Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Thursday, August 26, 2004
[Cuma Catatan ] ..............
Saya kira ini akan
jadi perjalanan
yang membosankan.
Kecuali jika, kelak
ada puisi yang menemui,
mengisi kosong di sini
yang hendak kutinggalkan untuk
beberapa kali terbit matahari.
Tuesday, August 24, 2004
Lekaslah, Kecuplah Aku
"lekaslah, kecuplah aku"
Tersebab kemarau yang rawan,
berseru rumput kepada awan.
Lalu luruh jua: sebabak hujan.
Mungkin begitulah bibir langit
dan bibir bumi mesra berkecupan.
Kau tak tahu, tentu, tak tahu.
Karena tak kau pernah bisa
mendengar bisik bisu rayu itu.
Jangan Mengecup Aku
Sajak Yono Aljibsailz Wardito
terkadang aku berdiam dibilur waktu
mengenang bulirbulir padi yang merundukkan dahan
mengalirkan airmata seharian
sebelum mengering di bongkahan akar
aku sesak dalam sedikit senja, menyisa
hanya untuk kembali membaca namamu
pada bangkubangku panjang
yang basah oleh tempias hujan
o,jangan mengecup aku,
karena bibirmu sudah meranting
menyerupai lanting punggawa di kuala samboja
mendendam serpihan rindu dan kesepian
yang sedikit saja tak kau sisakan buatku.
o, aku yang selalu menari dikeleluasaan pagi
diantara dahan dan batangbatang bisu
diantara helaihelai bulu sayap yang berjatuhan
sebagaimana engkau, muasal kembara
menggigil dalam potret masa lalu
dengan sebuah botol; terbanglah!
jangan mengecup aku
sebab aku tak mampu terbang lagi.
LEKAS PEJAMKAN MATAMU
Sajak Anggoro Saronto
lekas pejamkan matamu, ringan ucapku
tapi tuhan tak pernah tidur, katamu ragu
maka aku menyuruhmu menutup mata untuk mengurangi
rasa berdosamu
tapi tuhan tak pernah bisa kita kelabui, katamu lirih
maka aku mengajakmu bersembunyi di balik meja dengan
taplak besar yang berjuntai
tapi tuhan dapat menembus segala penutup tirai, uraimu
aku mencintai sikap puritanmu sebagaimana aku mencintai
nafsu yang tersekap dalam sekam tubuhku
maka lekas, lekaslah pejamkan matamu, aku berbicara pada diri sendiri
karena rindu tak lagi bernyali.
JKT.08.04
Kecup Hanya Kecup
Sajak Zee Singleaway
bibir langit dan bibir bumi
kecup hanya kecup
jauh tetap jauh
Tersebab kemarau yang rawan,
berseru rumput kepada awan.
Lalu luruh jua: sebabak hujan.
Mungkin begitulah bibir langit
dan bibir bumi mesra berkecupan.
Kau tak tahu, tentu, tak tahu.
Karena tak kau pernah bisa
mendengar bisik bisu rayu itu.
Sajak Yono Aljibsailz Wardito
terkadang aku berdiam dibilur waktu
mengenang bulirbulir padi yang merundukkan dahan
mengalirkan airmata seharian
sebelum mengering di bongkahan akar
aku sesak dalam sedikit senja, menyisa
hanya untuk kembali membaca namamu
pada bangkubangku panjang
yang basah oleh tempias hujan
o,jangan mengecup aku,
karena bibirmu sudah meranting
menyerupai lanting punggawa di kuala samboja
mendendam serpihan rindu dan kesepian
yang sedikit saja tak kau sisakan buatku.
o, aku yang selalu menari dikeleluasaan pagi
diantara dahan dan batangbatang bisu
diantara helaihelai bulu sayap yang berjatuhan
sebagaimana engkau, muasal kembara
menggigil dalam potret masa lalu
dengan sebuah botol; terbanglah!
jangan mengecup aku
sebab aku tak mampu terbang lagi.
