Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Friday, December 30, 2005
[KUTIPAN] Rumit Versus Kebosanan
SEGALANYA memang rumit, kalau tidak, maka kehidupan dan puisi dan semua hal lainnya akan jadi sebuah kebosanan.
* Wallace Stevens (1879–1955), penyair Amerika.
* Wallace Stevens (1879–1955), penyair Amerika.
[KUTIPAN] Puisi adalah Kerangka Hidup
PUISI bukan hanya mimpi dan visi; puisi adalah kerangka arsitektur hidup kita. Puisi menghamparkan fondasi bagi masa depan perubahan, jembatan menyeberangi ketakutan kita terhadap apa yang tak pernah ada sebelumnya.
* Audre Lorde (1934–1992), penyair Afroamerika, Poetry is Not a Luxury, esai yang terbit pertama kali dalam Chrysalis, No 3 (1977).
* Audre Lorde (1934–1992), penyair Afroamerika, Poetry is Not a Luxury, esai yang terbit pertama kali dalam Chrysalis, No 3 (1977).
Wednesday, December 28, 2005
Tiga Tips Mudah Memahami Maut
1. Kita adalah burung-burung kecil terbang
menghinggapi nasib dari cabang ke cabang.
2. Hidup dan dunia adalah pohon rindang,
di teduhnya malaikat kecil bermain riang.
3. Siapa iseng bawa senapan terkokang?
Ada beberapa helai bulu jatuh melayang.
menghinggapi nasib dari cabang ke cabang.
2. Hidup dan dunia adalah pohon rindang,
di teduhnya malaikat kecil bermain riang.
3. Siapa iseng bawa senapan terkokang?
Ada beberapa helai bulu jatuh melayang.
Kamus Empat Kata Berhuruf Awal I
igal: lalu kita menari binal, dengan getar yang tak tunggal,
     dalam gerak yang janggal, bagi berahi yang makin gatal.
     "Siapa yang menyelusupkan nafsu ke tubuhmu?" setelah
     saling memasuki, kita bertukar kata kunci, tak sempat
     mengatur duga, apalagi mengulur tunda...
ilu: dan jauh di ujung, guha paling relung, jiwa hampir hampa,
     kau dengar ada sinandung? "Itu, nada-nada sembilu,
     menusuk pilu, ngilu pada hatiku, terasa hingga ke hulumu."
ilai: maka gelak itu kian memekak, tawa itu ha ha berjuta ha ha,
     tapi kita tak sempat mendengar, debur itu semakin hingar.
indarus: kita senantiasa cuma hewan aduan yang kalah,
     pada pertarungan culas yang tak menyediakan kemenangan.
     mereka bertaruh, kita bertukar peluh. mereka bertepuk,
     kita semakin rasuk. Mereka tertawa, kita baru sadar,
     "ah, betapa bodohnya, betapa bodohnya..."
     dalam gerak yang janggal, bagi berahi yang makin gatal.
     "Siapa yang menyelusupkan nafsu ke tubuhmu?" setelah
     saling memasuki, kita bertukar kata kunci, tak sempat
     mengatur duga, apalagi mengulur tunda...
ilu: dan jauh di ujung, guha paling relung, jiwa hampir hampa,
     kau dengar ada sinandung? "Itu, nada-nada sembilu,
     menusuk pilu, ngilu pada hatiku, terasa hingga ke hulumu."
ilai: maka gelak itu kian memekak, tawa itu ha ha berjuta ha ha,
     tapi kita tak sempat mendengar, debur itu semakin hingar.
indarus: kita senantiasa cuma hewan aduan yang kalah,
     pada pertarungan culas yang tak menyediakan kemenangan.
     mereka bertaruh, kita bertukar peluh. mereka bertepuk,
     kita semakin rasuk. Mereka tertawa, kita baru sadar,
     "ah, betapa bodohnya, betapa bodohnya..."
Tiga Pesan dariku yang Harus Kau
Sampaikan Kalau Kau Bertemu Dia
: Joko Pinurbo
1. Katakan padanya bahwa aku sudah punya mandi,
walaupun belum ketemu kamar mandi. Dulu mandiku
rusuh dan resah, takut kehabisan air. Sekarang mandiku
gundah dan gelisah takut kehilangan badan. Katakan
padanya, aku penasaran dengan kamar mandinya yang
wah mewah, dan mandinya yang ah meriah. Kapan-kapan
aku ingin bertamu, dan ingin duet mandi bersamanya.
2. Sampaikan padanya, lekas selesaikan itu peta. Makin
banyak saja sekarang pelancong kere seperti saya, yang suka
keluyuran, eh kelayapan, yang suka pura-pura singgah di
rumah ibadah, padahal cuma ingin menyelinap ke kamar mandi,
kemudian di sana menuntaskan semedi, berdoa lalu pergi
setelah merasa berhasil mengatasi daya tipu atas diri sendiri.
3. Bilang padanya bahwa aku ini dulu tukang jahit celana
yang pernah menjadi kolektor burung, dan seringkali ragu,
"Saya ini boneka manusia atau manusia boneka..." Oh, ya,
jangan lupa bilang juga padanya aku sedang asyik mengejar
cita-cita menjadi penjaga makam, penduga malam. Nanti,
kita boleh nongkrong sepuasnya di kuburanku.
Sampaikan Kalau Kau Bertemu Dia
: Joko Pinurbo
1. Katakan padanya bahwa aku sudah punya mandi,
walaupun belum ketemu kamar mandi. Dulu mandiku
rusuh dan resah, takut kehabisan air. Sekarang mandiku
gundah dan gelisah takut kehilangan badan. Katakan
padanya, aku penasaran dengan kamar mandinya yang
wah mewah, dan mandinya yang ah meriah. Kapan-kapan
aku ingin bertamu, dan ingin duet mandi bersamanya.
2. Sampaikan padanya, lekas selesaikan itu peta. Makin
banyak saja sekarang pelancong kere seperti saya, yang suka
keluyuran, eh kelayapan, yang suka pura-pura singgah di
rumah ibadah, padahal cuma ingin menyelinap ke kamar mandi,
kemudian di sana menuntaskan semedi, berdoa lalu pergi
setelah merasa berhasil mengatasi daya tipu atas diri sendiri.
