Wednesday, December 29, 2010

Gurindam Pertanyaan, Sekian Belas (4)

/4/

HIDUP kita yang perjalanan, kaki kita yang
mengulur jalan, ingatkah kita pada Sepatu?  

Sepatu yang dipakaikan, ketika dilahirkan,
terasakah, kita seringkali melepaskannya?

Sepasang sepatu, yang tak kiri tak kanan,
kenapa kita kerap ragukan kesepasangannya?

Sepasang sepatu, yang tidak bernomor, tidak
berukuran, kenapa kita ragu pada kaki kita?

Kaki yang lelah, jeda dari singgah ke singgah,
kenapa kita tergoda menukar Sepatu ke sepatu?

Kalau kaki kita menjaga dan dijaga Sepatu,
kenapa kira harus merisaukan alamat Rumah?

Bersama Sepatu, pergi adalah pulang, singgah
adalah rumah, adakah dalih kaki untuk resah?

[ kolom ] Sakitkanlah Kami, Sembuhkanlah Kami

MENTOR jurnalistik saya Andreas Harsono beberapa hari ini sedang bersiar-siar di Malaysia. Dari negeri ke negeri di negara itu, ia punya satu kesimpulan: sepakbola tak terlalu menjadi perhatian rakyat di sana. Ia baca-baca koran lokal. Kesimpulannya: berita bola tak dapat tempat di halaman utama. Orang-orang di sana bicara tentang Liga Inggris. Koran-koran setempat pilih isu macam-macam, tulis Andreas di akun twitternya.

Saya setuju. Berada di Malaysia, sebelum dan sesudah final Piala AFF, kaki pertama di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur, akhir pekan lalu, saya juga merasakan hal yang sama.




DI Megamall, Kuala Lumpur, beberapa jam sebelum pertandingan, Ikra anak saya dilirik-lirik pengunjung. Ikra pakai baju merah dan memakai atribut pendukung timnas: ikat kepala bertulisan Indonesia merah yang kami dapatkan gratis dari Kedubes Indonesia, dan bernyanyi-nyanyi, "Garuda di dadaku..." Saya membebatkan atribut itu di pergelangan lengan kiri.

Kami tak melihat ada warga KL di mal besar itu memakai atribut dukungan untuk timnas Malaysia.
Anak muda Melayu penjaga konter kue bolu di mal itu bertanya apakah kami dari Indonesia. Dia lalu menyebut nama Bambang Pamungkas dan Eili Aiboy sambil mengacungkan jempol. Saya kira kedua pemain kita yang lama bermain di sana cukup populer juga.

Dari KL ke Stadion Bukit Jalil kami naik taksi. Sopirnya seorang lelaki melayu yang baru menikah. Kuku-kuku kedua tangannya berinai. "Ada apa di Bukit Jalil?" Dia, tidak tahu ada pertandingan penting di sana. Ketika saya sebutkan kami akan menonton bola, si pengantin baru lekas-lekas menukas, "O, ada perlawanan ya?" Begitu saja.

Kami meninggalkan stadion sebelum pertandingan usai. 3-0 skor untuk Malaysia tak berubah. Di Hotel istri saya mencari siaran televisi, tak ada satupun stasiun televisi lokal mengulangi siaran kemenangan Malaysia.
Sopir taksi (kali ini dari etnis Cina) yang mengantar kami dari Bukit Jalil ke Bukit Bintang tak tahu juga bahwa kami baru saja menjadi saksi kekalahan timnas Indonesia atas Malaysia. Dia pikir ada konser musik. Memang ada panggung besar di depan stadion yang saat itu di situ sedang digelar pertunjukan musik.

Ketika tahu bahwa ada pertandingan sepakbola, si sopir lekas mengabarkan lewat radio ke operator taksi, mengabarkan di Bukit Jalil akan banyak penumpang. Ya, 80 ribu penonton yang memenuhi stadion itu memang banyak. Ah, dasar sopir!

*
Senin pagi, saya membeli tiga koran lokal. The Star - koran berbahasa Inggris - memajang foto Safee Sali merayakan gol. Tapi, berita utama adalah larangan pemakaian lambang 1 Malaysia di Selangor. Berita politik.
New Straits Times - juga koran berbahasa Inggris - sama saja. Memajang foto Safee Sali tapi berita utama adalah berita kecelakaan kapal yang menewakan dua turis Singapura.