LEKAS PEJAMKAN MATAMU
Sajak Anggoro Saronto
lekas pejamkan matamu, ringan ucapku
tapi tuhan tak pernah tidur, katamu ragu
maka aku menyuruhmu menutup mata untuk mengurangi
rasa berdosamu
tapi tuhan tak pernah bisa kita kelabui, katamu lirih
maka aku mengajakmu bersembunyi di balik meja dengan
taplak besar yang berjuntai
tapi tuhan dapat menembus segala penutup tirai, uraimu
aku mencintai sikap puritanmu sebagaimana aku mencintai
nafsu yang tersekap dalam sekam tubuhku
maka lekas, lekaslah pejamkan matamu, aku berbicara pada diri sendiri
karena rindu tak lagi bernyali.
JKT.08.04
Sajak Zee Singleaway
bibir langit dan bibir bumi
kecup hanya kecup
jauh tetap jauh
home sick
Sajak Ali Gong Shadle
desa-desa telah menyusun waktunya sendiri
kota-kota telah melaju di jalan cepat bebas hambatan.
tahun lalu burung-burung pipit
masih memakan padi.
tahun sekarang pun sepi.
tak mampu mengusir tekukur dari ladang.
ombak tetap tegar datang ke pantai,
laut pasang limpas menggenang
gundukan tanah licak pekarangan.
tanggul tak lagi mampumenahan
rindu kepada kawan.
malam semakin cepat saja
waktu terlalu sombong untuk menunggu
ini hari berlalu dengan lari kecil anak-anak.
besok aku harus pergi lagi.
2002, solo.
saat rindu tak lagi bisa di bendung.
Note: Terima kasih. Sudah mewakili rasaku yang sama, lewa puisi ini, puisi yang masih berpiutang padaku. Ia menagihku terus, aku tak bisa bayar. Terlalu banyak alasan untuk menghindar, bukan?
Sajak Ali Gong Shadle
desa-desa telah menyusun waktunya sendiri
kota-kota telah melaju di jalan cepat bebas hambatan.
tahun lalu burung-burung pipit
masih memakan padi.
tahun sekarang pun sepi.
tak mampu mengusir tekukur dari ladang.
ombak tetap tegar datang ke pantai,
laut pasang limpas menggenang
gundukan tanah licak pekarangan.
tanggul tak lagi mampumenahan
rindu kepada kawan.
malam semakin cepat saja
waktu terlalu sombong untuk menunggu
ini hari berlalu dengan lari kecil anak-anak.
besok aku harus pergi lagi.
2002, solo.
saat rindu tak lagi bisa di bendung.
Note: Terima kasih. Sudah mewakili rasaku yang sama, lewa puisi ini, puisi yang masih berpiutang padaku. Ia menagihku terus, aku tak bisa bayar. Terlalu banyak alasan untuk menghindar, bukan?
Monday, August 23, 2004
Yang Kosong Yang Tak Selesai
tentu saja - akan senantiasa - ada yang tak selesai
dalam pembicaraan terakhir kita di sepanjang puisi ini,
aku ingin kau menuntaskannya, dengan menuliskan
namamu-namanya. Dan aku menulis diam yang lain.
tentu saja - selalu tak terelakkan - ada yang kosong
dalam genggam terakhir tanganmu-tanganku. aku ingin
sekali mengisinya dengan semacam janji - semacam puisi -
yang kau percaya, dan aku sungguh tak bisa menunainya.
dalam pembicaraan terakhir kita di sepanjang puisi ini,
aku ingin kau menuntaskannya, dengan menuliskan
namamu-namanya. Dan aku menulis diam yang lain.
tentu saja - selalu tak terelakkan - ada yang kosong
dalam genggam terakhir tanganmu-tanganku. aku ingin
sekali mengisinya dengan semacam janji - semacam puisi -
yang kau percaya, dan aku sungguh tak bisa menunainya.
[Tentang Puisi] Merekam yang Tak Bicara
BAHASA menjadi sepenuhnya terang dan komunikatif, ketika ia sepenuhnya bergerak pada tataran ide. Adapun puisi adalah sebuah ikhtiar agar dunia privat bisa diungkapkan dan tak punah ditindas oleh bahasa orang ramai. Maka, dibutuhkan sesuatu yang lain yang tak mengutamakan '"jelas" dan "terang", sebab setiap kali bahasa mencapai pengertian yang dimufakati bersama oleh orang ramai, sebenarnya ada yang tak diakui, dirobek, luka, bahkan ditenggelamkan, dalam konsensus itu.
