11. Selain Sutardji, menurutmu adakah penyair lain yang kredo atau sikapnya terhadap kepenyairan dan bahasa bisa kita teladani?
Ya, Afrizal Malna. Ia bahkan hadir dengan konsep yang amat berbeda. Lebih menukik ke relung kata, ke jantungnya.
12. Sajak-sajaknya khas sekali. Sekali baca sajaknya tanpa melihat namanya kita bisa tahu bahwa itu sajak Afrizal. Saya juga menemukan banyak bau-bau Afrizal pada sajak penyair lain.
Afrizal menemukan bahasa sajaknya. Yang lain mengekorinya. Ah kita berbaik sangka saja, barangkali penyair lain itu masih dalam upaya mencari sebelum menemukan bahasa sajaknya sendiri. Sebenarnya yang penting adalah sikap terhadap bahasa itu, bukan bagaimana sajak yang dihasilkan dari penyair yang bersikap demikian.
13. Saya belum pernah melihat Afrizal mengumumkan kredonya.
Memang dia tidak pernah menyebut dengan jelas, tapi bagi saya sikapnya amat jelas.
Di buku "Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing" terbitan Bentang Budaya, Cetakan I, 2002, Afrizal Malna mengumumkan semacam kredo, semacam sikap dan pandangannya terhadap kata dan puisi. Saya kira ini salah satu kredo terbaik dalam khazanah perpuisian Indonesia. Kredo itu berjudul "Rumah Kata".
14. Wah, ini pasti sangat menarik. Saya baca buku itu, saya baca bagian “Rumah Kata”. Tapi, apa betul itu kredonya Afrizal?
Saya sarikan saja sikap Afrizal itu kedalam lima pasal berikut ini, sambil saya tambahkan penjelasan yang merupakan upaya saya menafsirkan dengan daya tafsir saya yang terbatas ini. Saya mungkin salah menafsir. Mungkin penyair kita ini bermaksud lain, tapi bagi saya cara menafsir seperti ini bermanfaat, setidaknya buat saya sendiri.
Pasal 1. Kata seperti sebuah rumah, memiliki ruang luar dan ruang dalam, ruang depan dan ruang belakang. Kata adalah representasi eksistensi ruang dalam pemahaman manusia di bidang bahasa.
Mari kita tangkap perumpamaan itu dengan cara begini: ruang dalam adalah ruang pribadi, ruang luar adalah ruang publik. Ruang dalam dibangun sendiri dengan pengertian yang bebas. Ruang luar terbangun bersama sehingga di ruang itu pengertian kata dipahami oleh semua orang yang bersama-sama berada ruang luar itu, tanpa merusak ruang dalam yang terbangun di dalam diri masing-masing.
15. Hmmm, pasal berikutnya.
Pasal 2. Ruang luar kata adalah konvensi komunikasi yang berlangsung dalam wilayah publik. Berbagai pernik-pernik komunikasi saling berhubungan dalam ruang ini.
Nah, mulai jelas kan apa maunya? Bila disebut kata "rumah", maka di ruang luar kata itu yang terlihat adalah rumah dalam pengertian umum. Rumah yang dimengerti bersama oleh orang-orang yang berada di ruang luar kata yang sama. Padahal orang-orang itu menyimpan pengertian kata rumah yang berbeda yang mereka bangun di ruang dalam masing-masing itu.
16. Makin jelas atau makin rumit ya?
Ah, kamu macam tak tahu Afrizal saja. Lanjut dulu ya.
Pasal 3. Ruang dalam kata seperti rumah kita yang terlindungi dari dunia luar. Sebuah kebebasan yang bekerja dan bertindak dalam ruang terbatas.
Mungkin ini akan mudah kita pahami dengan uraian begini: Rumah bagi A, bisa jadi adalah rumah sederhana yang pernah ia tempati, yang harus ia tinggalkan karena ada trauma yang mengusirnya jauh dari rumah itu. Rumah bagi B, adalah rumah yang berat ia tinggalkan karena rumah itu selalu membuatnya nyaman. Rumah bagi A dan B yang berbeda itu tersimpan di dalam ruang dalam kata itu yang mereka bangun sendiri.
17. Sepertinya penjelasanmu itu deh yang rumit…
Tunggu sampai kita tiba di bagian berikutnya. Ini bagian penting.
Pasal 4. Puisi sebenarnya produk dari ruang dalam kata, lalu mencoba keluar menemui publik tapi ia tidak mau tunduk pada konvensi hubungan-hubungan publik di ruang luar itu.
18. Ya, ya. Sebentar saya hayati dulu….
Sudah?
