Lihat aku, lihat,
diseret-seret bayang sendiri,
ke pucuk bukit.
Seperti digiring
menyalin nyali
mengaji dan menguji
rasa sakit lagi
Telah tajam sepi
terasah Sepi.
Tali besar di leher
bila kutentang
makin menggenting
bila kusentak
makin mencekik
O, betapa pengecut ini
tak setabah Ismail,
masih saja
sia-sia kuharap
lenguh tolol
seekor domba.
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Friday, November 28, 2008
Wednesday, November 26, 2008
Sajak Cinta Sederhana tentang Cinta yang Tak Sederhana
: Na, istriku
SEPERTI sepasang pengarang
kau dan aku masih juga suka mencitra cerita
dan setia pada nama
yang saling kita persebutkan
kau menyapaku sebagai Lelaki Pemuja Hujan
aku memanggilmu Perempuan Peneduh Beranda
Seperti kita
dua nama itu diperikatkan oleh cinta
yang bahkan mautpun enggan memisahkan
Syahdan, mereka pun amat mencintai hujan
Si Lelaki, berambut tak pernah tak basah
bermata sepeka pawang penujum cuaca
berkaki jantan dan menyimpan gaib taji
Ia telah masuki beribu kejadian hujan
Ia telah jelajah jejak hujan
dari kota-kota ke kota-kota
Ia telah petakan di langitnya: awan,
angin, dan mendung, dan kehendak hujan
yang tak tertebak.
Tetapi, yang ia tak pernah bosan
hanya melintas di depan beranda,
seperti berandamu itu, ketika itu
Si Perempuan seakan dipercemas oleh hujan
yang sebenarnya hanya gerimis
yang amat manis.
Dia Si Lelaki mungkin menunggu
tawaran untuk singgah
dari dia Si Perempuan
yang tiap kali berjalin pandang
terasa seperti jatuh kembang kamboja,
seperti patah cabang cempaka,
dan Si Lelaki tahu harus berbuat
apa: ia punguti kamboja itu,
agar basah tak singgah
di tubuh Si Perempuan,
agar dingin tak tempias ke hangat beranda
lalu dia gali dengan tangan sendiri
lubang di sudut halaman
dan ia tawarkan kebaikan, "mari kutanam
luka cempaka itu agar ia bertunasan
dan makin kurindukan wangi beranda ini."
*
DAN, seperti kita
dua nama itu diperikatkan oleh cinta
yang bahkan mautpun enggan memisahkan
Lalu, aku pun menyimak
cerita lain yang kali ini kau yang mereka-reka.
Si Lelaki dan Si Perempuan, bersama hujan
bertiga di beranda.
Hujan yang tanak bangkit dari keliaran langit
Hujan yang lunak lari dari keganasan cuaca
Hujan yang jinak ramah pada kelembutan
kuncup kamboja, pada putik cempaka.
Mereka bertiga berambut basah.
Meruah warna di kanvas meriah,
kuas menari menarik garis arkilik yang lincah.
Hujan itu ingin sekali
Si Lelaki segera memindahkannya
ke langit di bidang gambar itu.
Atau bila tidak pun,
hujan itu ingin sekali menajamkan diri lagi
di punggung Si Lelaki
Lalu menikam dan menanamkan diri
di luka-luka segaib pori-pori.
*
SEPERTI sepasang pengarang
kau dan aku seringkali juga terbawa dalam cerita
yang tak kita reka-reka.
Saat panas menyambar dari jantung api
di beranda hujan tepersia-sia sendiri,
mungkin ia iri, atau cemas
lalu gemas ia rontokkan
kamboja dan cempaka.
Ya, ia memang iri dan cemas
pada kita yang tiba-tiba beringas nakal
seperti kena demam yang seakan mau kekal
mana lagi mau peduli pada suhu
yang diterakan teriak termometer digital
pun tak mau takluk pada dosis tinggi
parasetamol, sirup teramat kental!
[sebagai hadiah ulang tahunmu, di 25 November-mu)
SEPERTI sepasang pengarang
kau dan aku masih juga suka mencitra cerita
dan setia pada nama
yang saling kita persebutkan
kau menyapaku sebagai Lelaki Pemuja Hujan
aku memanggilmu Perempuan Peneduh Beranda
Seperti kita
dua nama itu diperikatkan oleh cinta
yang bahkan mautpun enggan memisahkan
Syahdan, mereka pun amat mencintai hujan
Si Lelaki, berambut tak pernah tak basah
bermata sepeka pawang penujum cuaca
berkaki jantan dan menyimpan gaib taji
Ia telah masuki beribu kejadian hujan
Ia telah jelajah jejak hujan
dari kota-kota ke kota-kota
Ia telah petakan di langitnya: awan,
angin, dan mendung, dan kehendak hujan
yang tak tertebak.
Tetapi, yang ia tak pernah bosan
hanya melintas di depan beranda,
seperti berandamu itu, ketika itu
Si Perempuan seakan dipercemas oleh hujan
yang sebenarnya hanya gerimis
yang amat manis.
Dia Si Lelaki mungkin menunggu
tawaran untuk singgah
dari dia Si Perempuan
yang tiap kali berjalin pandang
terasa seperti jatuh kembang kamboja,
seperti patah cabang cempaka,
dan Si Lelaki tahu harus berbuat
apa: ia punguti kamboja itu,
agar basah tak singgah
di tubuh Si Perempuan,
agar dingin tak tempias ke hangat beranda
lalu dia gali dengan tangan sendiri
lubang di sudut halaman
dan ia tawarkan kebaikan, "mari kutanam
luka cempaka itu agar ia bertunasan
dan makin kurindukan wangi beranda ini."