PUISI menebus kembali apa yang hilang dalam sesuatu yang tanpa nada tulisan. Puisi, sedikit atau banyak, mengembalikan kelisanan sebuah teks. Puisi memulihkan kata sebagai "peristiwa". Dalam "peristiwa", bunyi hadir. Bunyi adalah bagian dari bahasa puisi yang seperti napas: begitu penting, tapi begitu lumrah.
SEBUAH sajak adalah ibarat sebuah gema. Ketika gema terdengar, ada arti atau makna yang lebih luas ketimbang "pengertian". Pengertian adalah sesuatu yang dipikirkan. Tapi "pengertian" hanyalah reduksi dari "arti".
PUISI adalah dunia pemaknaan alternatif, pemaknaan yang tak menaklukkan dunia. Bahasa puisi karena itu untuk merekam mereka yang "tak bicara". Di tengah menguatnya wilayah publik, puisi memang menjadi terasing. Tetapi, keterasingannya bukan karena ia berkhianat. Keterasingannya justru sebuah kesaksian, bagaimana di zaman ini, ketika kata bertebaran dan berduyun-duyun bersama kapital, orang mudah untuk tak mengakui ada fragmen-fragmen, ada peristiwa-peristiwa, yang seakan-akan terdiam.
* Goenawan Mohamad, Fragmen: Peristiwa, disampaikan dalam pidato penerimaan Penghargaan Achmad Bakrie dari Freedom Institute, 2004.
PUISI menebus kembali apa yang hilang dalam sesuatu yang tanpa nada tulisan. Puisi, sedikit atau banyak, mengembalikan kelisanan sebuah teks. Puisi memulihkan kata sebagai "peristiwa". Dalam "peristiwa", bunyi hadir. Bunyi adalah bagian dari bahasa puisi yang seperti napas: begitu penting, tapi begitu lumrah.
SEBUAH sajak adalah ibarat sebuah gema. Ketika gema terdengar, ada arti atau makna yang lebih luas ketimbang "pengertian". Pengertian adalah sesuatu yang dipikirkan. Tapi "pengertian" hanyalah reduksi dari "arti".
PUISI adalah dunia pemaknaan alternatif, pemaknaan yang tak menaklukkan dunia. Bahasa puisi karena itu untuk merekam mereka yang "tak bicara". Di tengah menguatnya wilayah publik, puisi memang menjadi terasing. Tetapi, keterasingannya bukan karena ia berkhianat. Keterasingannya justru sebuah kesaksian, bagaimana di zaman ini, ketika kata bertebaran dan berduyun-duyun bersama kapital, orang mudah untuk tak mengakui ada fragmen-fragmen, ada peristiwa-peristiwa, yang seakan-akan terdiam.
* Goenawan Mohamad, Fragmen: Peristiwa, disampaikan dalam pidato penerimaan Penghargaan Achmad Bakrie dari Freedom Institute, 2004.
[Tentang Puisi] Menghidupkan Puisi
ADA dia yang menjadikan hidup, puisi yang tak bisa ditulisnya. Sementara yang lain menulis puisi tentang sesuatu yang tak berani diwujudkannya.
* Oscar Wilde
* Oscar Wilde
Sunday, August 22, 2004
Pantun Tanggung, Doa Tak Rampung
Engkau menyebutnya pantomim pohon-pohon
Aku menggubahnya jadi sampiran pantun
Dengan doa tak rampung: Kita pun memohon
Menadah dasar jurang, "Terjun, ayo, terjun!"
Aku menggubahnya jadi sampiran pantun
Dengan doa tak rampung: Kita pun memohon
Menadah dasar jurang, "Terjun, ayo, terjun!"
Friday, August 20, 2004
[Tentang Puisi] Godaan Kehidupan
BUNGA adalah puisinya reproduksi. Bunga adalah contoh dari godaan kekal kehidupan.
* Jean Giraudoux (1882-1944)
* Jean Giraudoux (1882-1944)
[Tentang Puisi] Terbaik Terbaik
SAYA harap penyair yang cerdas bisa mengingat definisi pribadi saya tentang prosa dan puisi: yaitu, prosa adalah kata-kata yang dalam sususan terbaik. Sedangkan puisi adalah kata-kata terbaik dalam sususan terbaik.