19. Bantu saya memahami dengan sedikit penjelasan.
Itu artinya puisi itu personal sekali. Orang yang merasa nyaman berada di ruang luar alias ruang bersama punya dua pilihan. Ketika melongok ke puisi - jendela yang membuka ruang dalam itu: Pertama, orang bisa tidak betah karena aneh melihat ruang kata yang berbeda dari ruang luar tempat ia biasa berada dan berbeda pula dengan ruang dalam kata yang ada dalam dirinya; Kedua, orang menjadi sangat tertarik karena ruang dalam yang ia longok di jendela puisi itu ternyata banyak serupanya dengan ruang dalam yang ia simpan yang diam-diam ia rahasiakan.
20. Aha, saya tangkap poinmu.
Bukan saya. Itu poinnya Afrizal, Bung! Dan ini bagian terakhir.
Pasal 5. Puisi sesungguhnya mencoba merajut kembali hubungan antara ruang luar dan ruang dalam sebagai representasi pembagian kerja kebudayaan dan peradaban.
Nah, kan? Ada ketegangan antara ruang luar dan ruang dalam kata. Ada yang tidak tersambung dan itu harus dirajut kembali. Ruang luar kata bisa jatuh menjadi membosankan. Ruang dalam kata sesekali harus dibuka dan diajak keluar agar ketegangan itu mencair, keakraban terajut, dan ruang luar kata disegarkan kembali oleh kehadiran ruang dalam.
Saya betul-betul sangat terbantu dengan lima poin itu ketika membaca sajak-sajak Afrizal. Ia tidak sekadar beraneh-aneh. Keanehan – atau kamu pernah bilang itu hanya kegenitan bahasa, atau sekadar kesengajaan untuk merumit-rumitkan - itu adalah wujud dari sikapnya terhadap bahasa, puisi dan kepenyairan itu sendiri. Lima poin dari risalah pendek “Rumah Kata” itu.
21. Saya bilang genit atau gaya-gayaan karena saya belum tahu, Bung. Sekarang saya sudah punya alasan untuk mengubah sikap dan saya kira saya juga akan sangat terbantu memamahi sajak-sajaknya dengan uraianmu ini.
Hmm, kamu mau kirim SMS minta maaf sama dia? Saya punya nomor ponselnya.
22. Ada? Berapa?
He he he. Saya minta izin dia dulu ya. Tapi, kamu tahu, kredo itu juga mengilhami saya untuk menulis sajak untuknya.
23. Oh ya? Mana?
Silakan simak:
Rumah Kata & Tuan Rumah Kata
: Afrizal MalnaAKU kehabisan ruang di rumah kata. Ruang luar dan ruang dalam kata sudah ditempati tamu dari jauh. Tamu itu kawan-kawanku sendiri. Mereka tidur, makan dan ngobrol. Aku ketuk-ketuk pintu ruang kata itu. Mereka tak mendengarku. Rumah kata tak lagi dikawal penjaga. Siapa saja bisa masuk. Tapi apa artinya berada di dalam ruang kata?
Engkau bilang siapa saja memang bisa masuk ke dalam ruang kata. Tapi tidak semua orang bisa bertemu tuan rumah kata. Engkau bilang kita tak harus masuk ke dalam ruang kata agar bisa bertemu tuan rumah kata. Kita juga tak harus menunggu di pintu atau bikin tenda di halaman rumah kata.
Aku bertemu engkau di yogyakata. Engkau tanya aku apakah aku pernah ditolak kata? Engkau tanya aku apakah aku pernah ditalak kata? Engkau tanya apakah aku pernah merobek KTP-ku sendiri? KTP yang penuh kata. Dusta.
Engkau bilang engkau tidak tahu alamat rumah katamu di kota katamu. Tapi engkau membuatku tahu ada ruang di dalam dan di luar rumah kata.
Engkau suka mengajak kata yang ada di ruang dalam kata menjenguk ke luarkata. Di ruang luar kata mereka menjadi kata yang kuat. Mereka punya kaki dan mereka ingin berjalan sendiri. Mencari rumah dan kota lain.
Engkau tak mau membopong kata yang sudah punya kaki sendiri itu. Engkau tak juga melarang kata itu mengikutimu dari kota ke kota. Hei, aku tahu sekarang di mana rumah kata dan siapa tuan rumah kata tempat aku datang sebagai tamu. Tamu yang tak pernah diundang. Tamu yang tak pernah pulang.
24. Wah!
Silakan diselami, dan dimaknai…. (Syukurlah, kamu jadi lupa sama nomor ponsel itu).
25. Nomor ponselnya berapa ya?
………