*
DAN, seperti kita
dua nama itu diperikatkan oleh cinta
yang bahkan mautpun enggan memisahkan
Lalu, aku pun menyimak
cerita lain yang kali ini kau yang mereka-reka.
Si Lelaki dan Si Perempuan, bersama hujan
bertiga di beranda.
Hujan yang tanak bangkit dari keliaran langit
Hujan yang lunak lari dari keganasan cuaca
Hujan yang jinak ramah pada kelembutan
kuncup kamboja, pada putik cempaka.
Mereka bertiga berambut basah.
Meruah warna di kanvas meriah,
kuas menari menarik garis arkilik yang lincah.
Hujan itu ingin sekali
Si Lelaki segera memindahkannya
ke langit di bidang gambar itu.
Atau bila tidak pun,
hujan itu ingin sekali menajamkan diri lagi
di punggung Si Lelaki
Lalu menikam dan menanamkan diri
di luka-luka segaib pori-pori.
*
SEPERTI sepasang pengarang
kau dan aku seringkali juga terbawa dalam cerita
yang tak kita reka-reka.
Saat panas menyambar dari jantung api
di beranda hujan tepersia-sia sendiri,
mungkin ia iri, atau cemas
lalu gemas ia rontokkan
kamboja dan cempaka.
Ya, ia memang iri dan cemas
pada kita yang tiba-tiba beringas nakal
seperti kena demam yang seakan mau kekal
mana lagi mau peduli pada suhu
yang diterakan teriak termometer digital
pun tak mau takluk pada dosis tinggi
parasetamol, sirup teramat kental!
[sebagai hadiah ulang tahunmu, di 25 November-mu)
Monday, November 24, 2008
Friday, November 21, 2008
Mendung yang Kotor
: benz
mari singgah, sedakar lepas penat helm, dan
letakkan letih koper, pertahunan di jalur umur,
lalu kita tegakkan pandang pada tinggi menara,
"itu," kataku, "mendung yang kotor, bakal
ada hujan lumpur," kau menggeleng dan menatap
pada kunci motor. "Chevolusi, chevolusi," kudengar
seperti kata itu yang kau desiskan berkali-kali.
kau raih lagi setang motor, membanting ke arah
yang jauh menolak nyaman sangkar dan teduh sumur.
aku memetik ranting beringin, untuk bilah mengaji
lagi, kitab yang tak pernah bisa kita tamatkan...
udara tertinggal selepas kau tancap habis gas,
melaju ke arah yang jauh, aku kenal itu parfum,
lelaki yang tak meninggalkan jejak, kecuali
tumpah kopi di taplak, dan kering kembang tanjung.
mari singgah, sedakar lepas penat helm, dan
letakkan letih koper, pertahunan di jalur umur,
lalu kita tegakkan pandang pada tinggi menara,
"itu," kataku, "mendung yang kotor, bakal
ada hujan lumpur," kau menggeleng dan menatap
pada kunci motor. "Chevolusi, chevolusi," kudengar
seperti kata itu yang kau desiskan berkali-kali.
kau raih lagi setang motor, membanting ke arah
yang jauh menolak nyaman sangkar dan teduh sumur.
aku memetik ranting beringin, untuk bilah mengaji
lagi, kitab yang tak pernah bisa kita tamatkan...
udara tertinggal selepas kau tancap habis gas,
melaju ke arah yang jauh, aku kenal itu parfum,
lelaki yang tak meninggalkan jejak, kecuali
tumpah kopi di taplak, dan kering kembang tanjung.
Thursday, November 20, 2008
Mengeja Orgasmaya,Sebuah Tadarus Dari Orang Tak Saleh
Oleh: Abu Salman
Sebagai seorang penyuka dan penikmat puisi yang tak saleh alias seorang awam puisi. Yang tentu tak bisa kusuk dalam tadarus dan menafsir kitab puisi, maka bagi saya menikmati karya puisi itu seperti menempuh suatu perjalanan. Perjalanan dari kota ke kota. Perjalanan menelusur dari kata ke kata. Dari frasa ke frasa. Kadang seperti melaju di jalanan yang lempeng-lempeng saja tanpa kesan dan tanpa hambatan, terkadang dapat nemu berbagai menu rasa dari tangkapan indra yang terangsang oleh berbagai pemandangan dan peristiwa.
Selengkapnya baca di SINI
Sebagai seorang penyuka dan penikmat puisi yang tak saleh alias seorang awam puisi. Yang tentu tak bisa kusuk dalam tadarus dan menafsir kitab puisi, maka bagi saya menikmati karya puisi itu seperti menempuh suatu perjalanan. Perjalanan dari kota ke kota. Perjalanan menelusur dari kata ke kata. Dari frasa ke frasa. Kadang seperti melaju di jalanan yang lempeng-lempeng saja tanpa kesan dan tanpa hambatan, terkadang dapat nemu berbagai menu rasa dari tangkapan indra yang terangsang oleh berbagai pemandangan dan peristiwa.