Hanya Harian Metro - yang ini berbahasa Melayu - membagi halaman utamanya dalam dua berita. Satu berita (memakan 2/3 halaman) berita utama dengan judul: Garuda Dibaham 3-0, didampingi foto Safee Sali yang sama dengan foto News Straits Time. Kedua koran ini memang satu grup, dan sepertinya hanya mengirim satu fotografer ke Bukit Jalil. Di sepertinya bagian halaman satu berita kecelakaan mobil menabrak pohon yang menewaskan empat nyawa!

Saya tak membeli Utusan -koran lain yang juga berbahasa Melayu -  tapi, di terminal bis Bukit Jalil saya lirik berita utamanya adalah kemenangan Malaysia. Saya pasang kuping, adakah pembicaraan tentang sepakbola jadi buah bibir? Nyaris tak ada. Petugas karcis di bis yang kami tumpangi dari KL ke Johor Baru bahkan tak tahu berapa skor kemenangan Malaysia. "Entahlah, dua kosong agaknya," katanya, sama sekali tak peduli, ia kehilangan satu tiket yang ternyata terlapis di empat tiket kami anak-beranak!

*

Kenapa prestasi  timnas Indonesia sangat menarik perhatian kita, menyita emosi kita, dan memanen dukungan begitu besarnya dari kita? Kenapa hal yang sama tak terjadi di Malaysia? Saya bukan ahli psikologi massa, saya bukan penganalisa gejala sosial. Saya - istri dan anak-anak saya -  adalah bagian dari massa di negeri ini yang tiba-tiba menemukan sesuatu dalam sepakbola. Apakah sesuatu itu?

Kita adalah bangsa yang sedang sakit. Sepakbola ternyata bisa menghilangkan rasa sakit itu, sementara. Ya, cuma sekadar menghilangkan, tapi tidak menyembuhkan. Sakit kita adalah sakit struktural.  Sudah lama kita tak bisa berbangga, kita tidak banyak punya hal yang sebenarnya bisa dibanggakan tapi segalanya tersia-siakan.

Pemerintah lamban menangani hal-hal krusial. Bencana alam datang silih berganti. Proses-proses politik bertele-tele dan menjemukan. Kasus-kasus besar tak jelas penyelesaiannya. Pengusaha menjadi politisi. Kepentingan-kepentingan politik bisa dibeli oleh politisi-pengusaha yang menggerakkan lembaga politik seperti menjalankan bisnis.

Penyelenggaraan kompetisi sepakbola kita juga tidak menarik, sebenarnya. Semrawut. Jadwal molor. Kerusuhan. Jumlah klub peserta kompetisi yang banyak membuat pemain lelah. Menyatukan klub galatama dan perserikatan sudah sejak lama dikritik. Ditambah lagi pengurus PSSI yang diketuai oleh orang yang pernah dua kali menjadi terpidana korupsi -  oke baiklah, saya mau bilang dengan tegas: dia koruptor! - dan dia adalah kader setia sebuah partai, dan dengan demikian enteng sekali dia membawa kepentingan politik ke dalam sepakbola. Ini saya kira yang membuat poster Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golkar bisa berkibar norak di tribun penonton Stadiun Bukit Jalil!

*

Dalam situasi itu, tiba-tiba timnas Indonesia menyeruak dengan prestasi. Semua lawan dikalahkan sampai ke final piala AFF. Bagaimana kegembiraan dan harapan itu tidak meninggi di hati kita? Kita tentu berharap Indonesia - yang sudah pernah tiga kali masuk final piala AFF - kali ini menang.  Tapi, saya kira, kegagalan lagi kali ini, adalah sakit yang semoga menyembuhkan. Kita tidak perlu terlalu banyak penghilang rasa sakit, karena dengan demikian kita lupa untuk menyembuhkan sakit kita. Kita perlu rasa sakit, sesakit-sakitnya, agar kita sadar bahwa kita sedang sakit. Dan kita harus sembuh.

Kalau mau memetik hikmah, setidaknya lewat sepakbola, penguasa di negeri ini mestinya  tahu, bahwa mereka seharusnya berprestasi dan mendorong siapa saja di negeri ini berprestasi, karena itulah yang bisa menyembuhkan sakit kita, bukan sekadar menghilangkan rasa sakit.  Lewat sepakbola, kita sadar ternyata hati kita mudah tergerak untuk mengenakan baju yang sama, menyetarakan diri, menyatukan dukungan!

