OLEH Batam TV di masa-masa kampanye pemilihan kampanye pemilihan gubernur yang baru lalu, saya diminta memandu acara dialog di stasiun itu. Bersama penyiar Usvim Paradila, saya punya kesempatan untuk bertanya, dan menilai langsung para kandidat gubernur dan wakilnya. Bukan hanya jawaban mereka, tapi cara mereka menjawab, juga cara mereka berbagi kesempatan untuk menjawab.
Pasangan Nyat-Kadir Zulbahri tampil pertama. Nyat datang terlambat. Ia hadir di sesi kedua, sejak acara ditayangkan langsung. Saya berusaha memaklumi. Dia pasti sibuk karena padatnya jadwal kampanye. Pasangan ini bicara soal anggaran yang prorakyat. Soal rencana Kepri Airline, dan rencana menjadikan Batam sebagai pasar bagi produk dari wilayah lain di provinsi ini. Tentu banyak yang tak terungkap dari acara bincang-bincang itu, karena terbatasnya waktu dan demi sopan-santun percakapan.
Calon Gubernur Aida Zulaika Ismeth tampil di minggu berikutnya. Saya sangat berharap dia tampil berdua dengan Eddy Wijaya, pasangannya di kursi wakil gubernur. Dalam pertemuan sebelumnya di kantor redaksi Batam pos, Aida juga datang sendiri. Waktu itu, saya sudah bertanya, bila datang lagi, saya ingin melihat mereka datang satu paket. Tapi, malam itu pun Aida datang sendiri. "Pak Eddy ke Natuna. Kami bagi tugas," kata Aida.
Alhasil, saya dan penonton Batam TV malam itu juga tidak bisa menilai bagaimana mereka berdua berbagi tugas. Saya harus memuji, betapa siapnya Aida malam itu dengan jawaban-jawaban. Tapi, dia ragu ketika menjawab pertanyaan, "nanti di kartu suara resmi siapa nama itu yang tercantum?" Biasa, ini kerepotan seorang istri. Aida tak yakin waktu itu apakah nama Ismeth tercantum atau tidak. Di waktu jeda, ajudannya mengingatkannya.
Minggu berikutnya saya memandu pasangan H Muhamad Sani dan H Muhamad Soerya Respationo. Mereka datang nyaris bersamaan. Dengan pakaian batik yang necis. Sayangnya waktu itu listrik mati. Siaran tertunda hampir satu jam, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk direkam saja. Mencari waktu pengganti untuk siaran langsung tak mungkin, karena jadwal mereka padat.
Buat saya, Soerya bukan tokoh yang asing. Hubungan kami sebagai wartawan dan narasumber terjalin sejak lama. Buat saya, di antara kandidat lain, dia punya nilai jual yang paling baik.
Kenapa? Dialah satu-satunya orang partai. Dia memimpin DPD PDI Perjuangan Provinsi Kepri. Dia pemilik perahu. Jika pemilu adalah pesta politik, maka dialah orang yang paling menikmati pesta itu.
Nyat, Zulbahri, dan Sani adalah birokrat. Mereka meniti karir dengan baik. Setelah pensiun Zulbahri berhasil masuk ke ranah politik lewat jalur Dewan Perwakilan Daerah.
Sani ambil cuti dari tugas sebagai wakil gubernur.
Nyat? Setelah melepas kursi Walikota Batam, ini adalah comeback-nya ke politik yang mengejutkan. Sempat dikabarkan susah dapat kendaraan partai, dia dengan cemerlang bisa melaju dengan Partai Demokrat.
Aida? Dia juga bukan pengurus inti partai, tapi soal popularitas dia pasti nomor satu. Dia sudah menyelesaikan satu masa bakti di DPD, dan menjalani kesempatan lima tahun berikutnya, dengan raupan suara tertinggi. Kemampuannya merangkul partai dalam jumlah besar membuktikan ketokohannya. Adapun Eddy Wijaya, dia adalah juga seorang birokrat yang beruntung.
Dengan sosok ringkas lima kontestan lain, maka sekali lagi Soerya harus dipandang lain. Karir politik dan posisi ketokohannya di masyarakat tak pernah surut. Dia sebenarnya sangat bisa maju sebagai Gubernur. Ini saya tanyakan di acara dialog malam itu.
"Ini soal sopan santun. Memang saya yang punya perahu, tapi Pak Sani adalah orang tua kita dan tuan rumah. Saya pendatang harus tahu diri," kata Soerya. Saya suka jawaban itu.
Sani malam itu tampak lelah. Dia terlalu dalam menyandar di kursi. Di jeda acara, ajudannya mengingatkannya.
Jika saya boleh menilai, pasangan yang tampil wajar adalah pasangan Sani-Surya. Saya bisa bayangkan kerja sama seperti apa yang kelak. Sani akan jadi pengambil keputusan yang hati-hati. Soerya akan jadi dinamisator dan katalisator. Sebagai pemilik perahu tentu posisi tawarnya kuat. Pasti, hubungan gubernur dan wakilnya akan berbeda dengan pola kerja antara Ismeth-Sani.
Kalau boleh berperumpamaan, Sani-Suryo lebih mirip pasangan SBY-Jusuf Kalla. Ismeth-Sani seperti SBY-Boediono. Maksud saya peran wakil gubernur akan sangat maksimal di tangan Soeryo. Dan ini harusnya baik.
Bagi Soerya, masuk ke wilayah birokrasi adalah tantangan baru. Dia matang sebagai politikus, dan tahu bagaimana menjalin hubungan legislatif-eksekutif. Dia berhasil menjadi "pendamai" OB-Pemko. Ingat, dia adalah Ketua DPRD Batam, pada periode lalu.
Maka, saya kira, jika Sani-Soerya menang, maka Soerya akan menjadi sosok yang banyak mewarnai dinamika perkembangan kawasan ini. Sani dengan keunggulan pengalaman panjangnya sebagai pamong akan mendapat dukungan dan pemikiran kuat, segar, dari Soerya.
Bagi PDI Perjuangan dan partai politik lain, kemenangan ini juga berarti pembuktian bahwa partai juga bisa melahirkan kader yang layak jadi pemimpin, tidak sekedar menjadi makelar suara, menjual perolehan suara kepada calon kepala daerah yang perlu kendaraan.***