3. Bilang padanya bahwa aku ini dulu tukang jahit celana
yang pernah menjadi kolektor burung, dan seringkali ragu,
"Saya ini boneka manusia atau manusia boneka..." Oh, ya,
jangan lupa bilang juga padanya aku sedang asyik mengejar
cita-cita menjadi penjaga makam, penduga malam. Nanti,
kita boleh nongkrong sepuasnya di kuburanku.
Tuesday, December 27, 2005
Tiga Hal yang akan Aku Lakukan di Akhir Tahun
1. Aku akan merobek lembar bulan terakhir pada
kalender, dan menyulapnya jadi kaos,buat tidur
yang nyaman di awal tahun depan. Dan bermimpi
basah: Januari yang hujan, kita ini kan sebuah
angka tanggal menunggu dicoret dengan sesal dan
kesal, kita cuma tawanan dengan sederet dakwaan
dan nomor sel tercantum di kaos sebagai pengganti
alamat dan nama yang tak ingin diingat.
2. Aku akan mencari engkau, mengajakmu menginap
barang semalam, di hari terakhir tahun yang lekas
jadi silam. "Biarkan saja, mereka bergesa, kita
di tahun ini saja." Waktu tak pernah jadi rumah,
memang. Tapi, dialah yang sabar menumbuhkan gulma,
di tubuh kita. Aku sudah lama lupa, pada tanganku
yang tangan petani, pada kakiku yang kaki petani,
pada siul, caping, keringat,dan matahari pagi yang
petani. Ya, aku akan mencari engkau, merayumu untuk
menginap barang semalam. "Aku ingin menyiangi gulma,
semak itu, di tubuhmu, sudah lama ada..."
3. Aku akan mencuci sepatu. Semacam wudhu. Aku
akan mencuci baju. Di kota ini, ada tempat
terbaik yang mengenali semua nama debu, semacam
toko binatu. Aku akan jalan-jalan sebentar
mencari penggalan peta yang tak pernah bisa
kutebak, jalan itu berbelok ke mana sebenarnya?
Ada agen perjalanan wisata yang menawarkan jasa,
"Paket murah, semalam di dunia fana". Mahal? Tentu.
Dan masalah nomor satunya: tak ada potongan harga.
kalender, dan menyulapnya jadi kaos,buat tidur
yang nyaman di awal tahun depan. Dan bermimpi
basah: Januari yang hujan, kita ini kan sebuah
angka tanggal menunggu dicoret dengan sesal dan
kesal, kita cuma tawanan dengan sederet dakwaan
dan nomor sel tercantum di kaos sebagai pengganti
alamat dan nama yang tak ingin diingat.
2. Aku akan mencari engkau, mengajakmu menginap
barang semalam, di hari terakhir tahun yang lekas
jadi silam. "Biarkan saja, mereka bergesa, kita
di tahun ini saja." Waktu tak pernah jadi rumah,
memang. Tapi, dialah yang sabar menumbuhkan gulma,
di tubuh kita. Aku sudah lama lupa, pada tanganku
yang tangan petani, pada kakiku yang kaki petani,
pada siul, caping, keringat,dan matahari pagi yang
petani. Ya, aku akan mencari engkau, merayumu untuk
menginap barang semalam. "Aku ingin menyiangi gulma,
semak itu, di tubuhmu, sudah lama ada..."
3. Aku akan mencuci sepatu. Semacam wudhu. Aku
akan mencuci baju. Di kota ini, ada tempat
terbaik yang mengenali semua nama debu, semacam
toko binatu. Aku akan jalan-jalan sebentar
mencari penggalan peta yang tak pernah bisa
kutebak, jalan itu berbelok ke mana sebenarnya?
Ada agen perjalanan wisata yang menawarkan jasa,
"Paket murah, semalam di dunia fana". Mahal? Tentu.
Dan masalah nomor satunya: tak ada potongan harga.
[KUTIPAN] Tardji Tidak Coba-coba Asal Jadi
SEORANG Sutardji tidak "ngawur" saja dalam membuat sajak-sajaknya yang lain daripada yang lain. Dia tidak coba-coba asal jadi, lantas kebetulan menemukan. Dia sudah menguasai bentuk-bentuk formal yang sedang berlaku. Dan dia tidak puas. Dan dia mencoba menembus cara baru. Pandangan-pandangan Sutardji terhadap situasi kesusastraan pada zamannya cukup menunjukkan bahwa dia berwawasan dan tahu masalahnya.
[Profesor Drs Jacob Sumardjo, Menulis Cerita Pendek, Pustaka Latifah, 2004]
[Profesor Drs Jacob Sumardjo, Menulis Cerita Pendek, Pustaka Latifah, 2004]
Ode bagi Laut
Sajak Pablo Neruda
Di sini
Mengepung pulau-pulau.
Di sanalah laut.
Tapi apakah laut?
Dialah yang senantiasa mengalir.
Menyebut ya,
Lalu tidak,
Lalu tidak lagi,
Dan tidak,
Menyebut ya,
Dalam warna biru
dalam percik
amuk ombak,
lalu menyebut tidak,
dan sekali lagi tidak.
Ia yang tak bisa diam.
Ia yang gugup gagap
Namaku adalah laut.
Ia yang menampar keras karang
Dan ketika karang tak teryakinkan,
Laut membentur karang
Dan menenggelamkan karang
Dan mencekik karang dengan kecupan-kecupan.
Dengan tujuh lidah hijau
lidahnya tujuh anjing hijau,
atau lidahnya tujuh harimau hijau,
atau lidahnya lautan hijau,
Menghantam dadanya,
Menyebut gagap namanya.
Oh Lautan,
Inilah namamu.
Oh sahabat samudera,
Jangan buang waktu
Atau airmu akan
jadi amat kecewa
sebaiknya tolonglah kami saja.
Kami nelayan kecil,
Kami lelaki dari pantai,
Kami lapar dan kedinginan
dan engkaulah lawan kami.