Lewat sepakbola, kali ini mata kita terbuka lagi dari buta, dan melihat ternyata banyak sekali potensi negeri kita yang kita sia-siakan!  Lewat sepakbola, kita sadar bahwa kita kuat, dan ternyata kita yang sering dikecewakan, tak pernah berhenti menanam harapan.

Lewat sepakbola, kita bisa katakana kepada para cukong politik,bahwa ternyata  uang tak bisa membeli segalanya!  Lewat sepakbola, kita tahu bahwa kita rindu pada hal-hal yang membuat kita bersama bangga! Lewat sepakbola. ***

Tuesday, December 28, 2010

Gurindam Pertanyaan, Sekian Belas (3)

/3/
MENGERTIKAH kita, kesabaran adalah bertahan
tetap dalam pertanyaan, seraya yakin akan Jawaban?


Sadarkah kita, kemarahan adalah menghentikan
pertanyaan, dan memutuskan sembarang jawaban?


Tahukah kita, keteguhan adalah kita tak berhenti
pada jawaban, sampai benar bertemu Jawaban?

Melihatkah kita, banyak kita yang tak bertanya,
dan kita tak pernah tahu siapa kita sesungguhnya?

Mendengarkankah kita, tanya dari dalam diri kita,
atau kita bungkam  itu karena merisaukan kita?

Menyimakkah kita, Jawab datang dari banyak
mata-arah, Jawab yang menuju pada tanya kita?

Siapkah kita menerima, siagakah kita menyambut,
kuatkah kita menyatukan tanya dan datang Jawab?

Gurindam Pertanyaan, Sekian Belas (2)

/2/

TAHU kita, kita sesungguhnya hanyalah tanya?
Tahukah kita, jawab itu Dia yang Mahajawab? 

Kenapa kita harus lurus berjalan di jalan-Nya?
Bukankah tanya memang harus bertemu Jawab?

Tanya yang tak bertemu Jawab, bukankah itu
adalah tanya yang selamanya hanya akan sia-sia?

Tanya yang tak sampai pada Jawab, bukankah itu
adalah tanya hampa, tanya yang tak jadi tanya?

Jika kau bertanya, kenapa aku bertanya, aku akan
bertanya: aku pun boleh rindu pada Jawab, bukan?

Kau lihatkah, sajakku adalah sajak yang bertanya,
tanya yang menolak jawab, yang mengharap Jawab?

Gurindam Pertanyaan, Sekian Belas (1)

/1/

KENAPA gurindamku harus kujejali nasihat?
Kenapa juga harus kubebani dengan amanat?

Bolehkah kutulis pertanyaan-pertanyaan saja?
Kau, aku, tak harus upayakan perjawabannya?


Bukankah tanya, tak lebih buruk dari jawab?
Bukanlah tanya, membuka palang pemikiran?


Kita memang harus banyak bertanya, bukan?
Bukankah berpikir selalu dimulai dengan tanya?


Siapa berkata, kita jadi bodoh karena tanya?
Siapa tak percaya: tanya membuka minda kita?


Sajak yang baik, bukankah ia sajak yang tanya?
Sajak yang baik, tak memaksa jawab sendiri?

Saturday, December 18, 2010

Menyelami Kolam Sajak Sapardi

Maka yang terpapar dalam buku DukaMu Abadi, menurut Hasan, adalah upaya melihat ke dalam diri. Buku ini bisa dilihat sebagai titik kelahiran kembali puisi lirik Indonesia. Puisinya mengandung lirisisme dan memiliki kelebihan bukan karena kerumitan makna atau keunikan bentuknya, namun karena menggunakan bahasa yang jernih dan sederhana. 

:: Selengkapnya baca di sini! 

Monday, December 13, 2010

Saturday, December 11, 2010

Tamasya Puisi

1. Menulis puisi, bagi saya, kadang kuanggap sebagai tamasya bahasa. Tamasya yang sempurna adalah aku pergi ke tempat yang belum kukunjungi.

2. Atau bisa juga ke tempat lama, yang aduh kenapa ya aku tak pernah bosan ke sana? Tamasya bahasaku itu membuat bahasaku segar.

3. Kadang  tamasya itu tak sampai ke tempat yang dituju. Tapi, hm, untungnya perjalanannya saja kadang sudah amat menyenangkan.

4. Kadang di lokasi itu pun aku tak tahu apa sebenarnya yang sedang berwajah-wajahan dgn aku. Asing? Tak apa, biar asing asal baru.

