DI Ubud kita hanya lewat, tidak makan, juga tidak berdoa. Tapi, kita sudah menemukan apa yang jauh dicari di naik perjalanan perempuan, dalam kisah yang diperankan oleh pelakon bermata awal musim semi, berambut rentang mayang pinang.
Sudah lama. Sejak sebelum kita hanya lewat di jalan-jalan sempit dan ramai ini. Yaitu ketika kau sisihkan tabungan untuk ongkos naik haji bagi sepasang orang tua. Lalu kau berdoa untuk keselamatannya, dalam dua kenduri yang berbeda lafaznya.
Sudah lama. Sejak sebelum kau tunjukkan sebarisan galeri perak, kedai lukisan, dan toko ukiran. Yaitu ketika kau rancang bangunan barak bagi pekerja, yang membuka lahan dan menanami bibit pohon hutan.
Di Ubud, ya, kita hanya lewat, di jalan sempit bersisian dengan pematang, berselisih dengan gembala bebek, dan gadis Jepang sedang lari-lari petang. Sawah-sawah, seperti tangan menadah, berdoa untuk - seasing apapun - siapa saja yang datang.