* Samuel Taylor Coleridge (1772 - 1834)
* Samuel Taylor Coleridge (1772 - 1834)
[Tentang Puisi] Demam Puisi
KETIKA saya membaca sebuah buku dan seluruh tubuh saya dibuat menggigil dan tak ada api yang bisa menghangatkan saya, saya tahu yang saya baca adalah puisi.
* Emily [Elizabeth] Dickinson (1830 - 1886)
* Emily [Elizabeth] Dickinson (1830 - 1886)
[Tentang Puisi] Tak Mengucap Apa-apa
Tak ada yang ingin saya katakan, tapi saya berkata juga, dan itulah puisi.
* John Cage
* John Cage
[Tentang Puisi] Kembali Kepada Puisi
KESUNYISENDIRIAN mengembalikan kelahiran ke dalam diri kita, kepada keindahan yang tak kita kenal dan mengancam-- kepada puisi. Tapi juga, mengembalikan kepada yang sebaliknya: kepada niat jahat, perbuatan melawan hukum --- kepada yang absurd.
* Thomas Mann (1875-1955)
* Thomas Mann (1875-1955)
Sunday, August 15, 2004
Percakapan 2 Pengunjung Sirkus
+ Singa-singa itu...
- Mereka sudah ditekuk takluk. Diberi makan
cukup untuk patuh pada cambuk. Kau tahu?
Mereka lahir di kebun binatang kota, tak kenal
jejak perkelahiran di padang-padang perburuan.
Sirkus, memang sebuah pertunjukan tanpa
pertanyaan. Kita datang dan pulang tanpa
membawa apapun jawaban. Kita hanya perlu
sebuah hiburan. Hanya perlu sebuah pelipuran.
+ Dan kita bertepuk untuk....
- ....sebuah perasaan menang. Auman itu
bukan sebuah geram yang dibahanakan.
Auman itu cuma aksi pelengkap untuk
sempurnanya sebuah pengelabuan. Lihat,
kita masih meremang, bukan? Dongeng
tentang raja hutan itu, belum kita lupakan.
+ Lihat, lingkaran api itu dilompati...
- Ya, pertunjukan ini pun jadi sempurna, bukan?
Atraksi ini bukan cerita keberanian. Ini cuma
semacam pameran kepatuhan.
+ Dan badut-badut itu...
- ....sayang. Singa-singa itu tak pernah bisa
dilatih untuk tertawa. Mungkin kelak perlu
semacam topeng atau tata wajah khusus
dengan bedak dan gincu di wajah-wajah itu.
Wajah singa itu, maksudku. Sebab, panggung
itu memang perlu sebuah banyolan, juga olokan.
Sebagai selingan pertunjukan. Agar makin
tak sia-sia tiket ini. Sebelum kita campakkan.
- Mereka sudah ditekuk takluk. Diberi makan
cukup untuk patuh pada cambuk. Kau tahu?
Mereka lahir di kebun binatang kota, tak kenal
jejak perkelahiran di padang-padang perburuan.
Sirkus, memang sebuah pertunjukan tanpa
pertanyaan. Kita datang dan pulang tanpa
membawa apapun jawaban. Kita hanya perlu
sebuah hiburan. Hanya perlu sebuah pelipuran.
+ Dan kita bertepuk untuk....
- ....sebuah perasaan menang. Auman itu
bukan sebuah geram yang dibahanakan.
Auman itu cuma aksi pelengkap untuk
sempurnanya sebuah pengelabuan. Lihat,
kita masih meremang, bukan? Dongeng
tentang raja hutan itu, belum kita lupakan.
+ Lihat, lingkaran api itu dilompati...
- Ya, pertunjukan ini pun jadi sempurna, bukan?
Atraksi ini bukan cerita keberanian. Ini cuma
semacam pameran kepatuhan.
+ Dan badut-badut itu...
- ....sayang. Singa-singa itu tak pernah bisa
dilatih untuk tertawa. Mungkin kelak perlu
semacam topeng atau tata wajah khusus
dengan bedak dan gincu di wajah-wajah itu.
Wajah singa itu, maksudku. Sebab, panggung
itu memang perlu sebuah banyolan, juga olokan.