5. Aku suka membayangkan daerah-daerah baru kemana aku akan mengajak bahasaku  tamasya. Untuk itu, aku perlu peta.
 
6. Pulang dari  tamasya yg seronok, bahasaku & aku mestinya tersegarkan kembali. Kembali kerja, bahasa melaksanakan tugas kebahasaannya.

7. Tamasya bahasa tdk cuma puisi yg sengaja. Di beberapa tempat tak terduga2 bisa kurasakan atmosfer  tamasya.

8. Kadang berziarah ke kenangan yg mati, kata yg mati, puisi yg mati bisa jadi  tamasya juga, lho. Dari situ bisa ketemu yg terhidupkan.

9. Dalam bahasa rutin, kata-kata kerja, cari nafkah, mengantor, atau beribadah. Bahasa bisa jenuh, itu sebabnya perlu santai

10. Aduh, bahasaku mulai lelah. Serial tweet ini bukan  tamasya. Jadi cukup sekian.
 






Beberapa Judul Buku yang Aku Yakin Engkau Pasti Belum Pernah Membacanya

1. Bagaimana Cara Bulan Membikin Bayangan dari Tubuh Babihutan di Sebuah Hutan yang Merasa Memiliki Seluruh Malam?

2. Apakah Sungai di Hutan Itu Memilih Sendiri dimana Dia Berbelok atau Ia Harus Bertanya pada Babihutan yang Sering Menyeberanginya?
 
3. Berapa Banyak Babihutan di Hutan Itu yang Pernah Sadar bahwa Selalu Ada Bayang-bayang yang Dibikin Bulan dari Tubuhnya?

4. Jika Babihutan Mati, Apakah Bayang-bayangnya Mati atau Tetap Ada dan Sembunyi pada Bayang-bayang Hutan?

5. Apakah Babihutan Pernah Mengira Bulan Itu adalah Babihutan yang Terjebak di Ketinggian Lalu Tertidur dan Tidurnya Menyala?

6. APAKAH Hutan yang padanya tak Ada Babihutan Masih Layak Disebut Hutan? Kenapa tak Ada Babibulan? Babimalam?

7. Bisakah Nanti Kalau Aku Mati dan Dikuburkan di Hutan, Maka dari Kuburku akan Keluar Seekor Babihutan yang Tak Berbayangan?






Beberapa Ujicoba Pengucapan dengan Kata Babihutan

1. MARI menyusu pada babihutan betina. Kita kira ia punya puting tak terhingga. Kita, kekal bayi-bayi, rakus dan manja. 

2. Bayi, bayi! Babi, babi! Kita bayibabi, bayihutan, babihutan! Kita berebut puting susu ibu sendiri: puting susu babi!

3. Kita bawa-bawa hutan, liar dalam kepala. Kita sembunyi di gelap pikiran. Menunggu saat mencuri! Kita malas, kita anak-anak babi . 

4. Oh, babipertiwi! Kusesali kau telah lahirkan kami: anak-anak yang kotor sejak dalam kandungan! Kami tak bisa lari dari hutan! 

Thursday, December 9, 2010

Monolog Senyum yang Sederhana













: Asep Sambodja

KITA dipertemukan oleh sepasang senyum:
senyum di wajahmu dan senyum di mataku.

Mataku mudah tertular senyum, apalagi jika
senyum itu seramah senyum wajahmu, senyum
yang kau kembangkan itu: senyum sore-sore,
sesenyum cahaya Taman Ismail Marzuki 


"Aku sedang berlatih teater," katamu - aku
tak menduga - itu jawabmu atas tanyaku 
"Kenapa engkau tersenyum, Kawan?"




KITA dipertemankan oleh sebait senyum,
senyum yang mengekal di sebuah buku puisi

Engkau penilik yang cermat, aku murid yang
bersemangat, mengumpulkan pekerjaan rumah:
beberapa bait puisi yang kutulis dengan senyum
sepanjang malam itu. 

Tahukah engkau? Aku sempat ingin mencontek 
pada Nanang Suryadi dan T.S. Pinang, teman 
dudukku sebangku di bangku khayal dan panjang ini, 
tapi senyummu dengan lembut menjewer telingaku.


"Jangan berakting di depanku, Hasan, aku ini 
sutradara dan pelatih di teater mahasiswa," katamu.


*


KEMATIAN itu? Ha ha ha, bisa-bisanya dia 
mengira bahwa dia bisa memisah kau dan aku

Sakitmu bukan lakon sederhana. Engkau bilang,
"sebentar lagi aku akan naik ke panggung yang
sebenarnya! Aku sedang berlatih menyembunyikan
pedih di balik senyum yang semanis-manisnya!"