Jangan menghantam terlalu keras,
Jangan memekik terlalu nyaring,
Bukalah peti-peti harta hijaumu,
Letakkan hadiah dari perak di tangan kami.
Beri kami, hari ini, ikan segar kami setiap hari.
Di sini
Mengepung pulau-pulau.
Di sanalah laut.
Tapi apakah laut?
Dialah yang senantiasa mengalir.
Menyebut ya,
Lalu tidak,
Lalu tidak lagi,
Dan tidak,
Menyebut ya,
Dalam warna biru
dalam percik
amuk ombak,
lalu menyebut tidak,
dan sekali lagi tidak.
Ia yang tak bisa diam.
Ia yang gugup gagap
Namaku adalah laut.
Ia yang menampar keras karang
Dan ketika karang tak teryakinkan,
Laut membentur karang
Dan menenggelamkan karang
Dan mencekik karang dengan kecupan-kecupan.
Dengan tujuh lidah hijau
lidahnya tujuh anjing hijau,
atau lidahnya tujuh harimau hijau,
atau lidahnya lautan hijau,
Menghantam dadanya,
Menyebut gagap namanya.
Oh Lautan,
Inilah namamu.
Oh sahabat samudera,
Jangan buang waktu
Atau airmu akan
jadi amat kecewa
sebaiknya tolonglah kami saja.
Kami nelayan kecil,
Kami lelaki dari pantai,
Kami lapar dan kedinginan
dan engkaulah lawan kami.
Jangan menghantam terlalu keras,
Jangan memekik terlalu nyaring,
Bukalah peti-peti harta hijaumu,
Letakkan hadiah dari perak di tangan kami.
Beri kami, hari ini, ikan segar kami setiap hari.
Sunday, December 25, 2005
Utang Terjamahan
SETIAP penulis kreatif berutang kepada negerinya untuk menerjemahkan sedikitnya satu karya dari negeri asing, yaitu karya yang bersesuaian dengan bakat dan tempramennya, dan itu sekaligus untuk memperkaya perbendaharaan dan wawasan sastranya sendiri.
* Horst Frenz dalam Esai The Art of Translation, kutipan itu berasal dari korespondensinya dengan Andre Gide.
* Horst Frenz dalam Esai The Art of Translation, kutipan itu berasal dari korespondensinya dengan Andre Gide.
Jembatan
Sajak Octavio Paz
Antara saat ini dan kini,
antara inilah aku dan itulah engkau,
ada jembatan kata.
Ketika kau seberangi ia
engkau menuju diri sendiri:
dan dunia terhubungkan
lalu menyatu bagai utas cincin.
Dari tebing ke seberangan,
ada senantiasa
tubuh mengulurkan:
selekuk bianglala.
Aku akan tidur di lindung lengkungnya.
Antara saat ini dan kini,
antara inilah aku dan itulah engkau,
ada jembatan kata.
Ketika kau seberangi ia
engkau menuju diri sendiri:
dan dunia terhubungkan
lalu menyatu bagai utas cincin.
Dari tebing ke seberangan,
ada senantiasa
tubuh mengulurkan:
selekuk bianglala.
Aku akan tidur di lindung lengkungnya.
Pencuri Tidur
Syair Rabindranath Tagore
Tidur di mata bayi, siapa yang mencuri? Aku tahu, mesti.
Ada kendi terdekap di pinggang, ibu pergi mengambil air
tak jauh di luar desa.
Hari telah malam. Anak-anak kehabisan waktu bermain;
itik di kolam tak lagi meriuhkan suara.
Bocah gembala berbaring tertidur di bawah bayang-bayang
rindang pohon banyan.
Burung bangau berdiri muram masih di sana ia di rawa-rawa
di dekat rerumpun pohon mangga.
Sementara itulah, datang sang penuri-tidur, dan merampas
lekas tidur dari mata bayi, lalu berembus pergi.
Ketika ibu telah pulang dia lihat bayinya menjelajah empat
penjuru rumah, semua ruang ia jamah.
Tidr di mata bayi, siapa yang mencuri? Aku tahu, mesti.
Aku harus temukan dia segera, kemudian merantainya.
Aku mesti mencari ke gua-gua gelap, di mana arus kecil
menetes-netes di batu-batu besar dan batu mengerut.
Aku mesti mencari di teduh rumpun bakula yang melenakan,
di mana merpati bersuara di sudutnya, dan gelang kaki peri,
berdentingan dalam sunyi malam yang penuh bintang.
Di malam hari, aku mengintip di bisik senyap hutan bambu,
di mana kunang-kunang menuntaskan cahaya, dan aku
akan bertanya pada semua makhluk yang terjumpa, " Siapa
yang bisa beri aku tahu, di mana tinggalnya pencuri tidur itu?
Harus aku beri pelajaran dia, kalau nanti bisa tertangkap dia!
Akan kubongkar sarangnya dan kucari di mana dia timbun
semua tidur yang telah dia curi.
Aku akan rampas semuanya, dan kubawa pulang ke rumah.
Aku akan ikat saja dua sayapnya, dan tinggalkan dia di tepi
sungai, dan biarkan saja dia bermain dengan pancing batang
bulu di antara arus sungai dan bunga lili air.
Ketika hari pasar berakhir di malam hari, anak-anak desa
duduk di pangkuan ibunya, dan riuh suara burung malam
seakan mengancam:
"Tidur siapakah yang akan kau curi sekarang?"
Tidur di mata bayi, siapa yang mencuri? Aku tahu, mesti.
Ada kendi terdekap di pinggang, ibu pergi mengambil air
tak jauh di luar desa.
Hari telah malam. Anak-anak kehabisan waktu bermain;
itik di kolam tak lagi meriuhkan suara.
Bocah gembala berbaring tertidur di bawah bayang-bayang
rindang pohon banyan.
Burung bangau berdiri muram masih di sana ia di rawa-rawa
di dekat rerumpun pohon mangga.
Sementara itulah, datang sang penuri-tidur, dan merampas
lekas tidur dari mata bayi, lalu berembus pergi.
Ketika ibu telah pulang dia lihat bayinya menjelajah empat
penjuru rumah, semua ruang ia jamah.