Sebagai selingan pertunjukan. Agar makin
tak sia-sia tiket ini. Sebelum kita campakkan.
Friday, August 13, 2004
Hikayat Kursi Tamu
Akhirnya sampai juga, seperangkat kursi tamu
itu ke alamat yang dituju. Supir truk pikap
yang mengantarkannya, merasa pernah
pada suatu ketika menjemput kursi-kursi itu
dari sebuah alamat lain dan membawanya
ke toko loak. "Tapi aroma peliturnya kok masih
segar sekali, ya?" katanya menebak-nebak.
Akhirnya ada juga seperangkat kursi tamu di
rumah itu. Televisi tua yang sudah mulai kabur
ingatannya merasa pernah mengenal teman
barunya itu, dulu di suatu waktu di suatu tempat.
"Mungkin dia yang bersamaku, di toko
loak itu," katanya menduga-duga.
Ada seseorang yang lewat di depan rumah
yang sekarang berperabot kursi tamu itu.
Ia melihat dan seperti pernah mengenal
kursi tamu itu, seperti diingatkan bahwa
ia suatu ketika pernah bertamu ke sebuah
alamat. Dia ingin sekali singgah, tapi tak
menemukan alasan untuk si tuan rumah.
"Ah, siapa yang peduli pada tukang
perbaiki kursi keliling seperti aku?" ujarnya,
setengah merendah, sisanya seperti gerutu.
itu ke alamat yang dituju. Supir truk pikap
yang mengantarkannya, merasa pernah
pada suatu ketika menjemput kursi-kursi itu
dari sebuah alamat lain dan membawanya
ke toko loak. "Tapi aroma peliturnya kok masih
segar sekali, ya?" katanya menebak-nebak.
Akhirnya ada juga seperangkat kursi tamu di
rumah itu. Televisi tua yang sudah mulai kabur
ingatannya merasa pernah mengenal teman
barunya itu, dulu di suatu waktu di suatu tempat.
"Mungkin dia yang bersamaku, di toko
loak itu," katanya menduga-duga.
Ada seseorang yang lewat di depan rumah
yang sekarang berperabot kursi tamu itu.
Ia melihat dan seperti pernah mengenal
kursi tamu itu, seperti diingatkan bahwa
ia suatu ketika pernah bertamu ke sebuah
alamat. Dia ingin sekali singgah, tapi tak
menemukan alasan untuk si tuan rumah.
"Ah, siapa yang peduli pada tukang
perbaiki kursi keliling seperti aku?" ujarnya,
setengah merendah, sisanya seperti gerutu.
Tuesday, August 10, 2004
Anak Bermain Perahu di Teluk Buyat
"Lihat, kapalku terisi sarat, mengangkut
59 ton emas, menjauh dari Teluk Buyat..."
Angin dari langit masih hembus yang dulu,
ombak dari laut masih hempas yang dulu.
Yang mendebur ke dada perahu, mengapung-apungkan
jaring yang tersangkut sejak dulu. Nasib nelayan kakekku.
Jauh, jauh. Kini mengayuh delapan kilo,
ke tengah laut. Sebab di teluk itu tak ada lagi
kerapu, kepiting bahkan juga seekor udang batu.
"Lihat, kapalku berisi kepenuhan,
pulang ke teluk membawa ikan.
Ada pesta, tengah malam disuguhkan.
Kita cuma nelayan, tak berundangan."
Empat tahun sudah air raksa menguap
di udara dan air mandi Teluk Buyat.
Mengendap dalam tubuh ikan, terperangkap
juga di darah kami, anak-anak nelayan.
Kelak kami menyebutnya racun yang tak tertawarkan.
Tapi, "Tak ada pencemaran, tak ada pencemaran."
Mereka sudah meneliti, mencocok-cocokkan jawaban dan
tergesa mengambil kesimpulan. "Tak ada pencemaran!"
Tapi, "Lihat! Ada koreng di kulitmu, ada kudis di lehermu...."
Tak jelas ada jawaban. Tak juga belas kasihan.
Cuma perahuku datang kembali membawa
kirimanmu buat kami: Sabun mandi. Ke Teluk Buyat.