Selengkapnya baca di SINI
Tuesday, November 18, 2008
Siklus Sirkus
: Benz, TSP
TAK ada lagi misteri itu sebenarnya
bila kau artikan dia sebagai rahasia
aku sudah berkali-kali datang jadi saksi
duduk di kursi majelis ini, di hadapan
mahkamah hakim yang lupa mengetuk palu
bisakah mereka buktikan bercak darah
di jemariku itu memercik dari lukamu?
bisakah mereka usut kemana ulur tambang
itu berujung? ke sumur di halaman penjaraku?
atau ke ujung tiang gantungan?
nasib seperti siklus pertunjukan sirkus,
hore, ada yang terampil memainkan nasib,
hore, ada yang ikhlas bertepuk tangan
nasib, pun seperti kepiting capit perisai
dia menggali hanya satu lubang di pantai
yang teramat lapang teramat jauh melandai
bukankah, telah runtuh tembok di kota kita
yang dulu begitu kukuh memisahkan aku yang
rindu dan engkau yang angkuh
ada pintu di sana, dijaga sepasukan tentara
yang menyodorkan formulir yang harus kau isi
dengan sedikit dusta dan selebihnya karanglah
cerita, tentang apa saja: buah semangka,
daun cincau, padang kerangka, jalan ranjau....
TAK ada lagi misteri itu sebenarnya
bila kau artikan dia sebagai rahasia
aku sudah berkali-kali datang jadi saksi
duduk di kursi majelis ini, di hadapan
mahkamah hakim yang lupa mengetuk palu
bisakah mereka buktikan bercak darah
di jemariku itu memercik dari lukamu?
bisakah mereka usut kemana ulur tambang
itu berujung? ke sumur di halaman penjaraku?
atau ke ujung tiang gantungan?
nasib seperti siklus pertunjukan sirkus,
hore, ada yang terampil memainkan nasib,
hore, ada yang ikhlas bertepuk tangan
nasib, pun seperti kepiting capit perisai
dia menggali hanya satu lubang di pantai
yang teramat lapang teramat jauh melandai
bukankah, telah runtuh tembok di kota kita
yang dulu begitu kukuh memisahkan aku yang
rindu dan engkau yang angkuh
ada pintu di sana, dijaga sepasukan tentara
yang menyodorkan formulir yang harus kau isi
dengan sedikit dusta dan selebihnya karanglah
cerita, tentang apa saja: buah semangka,
daun cincau, padang kerangka, jalan ranjau....
Monday, November 17, 2008
Proyek Poster
Saya sedang menggarap sebuah proyek nonpuisi, yakni membuat poster. Rasanya kok ada yang tak bisa disalurkan lewat puisi. Poster lebih tepat. Saya muak melihat banyak sekali poster-poster calon anggota legislatif di Batam. Ah, di kota Anda juga pasti demikian.
Tema poster berangkaian ini berangkat dari situ: MEREKA BIKIN SAYA MALU MELIHAT WAJAH SAYA SENDIRI.
Beberapa poster sudah beres:
POSTER # 01 - Saya Ingin Melihat Bagian Diri Saya Sendiri tapi Saya Tak Bisa Membuka Pintu Ini.
POSTER # 02 - Saya hanya Bisa Membeli Diri Saya Sendiri, Itupun karena Harganya Sangat Murah.
POSTER # 03 - Beginilah Nasibku: Recycle Body, Reuse Mind, Replace Soul.
Tema poster berangkaian ini berangkat dari situ: MEREKA BIKIN SAYA MALU MELIHAT WAJAH SAYA SENDIRI.
Beberapa poster sudah beres:
POSTER # 01 - Saya Ingin Melihat Bagian Diri Saya Sendiri tapi Saya Tak Bisa Membuka Pintu Ini.
POSTER # 02 - Saya hanya Bisa Membeli Diri Saya Sendiri, Itupun karena Harganya Sangat Murah.
POSTER # 03 - Beginilah Nasibku: Recycle Body, Reuse Mind, Replace Soul.
Diskusi Buku Puisi Afrizal "Teman-temanku dari Atap Bahasa"
Diskusi sastra
Jumat November 21, 2008,
Pukul 3:00pm - 6:00pm
di Cemara 6 Galeri,
Jl. HOS. Cokroaminoto No. 9-11
Menteng, Indonesia
Info Phone: 08561286005
Email: geger255@gmail.com
DescriptionTelah lewat dua dekade semenjak buku puisi pertama—penanda pemikiran Afrizal Malna memperkaya khazanah sastra di negeri ini. selama itu, puisi-puisi beserta karya-karya lain Afrizal memberikan kepada kita sebuah strategi untuk memandang dunia secara berbeda.
Pembaca dapat menemukan hadirnya obyek dan pengalaman menyehari yang ditata dengan strategi instalasi pada puisi Afrizal. Puisi Afrizal mengemban sebutan mesra puisi instalasi. Tetapi, instalasi Afrizal yang terkadang sukar dipecahkan itu, memberikan kesempatan untuk susastera yang tidak menyangkal pengalaman keseharian dan setia kepada diri.
Menyambut penerbitan kumpulan puisi yang terbaru berjudul “Teman-temanku dari Atap Bahasa”, Bale Sastra Kecapi berkeinginan membahas lebih lanjut karya-karya Afrizal, melihat bagaimana perkembangannya serta posisinya dalam kesusasteraan mutakhir Indonesia.
Pembicara:
Iwan Pirous (antropolog)
Nirwan Ahmad Arsuka (pengamat sastra)
Wicaksono Adi (pemerhati seni)
Moderator : Damhuri Muhammad
Demikianlah pemberitahuan ini kami buat. Atas perhatian Anda kami ucapkan banyak terima kasih.