Tidr di mata bayi, siapa yang mencuri? Aku tahu, mesti.
Aku harus temukan dia segera, kemudian merantainya.
Aku mesti mencari ke gua-gua gelap, di mana arus kecil
menetes-netes di batu-batu besar dan batu mengerut.
Aku mesti mencari di teduh rumpun bakula yang melenakan,
di mana merpati bersuara di sudutnya, dan gelang kaki peri,
berdentingan dalam sunyi malam yang penuh bintang.
Di malam hari, aku mengintip di bisik senyap hutan bambu,
di mana kunang-kunang menuntaskan cahaya, dan aku
akan bertanya pada semua makhluk yang terjumpa, " Siapa
yang bisa beri aku tahu, di mana tinggalnya pencuri tidur itu?
Harus aku beri pelajaran dia, kalau nanti bisa tertangkap dia!
Akan kubongkar sarangnya dan kucari di mana dia timbun
semua tidur yang telah dia curi.
Aku akan rampas semuanya, dan kubawa pulang ke rumah.
Aku akan ikat saja dua sayapnya, dan tinggalkan dia di tepi
sungai, dan biarkan saja dia bermain dengan pancing batang
bulu di antara arus sungai dan bunga lili air.
Ketika hari pasar berakhir di malam hari, anak-anak desa
duduk di pangkuan ibunya, dan riuh suara burung malam
seakan mengancam:
"Tidur siapakah yang akan kau curi sekarang?"
Kawan Imbangan
Sajak Octavio Paz
Di tubuku engkau mencari pegunungan
bagi matahari yang terkubur di hutannya.
di tubuhmu aku mencari perahu
menetes tepat di pertengahan malam.
Di tubuku engkau mencari pegunungan
bagi matahari yang terkubur di hutannya.
di tubuhmu aku mencari perahu
menetes tepat di pertengahan malam.
Friday, December 23, 2005
Tugas Penyair: Merusak Definisi Puisi
KETIKA ada definisi puisi yang paling sempurna, maka penyair akan segera bisa membuktikan dimana salahnya dengan karya yang menentang definisi itu.
* Henry David Thoreau (1817–1862), filsuf, pengarang Amerika.
* Henry David Thoreau (1817–1862), filsuf, pengarang Amerika.
Jiwa yang Mencari
SUMBER puisi adalah jiwa yang mencari kelengkapan.
* Muriel Rukeyser (1913–1980), U.S. poet. The Life of Poetry, ch. 13 (1949).
* Muriel Rukeyser (1913–1980), U.S. poet. The Life of Poetry, ch. 13 (1949).
Hidup Lebih Berisi
SAYA menulis puisi agar hidup saya lebih penuh terisi.
* Judith Rodriguez (lahir 1936), penyair Australia.
* Judith Rodriguez (lahir 1936), penyair Australia.
Tuesday, December 20, 2005
Kamus Empat Kata Berhuruf Awal G
galas: bukan jauh jarak yang menakutkan, bukan? Tapi
        seberat apa kau buat beban, di pundak, dan tak ada
        yang hendak diletak, tak ada yang boleh kau serak.
        Perjalanan sendiri telah kau mulai sejak kaki bergerak,
        Sejak nafas disentak. Sejak kau ukur seberapa tinggikah puncak.
        Jadi bukan jauh jarah yang menakutkan, bukan?
galias: kau belum sampai, ini seperti mulai yang lagi dimulai,
        ada perahu bertiang tiga, ada samudera seluas tujuh wasangka,
        kau belum sampai, pelabuhan ramai memang membuai,
        rumah dikenang rumah dijelang, diantar badai ke badai,
gancang: ada yang mesti lekas kau buat tuntas, sebelum
        tanganmu tak lagi tangkas, sebelum langkah tinggal kulai,
        sebelum nafas sisa sengal, ada yang harus segera kau
        bikin selesai, sebelum waktu habis mengukur umur.
galir: lalu tinggal sisa hari yang cair, kau duduk mengenang
        semua kenang, bentang petang amat lapang, semerbak gelak,
        kau lihat sepasang sepatu tua di rak, jaket koyak, topi lecak,
        "Lihat..." kau tunjukkan tongkat kayu ke kaki langit.
        seberat apa kau buat beban, di pundak, dan tak ada
        yang hendak diletak, tak ada yang boleh kau serak.
        Perjalanan sendiri telah kau mulai sejak kaki bergerak,
        Sejak nafas disentak. Sejak kau ukur seberapa tinggikah puncak.
        Jadi bukan jauh jarah yang menakutkan, bukan?
galias: kau belum sampai, ini seperti mulai yang lagi dimulai,
        ada perahu bertiang tiga, ada samudera seluas tujuh wasangka,
        kau belum sampai, pelabuhan ramai memang membuai,
        rumah dikenang rumah dijelang, diantar badai ke badai,
gancang: ada yang mesti lekas kau buat tuntas, sebelum
        tanganmu tak lagi tangkas, sebelum langkah tinggal kulai,
        sebelum nafas sisa sengal, ada yang harus segera kau
        bikin selesai, sebelum waktu habis mengukur umur.
galir: lalu tinggal sisa hari yang cair, kau duduk mengenang
        semua kenang, bentang petang amat lapang, semerbak gelak,
        kau lihat sepasang sepatu tua di rak, jaket koyak, topi lecak,
        "Lihat..." kau tunjukkan tongkat kayu ke kaki langit.
Manusia Salju
Sajak Wallace Stevens
Seseorang harus ada musim dingin di benaknya
agar bisa memberi tabik pada kabut dan cabang
pohon pinus yang mengejang kaku oleh salju
Dan seseorang pernah lama dalam gigil dingin
agar sempat menatap juniperus bersasak es,
rumput-rumput sprus berkerlip di kejauhan
dari matahari Januari; dan tak kau renungkan
nestapa pada suara-suara hembus angin,
pada suara-suara dedaunan yang ranggas,
Manakah suara dari daratan, penuh dengan
angin yang sama, yang berhembus pada
tempat telanjang yang juga sama
Bagi si penyimak, yang mendengarkan salju,
dan, bukan pada dirinya sendiri, menatap
takada yang ada di sana dan itulah yang takada.