Mengubah air tangis jadi gelombang berbuih. Jadi perih.
"Dan, bila luka juga, tak ingin kubagi
perih yang tak kau pernah fahami ini.
Tenggelamkah sudah semua perahu kami?"
59 ton emas, menjauh dari Teluk Buyat..."
Angin dari langit masih hembus yang dulu,
ombak dari laut masih hempas yang dulu.
Yang mendebur ke dada perahu, mengapung-apungkan
jaring yang tersangkut sejak dulu. Nasib nelayan kakekku.
Jauh, jauh. Kini mengayuh delapan kilo,
ke tengah laut. Sebab di teluk itu tak ada lagi
kerapu, kepiting bahkan juga seekor udang batu.
"Lihat, kapalku berisi kepenuhan,
pulang ke teluk membawa ikan.
Ada pesta, tengah malam disuguhkan.
Kita cuma nelayan, tak berundangan."
Empat tahun sudah air raksa menguap
di udara dan air mandi Teluk Buyat.
Mengendap dalam tubuh ikan, terperangkap
juga di darah kami, anak-anak nelayan.
Kelak kami menyebutnya racun yang tak tertawarkan.
Tapi, "Tak ada pencemaran, tak ada pencemaran."
Mereka sudah meneliti, mencocok-cocokkan jawaban dan
tergesa mengambil kesimpulan. "Tak ada pencemaran!"
Tapi, "Lihat! Ada koreng di kulitmu, ada kudis di lehermu...."
Tak jelas ada jawaban. Tak juga belas kasihan.
Cuma perahuku datang kembali membawa
kirimanmu buat kami: Sabun mandi. Ke Teluk Buyat.
Mengubah air tangis jadi gelombang berbuih. Jadi perih.
"Dan, bila luka juga, tak ingin kubagi
perih yang tak kau pernah fahami ini.
Tenggelamkah sudah semua perahu kami?"
Yang Menebak Yang Masuk Jebak
Adakah lagi sebuah lansekap? Dan di sana
engkau tak hadir sekadar sebagai pelengkap?
Aku sedang menatap matamu, aku menebak
jawab pertanyaan itu. "Kau terjebak," katamu.
engkau tak hadir sekadar sebagai pelengkap?
Aku sedang menatap matamu, aku menebak
jawab pertanyaan itu. "Kau terjebak," katamu.
Saturday, August 7, 2004
Spiderman, Dongengan Pahlawan
: Parker dan Lee
"Di balik kudung kedok,
menjadi pahlawan cuma
semacam nasib buruk."
New York adalah ruang museum impian, Mary Jane,
tempat khayalan diberi tubuh, diberi kenyataan.
Kenapa gigitan racun laba-laba itu tidak menusuk
tanganmu saja, bukan? Karena cerita dan kita perlu
pahlawan. Begitulah, dalam setiap dongengan,
selalu ada yang harus dijadikan korban.
"Dan aku harus bergegas
setiap kali datang raungan
sirine polisi dan ambulans."
New York adalah kantor surat kabar, Mary Jane,
tempat keingintahuan jadi barang perdagangan.
"Tak Ada lagi Spiderman! Tak Ada lagi Spiderman!"
Mereka temukan topeng yang kau ingin lupakan.
Dan dalam setiap dongeng, selalu ada alasan
agar sang pahlawan harus segera dikembalikan,
dengan ikhlas atau didesak paksaan. Sebab
yang jahat selalu meminta dilumpuhkan. Sebab ada
yang memohon, "Aku ingin mati di tanganmu, Pahlawan."
"....dan dongeng tak pernah
mati, tak akan pernah juga
kehabisan nama pahlawan."
Wednesday, August 4, 2004
Khusus Wawancara dengan Penyair
SANG wartawan itu akhirnya
bisa juga mencuri kesempatan,
bertemu dengan Penyair Pujaan.
Sejumlah pertanyaan sudah lama
dia persiapkan. Sudah lama mendesak,
"kapan kami diajukan?"
Tapi, maklum penyair sibuk,
ada saja halangan. Wawancara pun
berkali-kali harus dibatalkan.
***
+ Anda sibuk sekali, Penyair?
