"Lihat, kapalku terisi sarat, mengangkut
59 ton emas, menjauh dari Teluk Buyat..."
Angin dari langit masih hembus yang dulu,
ombak dari laut masih hempas yang dulu.
Yang mendebur ke dada perahu, mengapung-apungkan
jaring yang tersangkut sejak dulu. Nasib nelayan kakekku.
Jauh, jauh. Kini mengayuh delapan kilo,
ke tengah laut. Sebab di teluk itu tak ada lagi
kerapu, kepiting bahkan juga seekor udang batu.
"Lihat, kapalku berisi kepenuhan,
pulang ke teluk membawa ikan.
Ada pesta, tengah malam disuguhkan.
Kita cuma nelayan, tak berundangan."
Empat tahun sudah air raksa menguap
di udara dan air mandi Teluk Buyat.
Mengendap dalam tubuh ikan, terperangkap
juga di darah kami, anak-anak nelayan.
Kelak kami menyebutnya racun yang tak tertawarkan.
Tapi, "Tak ada pencemaran, tak ada pencemaran."
Mereka sudah meneliti, mencocok-cocokkan jawaban dan
tergesa mengambil kesimpulan. "Tak ada pencemaran!"
Tapi, "Lihat! Ada koreng di kulitmu, ada kudis di lehermu...."
Tak jelas ada jawaban. Tak juga belas kasihan.
Cuma perahuku datang kembali membawa
kirimanmu buat kami: Sabun mandi. Ke Teluk Buyat.
Mengubah air tangis jadi gelombang berbuih. Jadi perih.
"Dan, bila luka juga, tak ingin kubagi
perih yang tak kau pernah fahami ini.
Tenggelamkah sudah semua perahu kami?"