Seseorang harus ada musim dingin di benaknya
agar bisa memberi tabik pada kabut dan cabang
pohon pinus yang mengejang kaku oleh salju
Dan seseorang pernah lama dalam gigil dingin
agar sempat menatap juniperus bersasak es,
rumput-rumput sprus berkerlip di kejauhan
dari matahari Januari; dan tak kau renungkan
nestapa pada suara-suara hembus angin,
pada suara-suara dedaunan yang ranggas,
Manakah suara dari daratan, penuh dengan
angin yang sama, yang berhembus pada
tempat telanjang yang juga sama
Bagi si penyimak, yang mendengarkan salju,
dan, bukan pada dirinya sendiri, menatap
takada yang ada di sana dan itulah yang takada.
Tujuh Gurindam Sajak
Gurindam Pasal yang Pertama: Sajak Kata
Ketika kau tuliskan sajak-sajak suram,
ketika itu pula mata kata memejam.
Apabila tak kau tulis sebait pun sajak,
ada kata yang diam-diam hendak berteriak.
Saat kau lahirkan sajak sebait,
sejak itu kata mengenal jerit sakit.
Walau tak datang sajak yang kau undang,
jangan kau usir kata asing yang datang.
Kau sembunyikan di mana jejak sajakmu?
selalu ada kata rindu memaksa bertemu.
Ada sajak yang kau tuangkan ke gelas,
siapakah yang mereguk kata hingga tandas?
Jika kau paksa juga menulis sajak,
kata memang tiba, tapi makna jauh bertolak.
Jangan ajari sajakmu mengucap dusta,
sebab mulutmu akan dibungkam kata-kata.
Biarkan sajakmu dicela dicaci dinista,
karena maki cuma kata yang cemburu buta.
Di mana kau simpan sajak terbaik?
di hati, lalu biarkan kata mengucap tabik.
Pernahkan sajak meminta lebih darinya?
kata berkata: ah apalah, aku cuma kata...
Gurindam Pasal yang Kedua: Kamus Kata
Siapa kata yang tahan diam dalam kamus bahasa,
cuma kata hilang, yang ditemukan oleh lain kata.
Adakah kata yang bertahan di luar kamus kata,
Ya, dia kata yang menyebut fasih siapa dirinya.
Buat apa mencari kata dalam kamus yang rimba,
ke dalam sajak paling bijak, jejak kata baka tertera.
Kamus bukan samudera, juga bukan luas angkasa,
kamus cuma peta, menuntun pemburu melacak kata.
Jadilah pemburu yang membebaskan kata-kata,
Jadilah penakluk kamus, pengejar batas bahasa.
Di manakah rumah paling nyaman bagi kata?
Pada sajak, bukan kamus, bukan pada bicara.
Gurindam Pasal yang Ketiga: Jejak Sajak
Ketika kau bertanya-tanya apakah yang sajak,
ketika itu pula kau telah banyak hilang jejak.
Dalam sajak-sajak, kau mesti terus jauh melacak,
hanya itu jalan, agar kau dan sajakmu bertemu jejak.
Mulailah sajakmu dari apa yang terbaca pada jejak,
jika tak kau akan kehilangan keduanya: sajak dan jejak.
Telusuri saja jejak kata, ikuti saja jejak sajak,
keduanya membawamu ke bahasa yang puncak.
Kau yang tak tahu kata, tapi ingin mencapai sajak,
kelak hanya membekaskan jejak-jejak yang bengak.
Kau yang tahu kata, tapi jauh meningalkan sajak,
kelak hanya akan ditinggal kata, tak juga berjejak.
Gurindam Pasal yang Keempat: Kata Makna
Kenapa kau takut hilang jejak di dalam sajak,
bukankah hakikat sajak adalah jauh melacak?
Kenapa kau takut sajakmu kehabisan kata-kata,
bukankah hakikat sajak adalah kata yang mencipta?
Kenapa sajak kau jejali kata, kau bebani makna?
sajak itu meleluasakan kata, meluaskan makna
Sejak mulai bicara, kau ucapkan jutaan kata,
kenapa tak sebait pun sajak ingin kau cipta?
Gurindam Pasal yang Kelima: Sepi Sajak
Jejak sunyi dalam sajak, kenapa selalu terbaca?
sebab sajak: penggema sepi yang tak ingin bicara.
Hanya di jalan sepikah sajak mau melintas lalu,
tak, ia hanya ingin kau mendengar bisik dirimu.
Sajak mencipta sunyi atau sunyi merahimkan sajak?
Apa saja, tapi dalam sunyi sajak ada nyaring teriak.
Lalu kenapa tak berdiam saja dan sebut itu sajak?
Diamlah saja. Sajak tak pernah minta disebut sajak
Gurindam Pasal yang Keenam: Cinta Sajak
Penghasut besar bagi lahir sajak ialah cinta,
kau mesti pecahkan dia, dapatkan inti sepinya.
Jangan menulis sajak cinta, ketika kau rasa cinta,
yang kau dapatkan hanya sajak penuh pura-pura.
Hingga cinta cukup berjarak, sajakmu tahan saja,
Meski dalam cinta, sajak datang amat ramahnya.
Cinta membenci ada jarak, cinta memusuhi sepi,
jarak menciptakan cukup sepi, sajak menemu diri.
Tapi kenapakah telah begitu banyak ditulis sajak cinta,
tak lihatkah, mereka lahir dari cemas yang teramat ada.
Tapi kenapakah masih saja ditulis sajak-sajak cinta,
tak apa, asal sajak cintamu tak lahir dari cinta itu saja.
Gurindam Pasal yang Ketujuh: Sajak Siapa
Untuk siapakah sebenarnya sajak kau cipta?
sia-sia jika kau tak menulisnya untuk sajak saja.
Kepada siapa bisa kau berikan sajak-sajakmu?
Sajak perlu dibela, beri ia pada yang tahu.
Ada penyelinap dalam sajak yang seolah sajak,
Ah, malanglah, ia tak akan mampu jauh bertolak.