Ya, saya harus melayani kemalasan,
masih direcoki oleh khayalan, dan
sesekali harus bersembunyi jauh
keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong
yang sering datang bertamu, tak tentu waktu.
Jangan kira jadi penyair itu enak.
Jangan kira penyair itu seorang
penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair
yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa.
Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit.
Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan.
Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan.
+ Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi?
Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak
melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak
sekali rahim. Menaruh sel telur puisi di dalamnya
dan menyimpannya di suatu tempat yang hangat.
Dalam kenangan, dalam ingatan. Juga dalam
sejumlah perencanaan. Dan keinginan.
Saya sekarang menunggu apa saja datang
menggoda berahi saya untuk bersyairria.
Hingga orgasme berulang sempurna.
Kelak rahim-rahim itu akan terbuahi,
dan lihat saja nanti, akan berlahiran anak-anak puisi.
Dan rumah ini tak akan sepi lagi. Menggantikan
suara-suara lama yang entah pergi kemana
mencari gema-gemanya sendiri.
+ Apa sebenarnya cita-cita Anda?
Ah, pertanyaanmu terlalu biasa. Mestinya semua
orang tahu, penyair itu harus bercita-cita
menemukan bahasa sendiri. Itu juga yang
sekarang sedang saya kejar ke sana kemari.
Berburu kata, berburu tata, berburu dusta dan cinta.
Kelak kalau semuanya terkumpul, nah saat itulah
waktunya mengurus sertifikat hak cipta: Ini Bahasa Saya.
+ Anda sudah menemukan apa sekarang?
Terlalu dini untuk saya publikasikan. Tapi,
untuk wawancara ini saja, saya katakan
saya sudah menemukan sebuah awalan
dan sebuah akhiran, dan sebuah kata sambung.
+ Itu saja?
Ya, memangnya kenapa?
Saya toh tidak sedang terburu-buru.
+ Boleh tahu awalan, akhiran dan kata sambung itu?
Nah, saya yakin Anda akan mendesak saya.
Pasti Anda berpikir itu menarik untuk dijudulkan, bukan?
He he, jelek-jelek begini dulu saya pernah ikut
pelatihan wartawan, sebelum tersesat jadi penyair betulan.
***
WAWANCARA pun berakhir. Penyair dan Wartawan itu
pun bersalaman. Tangan menjawab tangan.
"Selamat sibuk, ya?" kata si Wartawan.
"Ya, sampai jumpa di lain wawancara,
siapkan saja pertanyaan yang lebih berbahaya,"
jawab Sang Penyair sambil tertawa-tawa.
bisa juga mencuri kesempatan,
bertemu dengan Penyair Pujaan.
Sejumlah pertanyaan sudah lama
dia persiapkan. Sudah lama mendesak,
"kapan kami diajukan?"
Tapi, maklum penyair sibuk,
ada saja halangan. Wawancara pun
berkali-kali harus dibatalkan.
***
+ Anda sibuk sekali, Penyair?
Ya, saya harus melayani kemalasan,
masih direcoki oleh khayalan, dan
sesekali harus bersembunyi jauh
keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong
yang sering datang bertamu, tak tentu waktu.
Jangan kira jadi penyair itu enak.
Jangan kira penyair itu seorang
penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair
yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa.
Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit.
Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan.
Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan.
+ Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi?
Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak
melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak
sekali rahim. Menaruh sel telur puisi di dalamnya
dan menyimpannya di suatu tempat yang hangat.
Dalam kenangan, dalam ingatan. Juga dalam
sejumlah perencanaan. Dan keinginan.
Saya sekarang menunggu apa saja datang
menggoda berahi saya untuk bersyairria.
Hingga orgasme berulang sempurna.
Kelak rahim-rahim itu akan terbuahi,
dan lihat saja nanti, akan berlahiran anak-anak puisi.
Dan rumah ini tak akan sepi lagi. Menggantikan
suara-suara lama yang entah pergi kemana
mencari gema-gemanya sendiri.
+ Apa sebenarnya cita-cita Anda?
Ah, pertanyaanmu terlalu biasa. Mestinya semua
orang tahu, penyair itu harus bercita-cita
menemukan bahasa sendiri. Itu juga yang
sekarang sedang saya kejar ke sana kemari.
Berburu kata, berburu tata, berburu dusta dan cinta.