Salam,
Geger Riyanto, Koordinator Bale Sastra Kecapi
Jumat November 21, 2008,
Pukul 3:00pm - 6:00pm
di Cemara 6 Galeri,
Jl. HOS. Cokroaminoto No. 9-11
Menteng, Indonesia
Info Phone: 08561286005
Email: geger255@gmail.com
DescriptionTelah lewat dua dekade semenjak buku puisi pertama—penanda pemikiran Afrizal Malna memperkaya khazanah sastra di negeri ini. selama itu, puisi-puisi beserta karya-karya lain Afrizal memberikan kepada kita sebuah strategi untuk memandang dunia secara berbeda.
Pembaca dapat menemukan hadirnya obyek dan pengalaman menyehari yang ditata dengan strategi instalasi pada puisi Afrizal. Puisi Afrizal mengemban sebutan mesra puisi instalasi. Tetapi, instalasi Afrizal yang terkadang sukar dipecahkan itu, memberikan kesempatan untuk susastera yang tidak menyangkal pengalaman keseharian dan setia kepada diri.
Menyambut penerbitan kumpulan puisi yang terbaru berjudul “Teman-temanku dari Atap Bahasa”, Bale Sastra Kecapi berkeinginan membahas lebih lanjut karya-karya Afrizal, melihat bagaimana perkembangannya serta posisinya dalam kesusasteraan mutakhir Indonesia.
Pembicara:
Iwan Pirous (antropolog)
Nirwan Ahmad Arsuka (pengamat sastra)
Wicaksono Adi (pemerhati seni)
Moderator : Damhuri Muhammad
Demikianlah pemberitahuan ini kami buat. Atas perhatian Anda kami ucapkan banyak terima kasih.
Salam,
Geger Riyanto, Koordinator Bale Sastra Kecapi
Siapakah Sebenarnya Kamu, Benz?
Penyair muda dari Yogya itu mengajak saya bermain. Dia kirim sepuluh kata dan kami menyajakkannya. Di blognya ia lebih dahulu menampilkan sajaknya. Padahal sudah kubilang, jangan buru-buru, kita ini pemburu. Baiklah, Benz. Ini sajakku.
Siapakah Sebenarnya Kamu
:Benz
AKU dan malam, kami saling menjaketkan,
aku lihat kamu ada di redup sebuah musala,
memang kami tak buru-buru, tapi kami
tak menyinggahimu, aku dan malam sedang
menelusuri kabel panjang: berisi arus
waktu dan alir kehidupan, tak kemana
berujung, tapi kemana-mana menyambung,
dan aku tahu, pasti juga ke alamat mu.
aku pernah juga melihatmu, hinggap di
bentang kabel itu. Letih sekali tampakmu.
seperti pelanggan tak taat pada rekening,
tagihan yang kau abaikan, takut pada
peringatan, nyaris sambungan diputuskan.
*
AKU dan malam, kami gelar karpet besar
aku berbaring dan kulihat kamu amat sibuk
di langit itu memalu paku, tempat nanti
aku mengantung lipatan kertas permintaan.
*
AKU suka bikin mangkuk dari tangan
lalu malam menumpahi dengan sisa cahaya
kalau aku tertidur, malam diam-diam
meninggalkan aku, tapi kami nanti bertemu
di banyak tempat, di lantai diskotik, di
karpet futsal, di tilam pasien gawat
darurat, di gelang nama bayi neonatus,
dan kulihat juga kau selalu ada di
mana-mana itu. Aku tak mau terlalu jauh
bertanya, siapakah sebenarnya kamu?
Siapakah Sebenarnya Kamu
:Benz
AKU dan malam, kami saling menjaketkan,
aku lihat kamu ada di redup sebuah musala,
memang kami tak buru-buru, tapi kami
tak menyinggahimu, aku dan malam sedang
menelusuri kabel panjang: berisi arus
waktu dan alir kehidupan, tak kemana
berujung, tapi kemana-mana menyambung,
dan aku tahu, pasti juga ke alamat mu.
aku pernah juga melihatmu, hinggap di
bentang kabel itu. Letih sekali tampakmu.
seperti pelanggan tak taat pada rekening,
tagihan yang kau abaikan, takut pada
peringatan, nyaris sambungan diputuskan.
*
AKU dan malam, kami gelar karpet besar
aku berbaring dan kulihat kamu amat sibuk
di langit itu memalu paku, tempat nanti
aku mengantung lipatan kertas permintaan.
*
AKU suka bikin mangkuk dari tangan
lalu malam menumpahi dengan sisa cahaya
kalau aku tertidur, malam diam-diam
meninggalkan aku, tapi kami nanti bertemu
di banyak tempat, di lantai diskotik, di
karpet futsal, di tilam pasien gawat
darurat, di gelang nama bayi neonatus,
dan kulihat juga kau selalu ada di
mana-mana itu. Aku tak mau terlalu jauh
bertanya, siapakah sebenarnya kamu?
Sunday, November 16, 2008
[Kuis # 003] Tuhan, Kau Buta Huruf ya?
Kau bertemu Tuhan, dan kamu bertanya dengan amat yakin, "Tuhan, Engkau buta huruf kan? Sebab, buat apa juga Kau tahu huruf-huruf yang cuma lambang itu, toh Kau sudah bisa membaca apa saja yang bahkan ketika masih ada dalam hati dan kepala, kau bisa membaca apa saja bahkan yang tak terlambangkan itu."
