Anugerah Pena Kencana tampaknya digagas juga untuk melengkapi, atau menutupi kelemahan Khatulistiwa Literary Award. Direktur Program Pena Kencana Triyanto Triwikromo menulis begini: Penghargaan tahunan cukup besar -terkini Rp 100 juta– memang diberikan oleh Khatulistiwa Literary Award untuk kumpulan puisi dan cerpen terbaik. Meskipun telah menulis 1000 puisi bagus, seorang sastrawan tidak berhak mendapatkan hadiah itu jika ia belum menulis buku. Dengan kata lain untuk mendapatkan penghargaan besar, sastrawan harus menunggu bertahun-tahun.
Saya punya pikiran berbeda. Kenapa panitia justru berpikir bahwa yang penting adalah 'sastrawan harus mendapatkan penghargaan besar'? Kenapa justru tidak memangkas waktu agar si penyair yang menulis 1.000 puisi bagus itu lekas menerbitkan buku? Saya kira itulah penghargaan terbesar bagi sastrawan, yakni ketika karyanya diperlekas untuk diterbitkan.
Penolakan Faisal Kamandobat atas keterlibatan sajaknya dalam kontes Pena Kencana 2008saya kira bisa jadi petanda awal bahwa niat panitia bisa tidak bertemu dengan maunya penyair. Faisal barangkali hanya kasus unik, tapi penyair lain yang diam saja belum tentu juga senang. Saya, terus terang saja, kecuali berterima kasih pada kerja panitia dan juri, tidak merayakan dua sajak saya yang masuk dalam deretan 100 puisi terbaik versi Pena Kencana ini.
Sesungguhnya niat panitia untuk memangkas waktu bagi penyair atau cerpenis yang hebat agar dapat penghargaan besar juga tidak sampai. Lihatlah betapa bertele-telenya proses perjalanan sebuah karya untuk sampai dinobatkan sebagai juara. Pertama penyair harus kirim ke surat kabar. Belum tentu dimuat. Ketika dimuat, maka karya harus bersaing lagi dengan karya lain dari surat kabar lain. Lantas ketika terpilih lalu dibukukan, dia harus menunggu lagi delapan bulan, dari Februari hingga Agustus. "Sayembara ini bertele-tele sekali," kata salah seorang pengunjung situs Pena Kencana.
Saya ingin menawarkan pilihan lain. Kenapa tidak meniru saja apa yang sudah berpuluh tahun dilakukan oleh Academy of American Poet? Tidap tahun ada sayembara untuk para penyair yang belum pernah menerbitkan buku. Yang disayembarakan tentu naskah buku si penyair. Pemenangnya selain dapat hadiah uang (jumlahnya ratusan juta bila dirupiahkan) yang paling menarik adalah karyanya dibukukan. Ini saya kira sangat menggairahkan. Anggap saja Pena Kencana setiap tahun menerbitkan lima buku karya lima pemenang, maka, setiap tahun kita bisa yakin akan bertemu lima karya yang relatif utuh dari penyair kita.
Akademi di Amerika tersebut juga bikin kontes untuk buku kedua, tentu yang ikut adalah merekagb yang sudah pernah menerbitkan satu buku, juga sejumlah penghargaan lain, termasuk karya terjemahan. Dengan banyak tawaran ini maka niat Panitia Pena Kencana untuk merangkul banyak pembaca, menjaring lebih banyak pendukung sastra Indonesia bisa tercapai.
Triyanto menulis: Anugerah Sastra Pena Kencana hadir untuk memangkas jalur yang terlalu lama dan ingin lebih memartabatkan sastrawan. Lihat kalimat penting itu: 'memangkas jalur terlalu lama', dan 'ingin memartabatkan sastrawan'.
Karena itu, tulis Triyanto, selain setahun sekali memberikan penghargaan tertinggi untuk satu puisi dan cerpen terbaik, juga meningkatkan jumlah hadiah. Untuk 2008, puisi dan cerpen terbaik, masing-masing Rp50 juta. "Nilai penghargaan itu diharapkan dari tahun ke tahun meningkat," katanya.
Tidak ada yang salah dengan niat untuk menaikkan hadiah dari tahun ke tahun itu. Masalahnya adalah kenapa penghargaan tertinggi itu diberikan berdasarkan jajak pendapat lewat SMS? Triyanto punya jawaban. "Selain hidup tanpa penghargaan yang memadai, sastra kita juga hidup dengan sedikit pembaca. Dengan melibatkan lebih banyak pembaca dalam menentukan sastra yang diinginkan, diharapkan sastra kita tidak terasing dari masyarakat. Selain itu melibatkan pembaca dalam penilaian dunia sastra kita akan kian mampu menjaring pendukung yang lebih luas," ujarnya.
Alih-alih mencapai tujuan itu, inilah justru kelemahan Pena Kencana. Banyak pertanyaan bisa diajukan: Cukupkah jumlah 3.172 SMS untuk mendukung kesimpulan bahwa cerpen model Seno dan puisi model Jimmy itulah yang diinginkan pembaca? Kalau memang sastra kita terasing dari masyarakat pembacanya, bisakah cara ini meruntuhkan keterasingan itu? Bukankah itu justru membuatnya tambah terasing? Sebab toh karya-karya itu sebelumnya sudah ketemu pembacanya lewat koran di mana masing-masing karya itu terbit? Saya ragu cara melibatkan pembaca a la Pena Kencana ini bukannya menjaring pendukung yang lebih luas, seperti yang dimaui penggagas.(bersambung)