Wednesday, May 11, 2011

[Kolom] Aku & Balada Si Roy, 22 Tahun Kemudian (2)

:: Bagian 1 baca di sini.

BALADA Si Roy adalah panggung. Panggung itu berdiri kokoh, bukan hanya bagi Gola Gong, pengarangnya, tapi, juga bagi ratusan ribu – ah, bisa mungkin jutaan – pembaca yang menggemarinya. Mereka, para pembaca itu, mengidentikkan diri dengan si Roy dan semua lakon yang terbentang di atas panggung itu. Mereka melihat kisah mereka sendiri di situ.

Sebuah panggung, adalah sebuah tempat bagi kita untuk tampil.  Sebuah tempat untuk mengabarkan kepada orang lain tentang siapa diri kita. Sebuah tempat aktualisasi, agar kita tidak terkubur oleh zaman yang lekas berlalu dan kejam.  


Kisah Balada Si Roy adalah sebuah panggung yang tidak mewah, tidak megah, tidak juga tinggi,  tapi ia kokoh, kuat dan terbentang sangat luas. “Saya mempersiapkan cerita Si Roy enam tahun,”  kata Gola Gong, malam itu, di dataran Anjung Cahaya, Tanjungpinang. Sebuah persiapan yang lama, matang,  menguji daya cipta, menantang, dan saya kira pasti menggelisahkan.

Angin laut bersaing dengan hingar-bingar pengeras suara dan cemerlang tata cahaya. Kami berdiri saja di sisi kiri panggung pembukaan Temu Sastra Indonesia.  Mendengarkan nama-nama sastrawan disebutkan: termasuk nama kami. Gubernur Kepri dan Walikota Tanjungpinang bergantian berpidato.  Kami tidak duduk. Berdiri saja di tempat yang tak tersorot cahaya. Saya mengkonfirmasi banyak hal tentang Balada Si Roy, padanya, ya, pada pengarangnya sendiri, Gola Gong, yang malam itu berdiri di kiri saya!

“Kalau pakai skala sepuluh, dalam sosok Si Roy itu saya empat bagian, selebihnya gabungan dari beberapa kisah dan karakter lain,” kata lelaki yang kini sudah berusia 47 tahun itu.   Joe, si anjing herder itu fiktif. Ia sengaja menghadirkan hewan setia itu, yang dalam kisah Roy digambarkan sebagai warisan dari ayahnya yang bandel,  tewas karena  mencari jalur pendakian lain di sebuah gunung. Joe, yang tewas dalam sebuah perkelahian di pantai, berhasil mengajarkan bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang dicintai dan amat berharga buat kita.

Gola Gong sangat tahu apa arti kehilangan. Sejak kanak-kanak tangan kiri Gola Gong diamputasi sebatas siku. Ia pernah bertanya pada mamanya, apakah tangannya itu akan tumbuh lagi. Mamanya mengiyakan, tapi sedikit demi sedikit memberi pengertian bahwa dia tak akan pernah punya tangan yang utuh lagi.

Satu hal terkonfirmasi: sebagai pengarang, Gola Gong adalah perekam kehidupan. Ia menyerap tragedi manusia yang ia alami sendiri, atau pengalaman orang lain yang ia dengar, ia saksikan, lalu dengan imajinasinya sebagai pengarang, kisah-kisah itu ia ramu. Dengan begitu kisahnya, jadi kaya, unik, tapi sekaligus juga jadi bisa dimiliki oleh banyak orang. Saya kira, itu sebabnya kisah itu punya banyak penggemar. Balada Si Roy, telah menjadi panggung bagi banyak orang.

Enam tahun persiapan bukanlah waktu yang singkat. Gola Gong memulai persiapan kisah itu saat kuliah di Fakultas Sastra Unpad Bandung. Kuliah itu tidak dia selesaikan. “Dari kuliah saya, ilmu yang saya dapat, cukuplah untuk dapat sarjana muda,” kata Gola Gong, sama sekali tanpa penyesalan. 

Tapi, dia tahu pasti – dan itu jauh lebih penting - bagaimana sastra bisa mempengaruhi dan membentuk karakter.  Jika semua serial Si Roy dimulai dengan petikan puisi, Gola Gong memang punya misi khusus.

“Saya ingin Si Roy menjadi sastra perantara. Sastra yang mengantar pembacanya untuk mencintai sastra yang lebih serius. Ya, lewat petikan-petikan puisi itu,” katanya. Dan saya kira, dia sangat berhasil. Saya, termasuk orang yang terantarkan oleh pengantar itu.  