Pertanyaan:
Kira-kira, Tuhan akan menjawab apa, ya?
Silakan berimajinasi. Ada hadiah dua buku "ORGASMAYA" plus tanda tangan asli penyairnya, yaitu saya.
Tulis Akhir Postingan Anda
Pertanyaan:
Kira-kira, Tuhan akan menjawab apa, ya?
Silakan berimajinasi. Ada hadiah dua buku "ORGASMAYA" plus tanda tangan asli penyairnya, yaitu saya.
Tulis Akhir Postingan Anda
Komentar Lain untuk Naskah TELIMPUH
Sajak-sajak Hasan Aspahani ibarat sebuah gerbong kereta yang mengangkut arwah penumpang yang telah lama mati. Arwah penumpang itu ditangisi oleh banyak orang karena ia merupakan nenek moyang, pemangku segala tradisi dan kearifan. Dengan tertatih-tatih, gerbong sajak HAH mengangkut kenangan itu untuk dijelmakan lagi dalam sajak Indonesia terkini. Sebagian arwah hidup kembali, sebagian yang lain sekarat, dan ada yang mati terlindas gerigi kereta. Akan tetapi, arwah yang hidup itu, menyita perhatian karena penampakannya yang unik dan segar.
Syaifuddin Gani
Syaifuddin Gani
Saturday, November 15, 2008
Klinik Sakit Hati
AKU dan kamu
sama terbaring
getah darah belum kering
pada sepasang mataluka yang juling
Kalau ada pembezuk datang
kita usir dengan maki hamuk
dan kutuk,
"Enyah kamu, busuk!
Berseberang ranjang,
cuma sepelemparan parang jalang,
sesekali kita saling tebas,
putus selang infus!
Lalu,
entah kamu
entah aku
yang lebih dahulu
menjeritkan nama siapa saja
sebab yang datang pasti dia juga
perawat tua
berlidah belah,
tak bosan-bosannya dia
mengucap nasihat bercabang arah!
Di klinik tak bersubsidi ini
hanya ada dia, untuk kita sepasang
pasien sakit hati nyaris mati
Perawat tua,
hitam-hitam-hitam seragamnya
ia suntikkan
ekstsrak sariluka
dari seekor hewan besar
dan lapar
yang akhirnya takluk
pada perburuan
mereka
yang kabur dari penjara negara
setelah mencuri senjata
dan selembar atlas rahasia
Setiap malam, kita bertaruh:
Kau bilang,
perawat tua itu adalah
malaikat sabar
yang masih betah menyamar,
kalau tiba waktunya
diam-diam ia gunting putus
kabel nafas kita.
Aku bilang, tidak,
nyawa kita itu,
Tuhan sendiri yang akan
datang mencabut,
sekaligus
ia mengajari kita
hakikatulmaut!
sama terbaring
getah darah belum kering
pada sepasang mataluka yang juling
Kalau ada pembezuk datang
kita usir dengan maki hamuk
dan kutuk,
"Enyah kamu, busuk!
Berseberang ranjang,
cuma sepelemparan parang jalang,
sesekali kita saling tebas,
putus selang infus!
Lalu,
entah kamu
entah aku
yang lebih dahulu
menjeritkan nama siapa saja
sebab yang datang pasti dia juga
perawat tua
berlidah belah,
tak bosan-bosannya dia
mengucap nasihat bercabang arah!
Di klinik tak bersubsidi ini
hanya ada dia, untuk kita sepasang
pasien sakit hati nyaris mati
Perawat tua,
hitam-hitam-hitam seragamnya
ia suntikkan
ekstsrak sariluka
dari seekor hewan besar
dan lapar
yang akhirnya takluk
pada perburuan
mereka
yang kabur dari penjara negara
setelah mencuri senjata
dan selembar atlas rahasia
Setiap malam, kita bertaruh:
Kau bilang,
perawat tua itu adalah
malaikat sabar
yang masih betah menyamar,
kalau tiba waktunya
diam-diam ia gunting putus
kabel nafas kita.
Aku bilang, tidak,
nyawa kita itu,
Tuhan sendiri yang akan
datang mencabut,
sekaligus
ia mengajari kita
hakikatulmaut!
Komentar untuk "Lelaki yang Dicintai Bidadari"
Oleh Dony P Herwanto
Satu hal yang perlu digaris bawahi, yakni kumpulan puisi Lelaki yang Dicintai Bidadari sangat nikmat dibaca sambil minum kopi di sore hari dan sesekali mendengarkan cericit burung dan desau angin, dan sesekali pula memejamkan mata serta menguatkan indera pendengaran untuk mendengarkan bebisik kata yang disampaikan kata kepada angin yang menjadikannya senja.
Satu hal yang perlu digaris bawahi, yakni kumpulan puisi Lelaki yang Dicintai Bidadari sangat nikmat dibaca sambil minum kopi di sore hari dan sesekali mendengarkan cericit burung dan desau angin, dan sesekali pula memejamkan mata serta menguatkan indera pendengaran untuk mendengarkan bebisik kata yang disampaikan kata kepada angin yang menjadikannya senja.
Aku tak bilang: Tidak Juga Kau!
