berulang ulang tukang becak itu kutanyakan. Akhirnya tukang becak itu kesal dan mungkin sekali kami dibawanya berputar putar, sehingga terasa lama amat.
Tapi waktu kan pasti ada ujungnya dan kami pun sampai. Tardji pakai anting dengan rambut dikepang kecil kecil mirip penyanyi rege dan dengan jaket khasnya. Baru saja kami datang guruku langsung senyum senyum melihat Tardi. setelah berbasa basi langsunglah kebiasaan Tardji bekerja: ngomong dengan setarikan napas itu, seolah kata kata berhamburan saja keluar dari mulutnya tanpa berpikir.
"Jadi pastilah tuyul kan, Pak, yang ngambil duit itu," katanya kalau aku gak salah ingat. Sungguh aku sudah gak ingat lagi apa apa pokok cerita soal tuyul di depan guru ngajiku itu. Daripada ceritaku ini bergerak ke arah fiksi lebih baik aku berhentikan saja sampai di sini ya, tuan dan puan para pembaca. sekelumit kisah aneh bin ajaib dari para pengarang indonesia ini.
Sampai jumpa. da da.
Sumber: milis Apresiasi-Sastra, ditampilkan seizin penulis Hudan Hidayat.