“Saya ingat almarhum bapak. Tahun 1974, tangan saya diamputasi.  Bapak mengajak saya ke pasar Senen beli buku. Ke Sarinah naik lift dan eskalator. Kata bapak, buku akan membuatmu lupa bahwa tanganmu buntung. Juga hal-hal baru seperti lift dan eskalator itu akan membuatmu percaya diri. Setelah dewasa saya memahami inilah bagian dari pendidikan karakter,” kata Gola Gong.

Balada Si Roy dimulai dari buku pertama “Joe” hingga buku ke-10 “Epilog”. Setelah itu, Gola Gong memutuskan untuk menghentikannya.   Tak ada lagi lanjutan kisah petualang bandel itu. “Banyak yang protes, ibu-ibu kirim surat ke saya. Anak-anaknya jadi bandel, gak nurut karena meniru Si Roy,” katanya.

Ini jadi beban buat dia. Ini jadi satu alasannya untuk menghentikan Si Roy. “Padahal kalau saya simpulkan sekarang, pembaca si Roy itu ada dua kelompok. Pertama yang meniru bandelnya. Cuma meniru bolos sekolahnya saja. Yang kedua yang seperti kamu (dia menunjuk saya dengan pandangannya).  Kamu mengambil sisi beraninya, mengambil semangat kreatifnya,” kata Gola Gong.   Ya, dan saya kira saya tidak sendiri. Saya yakin banyak pembaca yang terberanikan dan tercerahkan, terarahkan hidupnya oleh kisah-kisah Balada Si Roy. 

Saya termasuk orang yang merasa dapat tempat dan bisa ikut berdiri di atas panggung yang dibentangkan oleh Gola Gong. Si Roy mengajari saya, dengan caranya sendiri, bahwa saya bisa meraih mimpi-mimpi saya sendiri, dengan tangan saya sendiri.

***

Panggung, di Rumah Dunia, bukan lagi cuma makna  konotatif.  Rumah Dunia, adalah sebuah tempat  dan  sebuah komunitas yang dibangun Gola Gong di kediamannya, di kampung Ciloang, Serang, Banten.  Di sanalah, Gola Gong kini menghabiskan waktu-waktunya bersama istri dan empat anak-anaknya, setelah ia memutuskan berhenti bekerja dari sebuah stasiun televise swasta. “Anak saya dua paket, dua pasang perempuan-laki-kali,” katanya.

Abi, anak lelaki keduanya,  waktu berumur 9 tahun, jadi saksi bagaimana ayahnya memetik buah manis dari kegiatan tulis-menulis. Gola Gong menceritakan kisah itu. Suatu hari mereka mengunjungi kota Bandung.  Di kota itu ada penggemar kisah Si Roy yang menjamu seluruh kepentingan Gola Gong dan keluarga.

“Papah terkenal ya?” kata Abi.

Gola Gong hanya tertawa.

“Papah bukan terkenal. Tapi, banyak teman,” katanya.  Nah, lihatlah, betapa luasnya bentangan panggung itu, kawan.

Maka, di Rumah Dunia, Gola Gong pun mendirikan sebuah panggung. Suatu hari , ada petugas dari Departemen Pendidikan Nasional,  bertandang ke Rumah Dunia.  Si Petugas bertanya perihal panggung yang ada di kawasan yang semula berdiri di tanah seluas seribu meter persegi itu.

“Itu buat apa?” tanya si pegawai.

“Untuk pendidikan karakter,” kata Gola Gong.

 “Siapa saja yang boleh naik panggung?” 

 “Siapa saja boleh.  Yang penting dia harus berani dan hebat. Hanya orang-orang yang luar biasa saja yang boleh naik ke panggung,”  kata Gola Gong.

Begitulah. Gola Gong amat menyadari bahwa siapa saja berhak dan bisa menjadi hebat asal dia berani meluarbiasakan diri. Saat pertama kali anak-anak kecil di Kampung Ciloang datang ke Rumah Dunia, panggung sudah didirkan.  “Saya perkenalkan ke pada mereka. Anak-anak saya kumpulkan, saya katakan hanya anak yang berani dan hebat yang boleh naik panggung. Anak-anak itu dengan polos bertanya maksudnya, saya jelaskan, bahwa anak yang berani dan hebat adalah yang mau menceritakan siapa dirinya. Lalu satu per satu  mereka naik panggung walau malu-malu, menceritakan tentang diri mereka. Saya jadi tahu siapa  mereka dan keluarga mereka,” kata Gola Gong.

Saya kira, kini, Rumah Dunia, adalah petualangan Gola Gong yang lain. Di situ dia menemukan banyak hal baru. Melahirkan nama-nama baru, dan ribuan kisah orang yang tercerahkan karenanya. Ada perhelatan Ode Kampung yang digelar di sana, setiap tahun. Sudah tiga kali hajatan itu terselenggara.  Saya pasti akan singgah ke sana, Kang, tak harus menunggu 22 tahun lagi! []