INILAH hasil polling itu:
a. Setuju sekali. Kapan, dong? 74 (70%)
b. Memangnya milis begitu itu manjur buat belajar puisi? 7 (6%)
c. Hmm, boleh. Tapi jangan seperti milis lain yang sudah ada. 20 (19%)
d. Buat apa? Tak ada gunanya. 4 (3%)
Dengan 105 voter, selama sebulan voting, akhirnya 70 persen (74 voter) mendukung rencana saya menghidupkan lagi milis SEJUTA-PUISI. Saya kira itu alasan yang sangat cukup untuk segera memulai lagi.
Mari, kita belajar lagi, kita mulai lagi! Bergabunglah, lewat pintu di sidebar blog ini.
a. Setuju sekali. Kapan, dong? 74 (70%)
b. Memangnya milis begitu itu manjur buat belajar puisi? 7 (6%)
c. Hmm, boleh. Tapi jangan seperti milis lain yang sudah ada. 20 (19%)
d. Buat apa? Tak ada gunanya. 4 (3%)
Dengan 105 voter, selama sebulan voting, akhirnya 70 persen (74 voter) mendukung rencana saya menghidupkan lagi milis SEJUTA-PUISI. Saya kira itu alasan yang sangat cukup untuk segera memulai lagi.
Mari, kita belajar lagi, kita mulai lagi! Bergabunglah, lewat pintu di sidebar blog ini.
Friday, November 14, 2008
Huruf Itu Bilang
AKU bertemu Huruf yang tidak pernah
ada dalam abjad yang diajarkan guruku
dulu di sekolah dasar kelas satu.
Huruf itu bilang, "Apa kau mau cari
guru untuk mengenalkan aku padamu?
Aku terkenang putih kapur tulis dan
hitam papan tulis, lalu seperti ada
tangan menulis Huruf itu di situ.
Aku seperti tahu tangan siapakah itu.
Huruf itu bilang, "Mau kau menulis aku?
Agar kau bisa sendiri membaca dirimu?"
ada dalam abjad yang diajarkan guruku
dulu di sekolah dasar kelas satu.
Huruf itu bilang, "Apa kau mau cari
guru untuk mengenalkan aku padamu?
Aku terkenang putih kapur tulis dan
hitam papan tulis, lalu seperti ada
tangan menulis Huruf itu di situ.
Aku seperti tahu tangan siapakah itu.
Huruf itu bilang, "Mau kau menulis aku?
Agar kau bisa sendiri membaca dirimu?"
Thursday, November 13, 2008
Komentar Lain untuk Naskah Telimpuh
Produktivitas menulis puisi tergantung dari seberapa rajin menjumuti fenomena di sekitar kita --Apapun dan kapanpun. Tergantung dari sebarapa besar energi yang dihimpun untuk meruang dalam waktu. Hasan Aspahani adalah pemulung. Dia rajin memunguti apa saja yang ada di sekitarnya. Tapi, karena dia juga insinyur bahasa, maka fakta yang dipulung setiap hari (mungkin juga setiap detik) dia daur ulang menjadi kata yang kemudian dirangkainya menjadi kalimat puitis. Jadi, Telimpuh ini lahir dari laboratorium seorang pemulung fenomena yang fenomenal.
Samsudin Adlawi
Jurnalis dan Penggubah Syair
Banyuwangi, Jawa Timur
Puisi yang bagus adalah puisi yang hidup.Penuturan bahasa indah yang membuat pembaca larut di setiap bait-baitnya,ikut terlibat dalam setiap perasaan yang ditulis penulis. Penulis pun kaya akan imajinasi cerdas dan sumber inspirasi. Komik menjadi inspirasi rangkaian bait puisi yang indah dan penuh makna, penuturan istilah-istilah terasa lebih hidup dalam kamus empat kata, dan pelajaran arti kehidupan dapat kita dapatkan pada malaikat gawangnya.
Taurina Mulyati
Samsudin Adlawi
Jurnalis dan Penggubah Syair
Banyuwangi, Jawa Timur
Puisi yang bagus adalah puisi yang hidup.Penuturan bahasa indah yang membuat pembaca larut di setiap bait-baitnya,ikut terlibat dalam setiap perasaan yang ditulis penulis. Penulis pun kaya akan imajinasi cerdas dan sumber inspirasi. Komik menjadi inspirasi rangkaian bait puisi yang indah dan penuh makna, penuturan istilah-istilah terasa lebih hidup dalam kamus empat kata, dan pelajaran arti kehidupan dapat kita dapatkan pada malaikat gawangnya.
Taurina Mulyati
Resitasi: Sungai yang Mengaliri Negeri Kami
Apa? "Malam ke Kelekatu" Malam Baca Puisi Rida K Liamsi
Dimana? Gedung Aisyah Sulaiman, Tanjungpinang
Bilamana? Sabtu, 8 November 2008
Saya membacakan sajak INI . Selamat menikmati.
[Tadarus Puisi # 34] Elegi Tichborne, Sajak Menjelang Eksekusi Mati
Elegi Tichborne
Chidiock Tichborne (1558–1586)
Kobar masa mudaku tak ada hanya beku salju
Pesta gembiraku tak ada hanya sesaji nestapa,
Huma jagungku tak ada hanya padang gulma
Dan segala pahalaku tak ada hanya harap sia-sia;
Hari berganti, dan tak jua kulihat matahari,
Dan saat kutahu hidup, tuntaslah kehidupanku.