Adakah sajak yang kau sebut sesungguh sajak?
sajak hidup dalam kau, kau hidup dalam sajak.
Siapakah kau yang terus rindu mencari sajak,
kau yang menemu diri tapi masih merasa tak berjejak.
Ketika kau tuliskan sajak-sajak suram,
ketika itu pula mata kata memejam.
Apabila tak kau tulis sebait pun sajak,
ada kata yang diam-diam hendak berteriak.
Saat kau lahirkan sajak sebait,
sejak itu kata mengenal jerit sakit.
Walau tak datang sajak yang kau undang,
jangan kau usir kata asing yang datang.
Kau sembunyikan di mana jejak sajakmu?
selalu ada kata rindu memaksa bertemu.
Ada sajak yang kau tuangkan ke gelas,
siapakah yang mereguk kata hingga tandas?
Jika kau paksa juga menulis sajak,
kata memang tiba, tapi makna jauh bertolak.
Jangan ajari sajakmu mengucap dusta,
sebab mulutmu akan dibungkam kata-kata.
Biarkan sajakmu dicela dicaci dinista,
karena maki cuma kata yang cemburu buta.
Di mana kau simpan sajak terbaik?
di hati, lalu biarkan kata mengucap tabik.
Pernahkan sajak meminta lebih darinya?
kata berkata: ah apalah, aku cuma kata...
Gurindam Pasal yang Kedua: Kamus Kata
Siapa kata yang tahan diam dalam kamus bahasa,
cuma kata hilang, yang ditemukan oleh lain kata.
Adakah kata yang bertahan di luar kamus kata,
Ya, dia kata yang menyebut fasih siapa dirinya.
Buat apa mencari kata dalam kamus yang rimba,
ke dalam sajak paling bijak, jejak kata baka tertera.
Kamus bukan samudera, juga bukan luas angkasa,
kamus cuma peta, menuntun pemburu melacak kata.
Jadilah pemburu yang membebaskan kata-kata,
Jadilah penakluk kamus, pengejar batas bahasa.
Di manakah rumah paling nyaman bagi kata?
Pada sajak, bukan kamus, bukan pada bicara.
Gurindam Pasal yang Ketiga: Jejak Sajak
Ketika kau bertanya-tanya apakah yang sajak,
ketika itu pula kau telah banyak hilang jejak.
Dalam sajak-sajak, kau mesti terus jauh melacak,
hanya itu jalan, agar kau dan sajakmu bertemu jejak.
Mulailah sajakmu dari apa yang terbaca pada jejak,
jika tak kau akan kehilangan keduanya: sajak dan jejak.
Telusuri saja jejak kata, ikuti saja jejak sajak,
keduanya membawamu ke bahasa yang puncak.
Kau yang tak tahu kata, tapi ingin mencapai sajak,
kelak hanya membekaskan jejak-jejak yang bengak.
Kau yang tahu kata, tapi jauh meningalkan sajak,
kelak hanya akan ditinggal kata, tak juga berjejak.
Gurindam Pasal yang Keempat: Kata Makna
Kenapa kau takut hilang jejak di dalam sajak,
bukankah hakikat sajak adalah jauh melacak?
Kenapa kau takut sajakmu kehabisan kata-kata,
bukankah hakikat sajak adalah kata yang mencipta?
Kenapa sajak kau jejali kata, kau bebani makna?
sajak itu meleluasakan kata, meluaskan makna
Sejak mulai bicara, kau ucapkan jutaan kata,
kenapa tak sebait pun sajak ingin kau cipta?
Gurindam Pasal yang Kelima: Sepi Sajak
Jejak sunyi dalam sajak, kenapa selalu terbaca?
sebab sajak: penggema sepi yang tak ingin bicara.
Hanya di jalan sepikah sajak mau melintas lalu,
tak, ia hanya ingin kau mendengar bisik dirimu.
Sajak mencipta sunyi atau sunyi merahimkan sajak?
Apa saja, tapi dalam sunyi sajak ada nyaring teriak.
Lalu kenapa tak berdiam saja dan sebut itu sajak?
Diamlah saja. Sajak tak pernah minta disebut sajak
Gurindam Pasal yang Keenam: Cinta Sajak
Penghasut besar bagi lahir sajak ialah cinta,
kau mesti pecahkan dia, dapatkan inti sepinya.
Jangan menulis sajak cinta, ketika kau rasa cinta,
yang kau dapatkan hanya sajak penuh pura-pura.
Hingga cinta cukup berjarak, sajakmu tahan saja,
Meski dalam cinta, sajak datang amat ramahnya.
Cinta membenci ada jarak, cinta memusuhi sepi,
jarak menciptakan cukup sepi, sajak menemu diri.
Tapi kenapakah telah begitu banyak ditulis sajak cinta,
tak lihatkah, mereka lahir dari cemas yang teramat ada.
Tapi kenapakah masih saja ditulis sajak-sajak cinta,
tak apa, asal sajak cintamu tak lahir dari cinta itu saja.
Gurindam Pasal yang Ketujuh: Sajak Siapa
Untuk siapakah sebenarnya sajak kau cipta?
sia-sia jika kau tak menulisnya untuk sajak saja.
Kepada siapa bisa kau berikan sajak-sajakmu?
Sajak perlu dibela, beri ia pada yang tahu.
Ada penyelinap dalam sajak yang seolah sajak,
Ah, malanglah, ia tak akan mampu jauh bertolak.
Adakah sajak yang kau sebut sesungguh sajak?
sajak hidup dalam kau, kau hidup dalam sajak.
Siapakah kau yang terus rindu mencari sajak,
kau yang menemu diri tapi masih merasa tak berjejak.
Awan Bertebaran di Menara Langit
Soneta ke 24 Pablo Neruda
Amor, Amor, di menara langit bertebaran awan
menjulang menang bagai mata air termurnikan
dan semua berpendar biru, semua serupa bintang:
laut, perahu, siang, melebur hilang dan terbuang.
Kemari dan tengok, pada air ranum ceri menjelang
dan mendekat terbang semesta burung layanglayang
Kemari dan sentuhlah, api biru yang segera datang,
Kemari sebelum kelopak-kelopaknya terbuang.