Aku pasti akan datang bersama Medy Loekito, 
Anggoro Saronto, Tulus Wijanarko, Iwang Kurniawan, 
Randu Rini, Saut Situmorang, dan Cecil Mariani,  kami
menonton pentasmu : Monolog Senyum yang Sederhana. 











Wednesday, December 8, 2010

[ sajakanak ] Hai, Tuhan!

Hai, Tuhan, kita main, yuk! Kamu sekarang suka main apa?

Monday, December 6, 2010

Melangkah Aku Seperti Langkah Seorang Lelaki

ENGKAU menggagau tentang serentang pantai - dari
negeri yang pergi pada tahun yang panas - maka
pantailah Tubuhmu: menghampar - harum dan lapar!

Seperti halaman iklan minyak wangi, yang sobek dari
tebal eksemplar, majalah yang sesak gaung gambar!

Yang padamu terkapar, Aku, yang dilepaskan angin,
beliung besar, meliangi langit, lalu mengumpar liar

Aku mulai gerilya ini, menghadapi bayangan sendiri,
Mandi pedas pasirmu, kuarsa yang menggeranyami hati

Petang renta. Matahari melampui: kuning yang lampau
Sebentar lagi pecah dan berpijar, merah darah ular
Aku sudah berulang kali menengok pada angka digital,
Casio - kedap air, 200 meter - jam yang menjangkari

*

KALAU laut berteriak, maka kalimatnya adalah ombak!

Ia tak bawa nama siapa saja, sampai ia sebut teluk
Tempat singgah penyu tempayan, dari jauh perjalanan,
ribuan mil pilgrimaji, ke pasir ia dulu ditetaskan,
yang terkotori, bungkus makanan dan kaleng minuman

Sampah ini, seperti caci-maki yang tak dihendakkan!

*

Apa yang sudah kutemukan? Atau kuresahkan? Aku petani
terancam hama serangga, pasti tak bisa jaga, biji per
biji, galu-galu padi. Musim mengetam sebentar lagi.

Kalau nanti kusaksikan letak paksi ke arah paksina,
aku juga harus pulang ke sana, melipat peta, lalu
melangkah seperti langkah kaki seorang lelaki -
seperti lagu yang aku dengar dari Springteen - dan
menuliskan puisi yang aku takut pada bait-baitnya.




Saturday, December 4, 2010

Duka Dangdut

MEREKA berkumpul di kepalaku, mendangdutkan hari
Mereka bergoyang di kepalaku, mengdangdutkan diri
Mereka berteriak di kepalaku, mendangdutkan marah
Mereka berkelahi di kepalaku, mendangdutkan darah
Mereka berlari di kepalaku, mendangdutkan ketakutan
Mereka melompat di kepalaku, mendangdutkan harapan
Mereka bernyanyi di kepalaku, mendangdutkan hidup
Mereka terkapar di kepalaku, mendangdutkan mimpi
Mereka terbangun di kepalaku, mendangdutkan esok

Mereka mati di kepalaku, mengekalkan duka Dangdut  

Thursday, December 2, 2010

[ sajakanak ] Burung Hantu Tua yang Bijaksana

DI pohon oak, tinggal burung hantu tua bijaksana
Makin banyak ia melihat, makin sedikit ia bicara
Makin sedikit ia bicara, Makin banyak ia menyimak
Kenapa tak bisa seperti burung hantu tua yang bijak?

[ Sajakanak ] Menonton Sulap

oleh Robert Pottle

AKU mau pergi ke pertunjukan sulap
Aku harap pesulap itu punya tipuan-mata
Dengan adikku, kami pergi nonton bersama 
Supaya pesulap bisa menghilangkan dia

Kami Tak Dengar: Ketuk Penjual Pisau

MATAKU pintu ke gua besar, sarang kelelawar liar
Kalau kalian dengar hingar, itu bara yang membakar 
Jantung kami, seperti sesaji, agar malam lekas jadi 

Kami sepasang api, saling memanasi, berulangkali 
Terbakar, terkurung lingkar unggun yang kian besar 
Kami tidak bisa keluar, kami tidak ingin keluar!
 
Dinding kamar adalah asap yang beku mengendap
Mengedap, menolak cahaya dan suara, menyenyap,
Menggelap. Kami tak dengar ketuk: penjual pisau...