Wednesday, June 15, 2011

[Kolom] Ia Memberdayakan 300 Pengrajin

SEBELUM ia membangun usahanya sendiri, enam tahun dia bekerja di bank, pada bagian kredit. Dengan masa kerja selama itu, tentu dia tahu seluk-beluk perbankan. Tapi dia sampai hari ini, tetap menjalankan bisnisnya sebagai “bisnis rumahan”, ia tak mau memakai jasa bank untuk mengembangkan usahanya.

Ia kenal dan dikenal dengan baik oleh kalangan bank di Bali. Ia nasabah yang baik, dan sudah banyak terima tawaran kredit. Ia tak pernah manfaatkan tawaran itu. Sebuah bank bahkan memberi fasilitas kredit siaga, sebesar Rp1 miliar. Dana sebesar itu dicatatkan atas namanya dan bisa dipakai kapanpun jika ia perlu. “Tak ada biaya, dan tak ada bunga.Kalau saya pakai, baru nanti kena bunga. Tapi, saya mau pakai buat apa?” katanya.





Pekan lalu dia menjemput saya di Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Ini pertemuan pertama kali setelah berpisah tujuh belas tahun lalu. Kami kuliah di universitas yang sama, angkatan sama, jurusan yang sama. Ia tergolong tekun, pintar, rajin, dan bersama beberapa kawan ia diwisuda lebih dahulu daripada rata-rata kami. Sejak itu kami tidak pernah bertemu. Secara fisik, ia tak banyak berubah. Ia pun tetap saja sederhana seperti saya mengenalnya dulu. Ponselnya dari kelas yang harganya tak sampai Rp200 ribu. Saya yang nyaris tak ia kenali. “Kamu gemuk,” katanya. Ya, tentu saja, di tahun-tahun kuliah saya menu tetap saya: tempe sayur sepotong, nasih putih, kecap yang banyak (gratis), dan lalap plus sambal (gratis). Harganya waktu itu Rp350.

Sewaktu kuliah dulu, bersama Yana – yang kini jadi istri saya - kami sama-sama mengelola majalah jurusan. Humus namanya. Nama yang diambil dari kuliah Dasar-dasar Ilmu Tanah. Humus adalah bentuk akhir dari pelapukan bahan organik, di mana mineral-mineralnya bisa diserap dengan mudah oleh tumbuhan. Humus, secara organik menyuburkan tanah.

Ada malam-malam kami habiskan di rental komputer, mengetik naskah untuk majalah dan menata perwajahan halaman-halamannya. Itu yang mengakrabkan kami. Ia berasal dari Tasik, dan sebagai orang Sunda yang baik dia tentu saja susah membedakan huruf dengan bunyi labial “p”, dan labiodental “v”, dan “f”. Ia pernah marah karena kami tertawa ketika dia bertanya, “Eh, ‘stap’ itu ngetiknya pakai ‘pe’ atau pakai ‘ep’?”

*

“Kerja di bank itu berat. Target tinggi,” katanya. Ia sempat berpindah kerja di dua bank swasta. Di bank kedua - ini yang ia syukuri - selama setahun lebih ia mendapat pelatihan soal seluk-beluk bisnis dan keuangan. Bagi kami yang dari Fakultas Pertanian, tentu itu ilmu baru.

Di bagian kredit, ia harus menyalurkan sejumlah besar dana nasabah. Targetnya gila-gilaan, katanya, tapi tetap saja itu harus dilakukan dengan sangat berhat-hati, sesuai azas kehati-hatian perbankan. “Berangkat kerja sudah stres. Mau sampai kantor tambah stres. Di kantor lebih stres lagi,” katanya.

Ia mulai berpikir membangun usahanya sendiri. Di kampungnya, banyak pengrajin barang-barang cindera mata yang pasarnya terbatas. Barangnya bagus-bagus. Desainnya khas. Dan jarang ada daerah lain yang memproduksi. Ia melihat peluang di situ. Ia berpikir untuk memasarkannya di tempat di mana arus turis tak putus sepanjang tahun: Bali.

