BULANNYA tak pernah ada padanya, tak pernah diam
pada kalendernya, tak pernah sabit atau purnama,
tak pernah menanggali hari-hari dengan angka-angka.
Bulannya seperti nasibnya: nasib yang selalu puasa.
Dia dan bulannya pernah saling berjanji, akan bertemu
di sebuah azan, pada suatu hari. "Kita akan berbuka
diri bersama; menanam benih-benih kurma yang kita pungut
dari musala ke musala, yang kita curi waktu salatnya."
Lama dia belajar mengerti dan menikmati puasa: rindu
pada bulannya. Bulan idaman yang belum datang juga.
Dia masih meneruskan puasa yang panjang dan lama:
puasa bertemu bulannya, sampai seribu bulan lamanya.
WAKTU datang bulan puasa, bulannya diam-diam tiba.
Menciptakan pertemuan yang tak pernah ia duga-duga.
"Maaf, Anda ini siapa?" katanya sambil menyiangi gulma
di kebun kurma. ""Saya cuma puasa yang sedang belajar
jadi bulan. Anda sendiri puasa-puasa begini sedang apa?"
"Saya menunggu puasa bulan saya sempurna. Dan
kutanam sendiri benih-benih kurma sambil menanti
bulan saya memenuhi janjinya berbuka bersama."
"Sudah berbuahkah?" tanya bulannya. "Sudah," jawabnya,
"Buahnya manis, seperti rasa rindu pada bulanku. Buahnya
lebat, cukup untuk berbuka bersama seribu bulan lamanya."