Tak ada yang kurang cahaya, angka dan tandan,
angkasa terbuka didesak oleh kebijakan angin,
hingga dikirimnya rahasia terakhir buih lautan.
Dan di antara segala yang biru surga, di bawah permukaan,
mata kita nyaris kehilangan, tak bisa lagi menduga
kekuatan udara, juga sumur minyak di dasar samudera.
Amor, Amor, di menara langit bertebaran awan
menjulang menang bagai mata air termurnikan
dan semua berpendar biru, semua serupa bintang:
laut, perahu, siang, melebur hilang dan terbuang.
Kemari dan tengok, pada air ranum ceri menjelang
dan mendekat terbang semesta burung layanglayang
Kemari dan sentuhlah, api biru yang segera datang,
Kemari sebelum kelopak-kelopaknya terbuang.
Tak ada yang kurang cahaya, angka dan tandan,
angkasa terbuka didesak oleh kebijakan angin,
hingga dikirimnya rahasia terakhir buih lautan.
Dan di antara segala yang biru surga, di bawah permukaan,
mata kita nyaris kehilangan, tak bisa lagi menduga
kekuatan udara, juga sumur minyak di dasar samudera.
Sunday, December 18, 2005
Fajar Terakhir
Sajak Octavio Paz
Rambutmu tersesat di hutan,
kakimu-kakiku bersentuhan.
Ketika terlelap kau lebih besar dari sang malam,
tapi mimpimu termuat penuh di ruang ini.
Seberapa banyakkah kita siapakah yang begitu kecilnya!
Di luar ada taksi penuh berlalu
penumpangnya hantu-hantu.
Sungai yang mengarus ke muara
                     selalu saja
kembali menuju hulu.
Kelak esok akankah jadi hari yang tak sama?
Rambutmu tersesat di hutan,
kakimu-kakiku bersentuhan.
Ketika terlelap kau lebih besar dari sang malam,
tapi mimpimu termuat penuh di ruang ini.
Seberapa banyakkah kita siapakah yang begitu kecilnya!
Di luar ada taksi penuh berlalu
penumpangnya hantu-hantu.
Sungai yang mengarus ke muara
                     selalu saja
kembali menuju hulu.
Kelak esok akankah jadi hari yang tak sama?
Dua Pencinta Berbahagia Mengalis Roti Bersamaan
Soneta ke-48 Pablo Neruda
Dua pencinta berbahagia mengalis roti bersamaan,
seorang bulan menghujankan cahaya di rerumputan,
Melangkah, menjelang dua bayang bersama melayang
Melangkah, tinggalkan matahari kosong di ranjang.
Semua yang mungkin benar, mereka pilih itu hari;
erat menjerat, dengan aroma wangi bukan tali
mereka tak hancurkan remah; tak pecahkan kata-kata;
bahagia yang mereka rasa adalah menara tembus cahaya.
Udara dan anggur bersekutu dengan para pencinta.
Malam menggirangkan mereka dengan kelopak sukacita.
Mereka berhak punya atas semua mekar anyelir berbunga.
Dua pencinta berbahagia, tanpa akhir, tak pernah mati,
mereka lahir, mereka mati, berkali-kali lalu hidup lagi:
mereka berhak punya atas hidup sejati, hidup abadi.
Dua pencinta berbahagia mengalis roti bersamaan,
seorang bulan menghujankan cahaya di rerumputan,
Melangkah, menjelang dua bayang bersama melayang
Melangkah, tinggalkan matahari kosong di ranjang.
Semua yang mungkin benar, mereka pilih itu hari;
erat menjerat, dengan aroma wangi bukan tali
mereka tak hancurkan remah; tak pecahkan kata-kata;
bahagia yang mereka rasa adalah menara tembus cahaya.
Udara dan anggur bersekutu dengan para pencinta.
Malam menggirangkan mereka dengan kelopak sukacita.
Mereka berhak punya atas semua mekar anyelir berbunga.
Dua pencinta berbahagia, tanpa akhir, tak pernah mati,
mereka lahir, mereka mati, berkali-kali lalu hidup lagi:
mereka berhak punya atas hidup sejati, hidup abadi.
Kamus Empat Kata Berhuruf Awal T
taksis: o, samudera, o samudera. Ombak-ombak tuamu, masih bijak
     menandai musim pelayaranku, walau layar sepenggal tinggal,
     walau peta selipat dapat. Bukankah janji di selasar itu masih
     kubaca seperti mantra? "Tak ada badai bisa membatasi tualang
     kita, para lelaki laut, lelaki kapal, lelaki nakoda."
takma: telah terjalin tali kapal, sekuat badai paling khayal. Kelak,
     dalam pelayaran yang tak pernah kekal, ada saatnya kita
     mengakar jangkar, menambat penat, menabah gelabah. Bukankah
     singgah tak berarti lalai apalagi kalah? " Tak pernah tersisa ada,
     kusut ombak dipuntal amuk badai, di pantai kita segala terjuntai..."
takung: tapi siapa yang dulu mendongengkan dusta. Tapi, dusta itu
     tak pernah sepenuh bisa kita tolakkan saja. "Laut adalah tabah
     tangis langit yang tak dapat tak kecuali terbiar terendap,
     terdiam terdekap, terendam terselinap."
tajalli: o, samudera, o samudera. Badai itu, pintu yang menutup
     ataukah kunci yang menyingkap membuka? Lelah cuma jawab entah.
     Di layar sepenggal tinggal, di peta selipat dapat, kisah tualang kita catat.