Kelak kalau semuanya terkumpul, nah saat itulah
waktunya mengurus sertifikat hak cipta: Ini Bahasa Saya.
+ Anda sudah menemukan apa sekarang?
Terlalu dini untuk saya publikasikan. Tapi,
untuk wawancara ini saja, saya katakan
saya sudah menemukan sebuah awalan
dan sebuah akhiran, dan sebuah kata sambung.
+ Itu saja?
Ya, memangnya kenapa?
Saya toh tidak sedang terburu-buru.
+ Boleh tahu awalan, akhiran dan kata sambung itu?
Nah, saya yakin Anda akan mendesak saya.
Pasti Anda berpikir itu menarik untuk dijudulkan, bukan?
He he, jelek-jelek begini dulu saya pernah ikut
pelatihan wartawan, sebelum tersesat jadi penyair betulan.
***
WAWANCARA pun berakhir. Penyair dan Wartawan itu
pun bersalaman. Tangan menjawab tangan.
"Selamat sibuk, ya?" kata si Wartawan.
"Ya, sampai jumpa di lain wawancara,
siapkan saja pertanyaan yang lebih berbahaya,"
jawab Sang Penyair sambil tertawa-tawa.
Monday, August 2, 2004
Hikayat Penumpang yang Terlambat
Di stasiun kosong, orang mengenang keberangkatan
Kereta terakhir mengantar juru tembak satu pasukan
Kau sampai sangat terlambat. Loket tak berpenjagaan
"Tolong tiket, aku tengah diburu!" Sia-sia kau yakinkan.
Kereta terakhir mengantar juru tembak satu pasukan
Kau sampai sangat terlambat. Loket tak berpenjagaan
"Tolong tiket, aku tengah diburu!" Sia-sia kau yakinkan.
[Tentang Puisi] Penyair vs Wartawan
...., seperti juga perbedaan antara aksara seorang penyair dan aksara seorang wartawan.
Dirumuskan secara sederhana: penyair berurusan dengan dunia-dalam, sementara wartawan bergelut dengan dunia-luar. Yang pertama menggarap makna, sedangkan yang kedua memperjuangkan fakta. Begitulah, kalau wartawan bekerja dengan pemberitaan, maka penyair berkiprah dengan permenungan. Prestasi seorang wartawan diukur berdasarkan banyaknya informasi yang dikumpulkannya, sedangkan prestasi seorang penyair diukur berdasarkan mendalamnya makna yang sanggup diserap dan diendapkannya. Kiat wartawan dipertaruhkan dalam sifat eksklusif informasi yang disiarkannya, sementara kiat penyair dipertaruhkan dalam otentitas pengalaman yang dicerna dalam jiwa. Dengan demikian, kapasitas wartawan adalah membuat pembacanya mengetahui lebih banyak, sedangkan penyair sanggup membuat pembacanya menghayati lebih intens.
* Ignas Kleden, dalam Eksperimen Seorang Penyair, kata pengantar Catatan Pinggir 2, Goenawan Mohamad, Grafiti Pers, 1989.
Dirumuskan secara sederhana: penyair berurusan dengan dunia-dalam, sementara wartawan bergelut dengan dunia-luar. Yang pertama menggarap makna, sedangkan yang kedua memperjuangkan fakta. Begitulah, kalau wartawan bekerja dengan pemberitaan, maka penyair berkiprah dengan permenungan. Prestasi seorang wartawan diukur berdasarkan banyaknya informasi yang dikumpulkannya, sedangkan prestasi seorang penyair diukur berdasarkan mendalamnya makna yang sanggup diserap dan diendapkannya. Kiat wartawan dipertaruhkan dalam sifat eksklusif informasi yang disiarkannya, sementara kiat penyair dipertaruhkan dalam otentitas pengalaman yang dicerna dalam jiwa. Dengan demikian, kapasitas wartawan adalah membuat pembacanya mengetahui lebih banyak, sedangkan penyair sanggup membuat pembacanya menghayati lebih intens.
* Ignas Kleden, dalam Eksperimen Seorang Penyair, kata pengantar Catatan Pinggir 2, Goenawan Mohamad, Grafiti Pers, 1989.
Subscribe to:
Posts (Atom)