Kisahku kau dengar tapi tak kemana kau ceritakan,
Buahku jatuh, tapi masih menghijau daun-daunku,
Usia mudaku habis tapi tak jua aku menua,
Aku lihat dunia tapi tak sesiapa ada melihatku;
Benangku putus tapi belum juga ia tergulungkan
Dan saat kutahu hidup, tuntaslah kehidupanku.
Aku cari mautku dan kutemukan di rahimku
aku cari kehidupan dan ternyata itu keteduhan ,
Kutapaki anak tangga dunia dan aku tahu itu kuburku,
Dan kini aku mati, dan kini aku tak lagi apa-apa;
Gelasku penuh, dan kini gelasku jauh berlari,
Dan saat kutahu hidup, tuntaslah kehidupanku.
Tiga stanza di atas adalah sajak terakhir Chidiock (Charles) Tichborne (1558–1586) yang ia tulis di malam dalam tahanan di Tower of London, sebelum ia dihukum mati. Sajak itu ia ia kirimkan sebagai surat tujukan kepada istrinya, Agnes. Sajak di atas selain termahsyur dengan judul "On The Eve of His Execution" juga dikenal dengan judul "Tichborne's Elegy", atau "My Prime of Youth is but a Frost of Cares".
Tichborne yang lahir di Southampton, dari orangtua beragama Katolik Roma, adalah penyair dan konspirator. Kata terakhir disandangkan padanya karena ia merancang pembunuhan atas Ratu Elizabeth I.
Sang Ratu semula memperbolehkan pemeluk Katolisisme menjalankan keyakinannya. Tetapi ketika ada komunikasi yang putus dengan Keuskupan akibat dukungan Sang Ratu terhadap ajaran Kristen Protestan, maka sekali lagi ajaran Katolik dilarang di Inggris. Tichborne dan ayahnya ditangkap.
Tichborne kemudian ditahan-lepaskan tanpa pengadilan. Tapi, penjara jadi langganannya. Masa itu, di Inggris, sekularisme memang belum lagi datang memisahkan urusan negara dan agama. Tak heran bila pada bulan Juni tahun 1586, Tichborne bersepakat dengan sebuah plot rencana pembubuhan atas Ratu Elizabeth dan menggantikannya dengan Ratu Mary dari Scotlandia yang beragama Katolik yang memang menunggu giliran berikutnya untuk naik tahta.
Pada tanggal 20 September 1586, Tichborne dieksekusi bersama kerabat perencana pembunuhan atas Ratu: Anthony Babington, John Ballard, dan empat konsspirator lainnya. Isi perut mereka dikeluarkan saat mereka masih lagi bernafas, lalu mereka dipertontonkan di St Giles Field, London. Begitulah cara penguasa kala itu menyebarkan teror dan membangkitkan efek jera. Tujuh konspirator menyusul dihukum serupa, meski kemudian Ratu sedikit melunak: perutnya dibelah dan diburaikan setelah sang terhukum nyaris mati di tiang gantungan. ***
Wednesday, November 12, 2008
Juru Tembak di Negeri Kami
dan di negeri kami para juru tembak adalah prajurit buta,
dan si terhukum adalah lelaki takut hidup pun takut mati
dan penyair adalah orang yang membacakan sajak terakhir
tentang peluru yang mahir melacak arah ke detak jantung
para penyair itu, kelak akan jadi bisu, tak ada peluru
dalam sajaknya, tak ada mesiu dalam selongsong penanya.
dan si terhukum adalah lelaki takut hidup pun takut mati
dan penyair adalah orang yang membacakan sajak terakhir
tentang peluru yang mahir melacak arah ke detak jantung
para penyair itu, kelak akan jadi bisu, tak ada peluru
dalam sajaknya, tak ada mesiu dalam selongsong penanya.
Tuesday, November 11, 2008
Permohonan
kecupkan saja lagi pada pedih lidahku
serat sari dari daging mangga bibirmu
agar tak sesaat aku sesati sepi mimpi,
ragi pagi, sisa sayat ragu semalam tadi
serat sari dari daging mangga bibirmu
agar tak sesaat aku sesati sepi mimpi,
ragi pagi, sisa sayat ragu semalam tadi
Monday, November 10, 2008
Tuesday, November 4, 2008
Yang Bergetar dan yang Melingkar
: Dari Sebuah Sex Shop di Bugis Junction
LEKAS kamu catat saja harga kelamin palsu di
kedai perkakas seks itu, lalu cepat berlalu,
(sebab dilarang menyentuh, dilarang ambil foto)
Vagina 500 dolar - (bonus alat penggetar)
Penis 450 dolar - (bisa bergerak melingkar)
mata uang Singapura, kurs sedang menggila.
Kamu mau iseng bertanya: kenapa yang berpenggetar
lebih berharga daripada yang bergerak melingkar?
Tak ada kaulihat birahi di mata sempit gadis
berpaha bengkoang, tak juga di dada ringannya,
pun tak ada di sepupu perutnya. "Mungkin itulah
satu-satunya yang tak dijual di kedai seks ini,"
katamu (dengan bibir bergetar, lidah melingkar).
Tapi, apa kamu mau belanja? Kurs sedang menggila!
\
LEKAS kamu catat saja harga kelamin palsu di
kedai perkakas seks itu, lalu cepat berlalu,
(sebab dilarang menyentuh, dilarang ambil foto)
Vagina 500 dolar - (bonus alat penggetar)
Penis 450 dolar - (bisa bergerak melingkar)
mata uang Singapura, kurs sedang menggila.
