Saya kira kita beruntung punya Sutardji Calzoum Bachri (SCB) yang menulis sajak dalam rentang waktu yang panjang. Kita catat dulu, ia lahir tahun 1941. Tahun ini 67 umurnya. Nah, mari kita manfaatkan keberuntungan kita itu dengan membandingkan dua petikan sajak. Dua sajak berjarak 30 tahun! Sajak pertama dia tulis ketika dia berusia 35 tahun. Sajak kedua dia tulis pada usia 64 tahun.
Petikan I: sepasang burung darah / sepasang burung gairah / terbang / ke langit diri / membuat telur teduh / yang tenang / yang tuhan / dalam sarang / di langit diri // maka / seorang tarji / calzoum / bachri / terbang / mengambil / telur tuhan / mencoba / menetaskannya / diri // (Sarang, 1976)
Petikan sajak pertama ini terbit dalam buku Atau Ngit Cari Agar. Sajak itu ditulis pada periode Kapak, yaitu 25 sajak yang ia tulis dalam selang waktu 1976-1979.
Kenapa SCB tidak memasukkan sajak ini dalam kumpulan Kapak sehingga jadi 26? Apa salah sajak ini? Sebentar, masih ada lima sajak lain di buku Atau… yang juga bertahun dalam selang itu, tapi juga tidak di-kapak-kan.
Kenapa dia tidak menyusulkan saja sajak itu kemudian, bukankah buku kumpulan O Amuk Kapak dicetak pada tahun 1981? Lalu kenapa juga masih ada dua sajak bertahun 1975 yang juga tidak digabungkan ke kumpulan O (sajak-sajak 1973-1976).
Dugaan saya ini bukan karena SCB menganggap sajak itu buruk. Toh, akhirnya sajak itu tiga puluh tahun kemudian dibukukan juga. Saya menduga perkaranya adalah kesatuan tema. Dalam pengantar Kapak, SCB menulis: Tidak seperti sajak-sajak saya yang terdahulu yang banyak dengan pencarian ketuhanan, dalam sajak-sajak selanjutnya maut lebih mempesona saya. Nah, sajak yang kita petik tadi temanya adalah pencarian ketuhanan itu.
Saya kira dengan sajak-sajak itu dia hendak menyiapkan sesuatu, menyiapkan puncak lain, sehingga sajak-sajak itu ia simpan saja dahulu. Atau bisa jadi dia sudah sangat puas dengan O Amuk Kapak, kumpulan yang ia sebut sebagai tiga puncak kepenyairannya, lalu ia gamang bila lompatan berikutnya tidak mencapai puncak lain yang lebih tinggi dari tiga puncak itu, sehingga sajak-sajak itu akhirnya hanya tersimpan lama.
Sekarang mari kita simak petikan sajak kedua: retak / katakata tumbang / runtuh / porak poranda / koyak moyak kamus / makna hapus // dalam banyak tenda / para korban keruntuhan kata / menjerit tanpa kata // negara asing tak sanggup bantu / mustahil selamatkan korban / lewat asing kata / bahkan terjemahan / pun / tak // (Gempa Kata, 2005)
Apa yang terasa setelah menyanding dan membandingkan kedua sajak itu? Pertama saya setuju dengan sahabatnya Profesor Abdul Hadi WM – penyair yang ketika sama-sama mabuk sambil berangkulan menobatkan Sutardji sebagai Presiden Penyair Indonesia (Abdul Hadi sendiri pada saat yang sama mengangkat diri sebagai wakil Sutardji). Ia menilai kecenderungan sufistik pada Sutadji ada sejak sajak-sajak awalnya. Tetapi kecenderungan itu terhalang oleh skeptisisme dan nihilisme yang begitu kuat menggoda perasaan penyair.
Ya, ada usia 35 tahun, Tardji sepertinya masih berada dalam pencarian, ia merindukan Tuhan, ia menuju Tuhan, tetapi pada saat yang sama ia menolak cara-cara bertemu dan berhubungan dengan Tuhan yang telah diajarkan padanya. Ia ingin menemukan caranya sendiri. Ia sebut itu sebagai tindakan mengambil telur Tuhan dan menetaskannya sendiri. Menetaskan telur Tuhan baginya adalah menetaskan diri sendiri. Bila dirinya telah menetas, bila ia telah menemukan dirinya sendiri, dia berharap dari diri sendiri itu dia bertemu Tuhan yang ia rindukan.
Lihatlah, betapa Sutardji bahkan menghadirkan diri sendiri dalam sajak dengan menyebut lengkap namanya: Sutardji, Calzoum, Bachri. Tak banyak penyair yang melakukan itu, tidak pada Goenawan, tidak pada Sapardi, tidak pada Joko Pinurbo. Chairil Anwar melakukan itu – dengan modus penyebutan yang amat berbeda - pada sajak Mirat Muda, Chairil Muda. Empat kali dia sebut Chairil, antara lain dalam bait Ketawa diadukannya giginya pada mulut Chairil. Rendra pun tak seberani itu, dalam satu sajak ia menyebut dirinya sebagai Willy, nama panggilannya. Penyair yang lebih kini yang melakukan hal itu sepembacaan saya adalah Sitok Srengenge.
Kita kembali ke Sutardji. Kondisi kejiwaan dan keruhanian yang sudah amat berbeda tampak pada periode setelah tahun 2000-an, seperti terwakili dengan petikan sajak kedua itu.
Ia sepertinya telah menuntaskan pencariannya. Ia yang sudah berumur 64 tahun mulai memalingkan perhatian pada kehidupan orang banyak, ia mulai prihatin pada nasib bangsa. Sepanjang usianya ia telah melihat, menghayati, menjadi saksi perjalanan sebuah bangsa, dan ia tidak bisa untuk tidak memberi komentar, nasihat, atau peringatan pada orang banyak atas kondisi itu.
Demikianlah, seorang penyair besar dengan karya-karyanya, terus berproses, menggali tema, memperluas perhatian, menuntaskan pencarian, bertahan pada intensitas yang tak tertandingi, dan itu adalah pelajaran penting bagi kita.
Makna sajak-sajaknya sendiri adalah karya yang amat pantas menjadi renungan. Tengoklah petikan kedua sajak yang kita bicarakan di sini. Ia sedang menghantam kehidupan kita kini yang semakin lama semakin mudah jatuh pada pemujaan pada yang permukaan, tanpa kedalaman.
Hidup kehilangan makna, tanpa tujuan. Ibarat kata-kata yang retak, tumbang, runtuh, porak-poranda. Kamus - barangkali itu bisa kita anggap sebagai metafora dari kitab rujukan moral - tak lagi diindahkan. Kita pun lantas hidup tanpa tujuan, hidup tak lagi bermakna. Siapa yang bisa menyelamatkan kita dari kehancuran ini? Bukan orang lain. Tapi kita sendiri, bahasa kita sendiri, bukan nilai-nilai orang lain yang asing, meskipun itu telah disuai-suaikan ke dalam bahasa kita sendiri. Negara asing tak sanggup bantu. Mustahil selamatkan korban lewat asing kata. ***