“Saya mulai dulu pakai motor. Keranjang kiri kanan penuh sandal buatan Tasik,” katanya. Kalau saya ketemu dia saat itu, katanya, pasti saya tak percaya dan tak kenal. “Saya titip ke toko-toko, ke kios-kios di Sanur, Kuta, Denpasar,” katanya. Bali sama sekali asing buat dia. Ketika pertama kali mendengar dia ada di Bali, dan skala usahanya sudah besar, saya heran. Ketika bertemu, saya tanyakan itu. “Kok bisa terpikir berbisnis di Bali?” tanya saya. “Ya, coba-coba aja…” katanya.

Sepanjang perjalanan dari mobil ke rumahnya di kawasan Jimbaran, saya mengorek banyak pelajaran bisnis dari dia. Kawan saya ini menjaga hubungan sangat baik dengan pengrajin di kampungnya di Tasik. Ia menyeleksi dari beberapa, hingga sekarang punya tujuh kelompok pengrajin dengan jumlah pengraji tiga ratus orang lebih.

“Mereka saya minta hanya menyalurkan hasilnya hanya lewat saya. Beberapa desain dari saya, sesuai kebutuhan turis di Bali sini. Saya bayar kontan ke mereka.Uang saya kirim, mereka terima baru barang dikirim,” katanya.

Dengan cara itu, para pengrajin selalu punya dana untuk berproduksi. “Kalau ada yang minta pinjam uang untuk produksi, berarti ada yang tidak beres dari cara dia mengelola keuangan. Saya tak mau pakai lagi pengrajin yang begitu. Saya tahu berapa keuntungan mereka, dan berapa biaya produksi,” kata kawan saya. Ia dan para pengrajin memakai telepon selular dari satu operator yang sama. “Ini syarat penting kalau mau kerja sama dengan saya, biar murah biaya komunikasi,” katanya sambil terkekeh, ketawa yang sama persis seperti tujuh belas tahun lalu.

Di Bali, dia mempekerjakan sembilan orang. Ada yang membawa mobil boks, dan sebagian lain bermotor. Ia sendiri masih memasok dan menagih ke toko-toko kerajinan di pusat-pusat pelancongan di Bali. Nyaris semua toko sovenir memajang barangnya. Ia sendiri sudah punya satu toko yang dijaga empat orang.

Ia bekerja tanpa publikasi. Ia tak meminta bantuan dari pemerintah. Ia tak memasang iklan. Ia benar-benar telah menghubungkan pengrajin kecil di kampungnya, dengan pasar dan turis pengguna akhir dari apa yang diproduksi para pengrajin tersebut.

“Banyak pengrajin saya sudah pada naik haji. Saya aja yang belum. Pernah saya bercanda dengan mereka.Saya bilang ayo kumpul-kumpul uang dong, kalian ongkosin saya naik haji,” katanya.

Darinya saya tahu betapa mahal tanah di Denpasar. Ia sedang mencari satu lahan di tepi jalan besar untuk toko yang hendak ia bangun. Di toko itu nanti juga merangkap gudang – sekarang ruang rumahnya yang luas harus ia cadangkan sebagian untuk barang-barang dagangannya, itu sebabnya kepada saya ia menyebut bisnisnya, sebagai usaha rumahan - dan kamar-kamar cukup untuk semua orang yang bekerja padanya. “Kasihan, sewa kamar kos sekarang mahal. Saya sudah kasih mereka gaji bagus, tetap saja kalau saya hitung kurang. Kasihan,” katanya.

*

Hari ketika kami bertemu kemarin, dia berkali-kali menelepon dan menerima telepon sopir mobil boks yang berangkat membawa barang-barang dagangannya. Dari jam ke jam ia mengawasi sudah sampai mana perjalanan barang-barangnya tersebut. Sejumlah toko sudah kehabisan stok. Ia salah taksir. Bulan Juni tahun ini ternyata penjualan bagus sekali.

Sambil makan siang yang disiapkan istrinya – yang mengontrol pembukuan bisnis mereka - di rumahnya, saya melihat bagaimana seorang di negeri ini bekerja, tak merepotkan negara, tak mengemis pada pemerintah. Apa yang penting yang dapat saya pelajari dari kawan kuliah saya ini adalah: bisnis bisa dimulai dengan niat memberdayakan orang banyak. Kawan saya telah memberdayakan para pengrajin kecil di kampungnya.[]