Kamu mau iseng bertanya: kenapa yang berpenggetar
lebih berharga daripada yang bergerak melingkar?
Tak ada kaulihat birahi di mata sempit gadis
berpaha bengkoang, tak juga di dada ringannya,
pun tak ada di sepupu perutnya. "Mungkin itulah
satu-satunya yang tak dijual di kedai seks ini,"
katamu (dengan bibir bergetar, lidah melingkar).
Tapi, apa kamu mau belanja? Kurs sedang menggila!
\
Ook Nugroho Menimbang "Orgasmaya"
Oleh Ook Nugroho
Tentulah butuh kearifan khusus bagaimana menggabungkan dua jenis dunia yang bergerak bertolak belakang itu—jurnalisme yang mensyaratkan “kesegeraan” dan dunia puisi yang meminta kedalaman, dan itu tentunya antara lain berarti adanya “perlambatan” tempo—menjadi sebuah sintesa yang padu. Penjelajahan ke banyak ihwal itu membawa HAH ke banyak eksperimen bentuk dan gaya pengucapan sajak, yang tidak selamanya bisa ia menangkan.
Tentulah butuh kearifan khusus bagaimana menggabungkan dua jenis dunia yang bergerak bertolak belakang itu—jurnalisme yang mensyaratkan “kesegeraan” dan dunia puisi yang meminta kedalaman, dan itu tentunya antara lain berarti adanya “perlambatan” tempo—menjadi sebuah sintesa yang padu. Penjelajahan ke banyak ihwal itu membawa HAH ke banyak eksperimen bentuk dan gaya pengucapan sajak, yang tidak selamanya bisa ia menangkan.
Yang Mengapung dan Tenggelam di Matamu
: Pada peta bundar Singapore Flyer
KAMU tidak bergegas, ini kali, agar kamera
sempat buka mata lensa, mempermainkan rana,
menangkap lekas dan lengkap, lingkar lanskap.
Tunggu, apa yang mengapung di matamu itu?
Dari tinggian yang sebentar yang sementara,
semua dapat kaubaca: apa ada yang tak bisa?
Republik ini sebuah plaza, tempat pedagang
menggelar sembarang barang dan jual jasa,
seperti dulu dirancang lelaki Inggris Raya,
namanya tertinggal di jalan dan pusat kota.
Kamu siapa nama? Kamu tanya dua lelaki muda,
sepasang gay melancong jauh dari Polandia.
Kauarahkan zoom ke telungkup tempurung raksasa,
itukah taman pesiar terbuka? Beretalase talam
talas, mempertunjukkan suara sara sandiwara?
Ini bukan disney-dream-land atau lakon bangsawan.
Lagi pula buat apa juga dibedakan? Ini panggung
permainan tak akan bisa lagi dihentikan. Lari.
Lari. Kejar. Kejar. Beli. Beli. Bayar. Bayar.
Tunggu, apa itu yang tenggelam di matamu?
KAMU tidak bergegas, ini kali, agar kamera
sempat buka mata lensa, mempermainkan rana,
menangkap lekas dan lengkap, lingkar lanskap.
Tunggu, apa yang mengapung di matamu itu?
Dari tinggian yang sebentar yang sementara,
semua dapat kaubaca: apa ada yang tak bisa?
Republik ini sebuah plaza, tempat pedagang
menggelar sembarang barang dan jual jasa,
seperti dulu dirancang lelaki Inggris Raya,
namanya tertinggal di jalan dan pusat kota.
Kamu siapa nama? Kamu tanya dua lelaki muda,
sepasang gay melancong jauh dari Polandia.
Kauarahkan zoom ke telungkup tempurung raksasa,
itukah taman pesiar terbuka? Beretalase talam
talas, mempertunjukkan suara sara sandiwara?
Ini bukan disney-dream-land atau lakon bangsawan.
Lagi pula buat apa juga dibedakan? Ini panggung
permainan tak akan bisa lagi dihentikan. Lari.
Lari. Kejar. Kejar. Beli. Beli. Bayar. Bayar.
Tunggu, apa itu yang tenggelam di matamu?
Sunday, November 2, 2008
90 Kata dan Sejarah Kota Talak Tiga
: Sebelum Meninggalkan Harbourfront, Singapura
DI kutubkhanah itu, aku tak singgah memetik buahbuku,
kau kitab telanjang, halaman sejengkal, huruf julang.
Datang sejak Senin, di pucuk bulan, aku duduk berdebar
di kursi bis turis, panjang hari pesiar, setir diputar
lelaki malaya tua yang separo pasrah, setengah sabar.
Aku lekas-lekas membaca, bekas getar dan getah mata.
Ah, makin lebat sangka, berjuntai berat batang nangka,
sebelum tiba, pada kisah 90 kata, sejarah talak tiga.
DI kutubkhanah itu, aku tak singgah memetik buahbuku,
kau kitab telanjang, halaman sejengkal, huruf julang.
Datang sejak Senin, di pucuk bulan, aku duduk berdebar
di kursi bis turis, panjang hari pesiar, setir diputar
lelaki malaya tua yang separo pasrah, setengah sabar.
Aku lekas-lekas membaca, bekas getar dan getah mata.
Ah, makin lebat sangka, berjuntai berat batang nangka,
sebelum tiba, pada kisah 90 kata, sejarah talak tiga.
Subscribe to:
Posts (Atom)