"AKU akan mengajakmu menyusuri gang-gang kumuh,
tempat kami mengolah lempeng baja jadi senjata,"
katamu di suratmu, mengabarkan undangan itu padaku,
membalas suratku padamu.
Aku tak menemukan lagi rasa takut dalam kalimatmu,
padahal itulah yang membesarkanmu sejak di rahim ibu.
"Ayahku penembak jitu. Dia tewas dalam sebuah perang
antargang, dahinya ditembus peluru yang dijualnya sendiri,
senjata api yang dirakitnya sendiri, oleh penambak yang
dia ajari sendiri," katamu bercerita sedikit tentang ayahmu.
Sejak kepergian Ayahmu, ibumu bertahan dengan sebuah
senjata di bawah bantal, senjata peninggalan Ayahmu.
Kau sangat mengenal suara letusannya, sebab beberapa
kali ibumu harus menarik pelatuk picu, membunuh lelaki
yang ingin menyempurnakan kemenangan setelah
membunuh ayahmu. Kau sangat kenal bau mesiunya.
"Aku tak akan membawamu menziarahi makam ayahku,"
katamu, "karena aku sendiri pun tak tahu di mana itu."
*
KAU kini adalah pembuat senjata bermutu dan penembak
jitu. Mungkin itulah yang diinginkan mendiang ayahmu.
Bagimu, senjata itu seperti organ tubuhmu. Senjatamu tahu
kapan dan kepada siapa harus melepaskan peluru, seperti
ada syaraf yang menghubungkan dengan otak dan hatimu.
*
KE kotamu, aku datang dan ingin membeli senjata. Tadinya,
begitu. Tapi, kembali dari kotamu aku tak membawa apa-apa.
Bukannya aku lupa. Aku - teman lamamu ini - sebenarnya
hanya ingin bertemu engkau, dan membeli senjata untuk
tanda mata yang kelak kupajang di ruang tamu. Tapi,
aku ternyata tak banyak mengenal engkau, tak tahu
seluk-belum bisnismu. "Aku hanya menjual senjata yang
setidaknya pernah membunuh satu orang. Dan aku hanya
akan menjual senjata pada orang yang hendak membunuh
seseorang dengan senjata itu. Siapa yang kau ingin kau
bunuh dengan senjataku?" katamu, menerangkan azas-azas
bisnis senjatamu. Aku ternyata sungguh tak mengenal engkau.