     Maka sianglah siang, maka teranglah teranglah,
     maka mataharilah matahari, maka lelakilah lelaki.
     menandai musim pelayaranku, walau layar sepenggal tinggal,
     walau peta selipat dapat. Bukankah janji di selasar itu masih
     kubaca seperti mantra? "Tak ada badai bisa membatasi tualang
     kita, para lelaki laut, lelaki kapal, lelaki nakoda."
takma: telah terjalin tali kapal, sekuat badai paling khayal. Kelak,
     dalam pelayaran yang tak pernah kekal, ada saatnya kita
     mengakar jangkar, menambat penat, menabah gelabah. Bukankah
     singgah tak berarti lalai apalagi kalah? " Tak pernah tersisa ada,
     kusut ombak dipuntal amuk badai, di pantai kita segala terjuntai..."
takung: tapi siapa yang dulu mendongengkan dusta. Tapi, dusta itu
     tak pernah sepenuh bisa kita tolakkan saja. "Laut adalah tabah
     tangis langit yang tak dapat tak kecuali terbiar terendap,
     terdiam terdekap, terendam terselinap."
tajalli: o, samudera, o samudera. Badai itu, pintu yang menutup
     ataukah kunci yang menyingkap membuka? Lelah cuma jawab entah.
     Di layar sepenggal tinggal, di peta selipat dapat, kisah tualang kita catat.
     Maka sianglah siang, maka teranglah teranglah,
     maka mataharilah matahari, maka lelakilah lelaki.
Jalan Memintas
Sajak Octavio Paz
lembaran hari aku sibakkan,
apa yang kusebut aku tuliskan
dengan gerak bulu-bulu matamu.
aku masuki engkau,
gelap yang sesungguhnya.
aku inginkan gelap yang membuktikan,
aku ingin meneguk hitam anggur:
dan renggut mataku lalu hancurkan.
Setetes malam
jatuh di puting dadamu:
misteri bunga anyelir.
Maka kupejamkan mata
lalu kubuka di dalam matamu.
Selalu saja terjaga
di ranjang pualam merah:
lidahmu yang basah bergetah.
Ada air berpancuran
di kebun buluh nadimu.
Dengan topeng darah
kupintasi kosong benakmu:
amnesia menuntunku
ke sisi lain kehidupan.
lembaran hari aku sibakkan,
apa yang kusebut aku tuliskan
dengan gerak bulu-bulu matamu.
aku masuki engkau,
gelap yang sesungguhnya.
aku inginkan gelap yang membuktikan,
aku ingin meneguk hitam anggur:
dan renggut mataku lalu hancurkan.
Setetes malam
jatuh di puting dadamu:
misteri bunga anyelir.
Maka kupejamkan mata
lalu kubuka di dalam matamu.
Selalu saja terjaga
di ranjang pualam merah:
lidahmu yang basah bergetah.
Ada air berpancuran
di kebun buluh nadimu.
Dengan topeng darah
kupintasi kosong benakmu:
amnesia menuntunku
ke sisi lain kehidupan.
Friday, December 16, 2005
Aku Tak Mencintaimu karena Kau Mawar
Soneta Cinta ke-17 Pablo Neruda
Aku tak mencintaimu karena kau mawar, cempaka
atau anyelir berduri yang luncas dari kobar api.
aku mencintaimu seperti cinta yang tersembunyi,
dalam rahasia, ada di antara malam dan jiwa.
aku mencintaimu seperti tanaman tak berbunga
cahaya bunga-bunga disimpan di dalam diri
dan, tersebab anugerah cintamu, bangkit aroma,
dari dalam bumi, hidup, bersebati di tubuh ini.
aku mencintamu, tanpa tahu bagaimana, darimana dan bilamana
aku mencintamu, sesungguh cinta, tanpa syak, tanpa jumawa,
aku mencintamu, hingga selainnya tak ada lagi cara mencinta.
tak ada kecuali ini cinta, juga tak engkau dan aku
alangkah dekat hingga tanganmu di dadaku adalah tanganku
begitu karib, hingga ketika aku tidur, memejam jua matamu.
Aku tak mencintaimu karena kau mawar, cempaka
atau anyelir berduri yang luncas dari kobar api.
aku mencintaimu seperti cinta yang tersembunyi,
dalam rahasia, ada di antara malam dan jiwa.
aku mencintaimu seperti tanaman tak berbunga
cahaya bunga-bunga disimpan di dalam diri
dan, tersebab anugerah cintamu, bangkit aroma,
dari dalam bumi, hidup, bersebati di tubuh ini.
aku mencintamu, tanpa tahu bagaimana, darimana dan bilamana
aku mencintamu, sesungguh cinta, tanpa syak, tanpa jumawa,
aku mencintamu, hingga selainnya tak ada lagi cara mencinta.
tak ada kecuali ini cinta, juga tak engkau dan aku
alangkah dekat hingga tanganmu di dadaku adalah tanganku
begitu karib, hingga ketika aku tidur, memejam jua matamu.
Di Bebatu Takbisu, Datang Ombak Berhempasan
Soneta Cinta ke-9 Pablo Neruda
Di bebatu takbisu, datang ombak berhempasan
Sinar terang pecah lalu menjelma mekar mawar
dan cincin riak air menyimpul jadi sebuah tandan
hingga jatuh setetes air garam, biru berpendar
O di apung buih pecah pendar cahaya magnolia
pelayar medan magnet bunga-bunga mati
dan kembali, abadi, pada yang ada dan tiada:
kristal garam pecah, menyambar silau samudera.
Meleburlah, kau dan aku, kasih, mengunci sunyi
ketika laut terus saja merusakkan wujudnya,
runtuhlah menara keliarannya, menara putihnya
karena dalam kibas helai kain yang takkasat ini
air yang gegebah, pasir yang takkenal batas,
kami terakan jejak, yang keras hati, halus budi.
Di bebatu takbisu, datang ombak berhempasan
Sinar terang pecah lalu menjelma mekar mawar
dan cincin riak air menyimpul jadi sebuah tandan
hingga jatuh setetes air garam, biru berpendar
O di apung buih pecah pendar cahaya magnolia
pelayar medan magnet bunga-bunga mati
dan kembali, abadi, pada yang ada dan tiada:
kristal garam pecah, menyambar silau samudera.
Meleburlah, kau dan aku, kasih, mengunci sunyi
ketika laut terus saja merusakkan wujudnya,
runtuhlah menara keliarannya, menara putihnya
karena dalam kibas helai kain yang takkasat ini
air yang gegebah, pasir yang takkenal batas,
kami terakan jejak, yang keras hati, halus budi.
Tuesday, December 13, 2005
[KOLOM] Bangkai Anjing di Seberang Palm Spring
MASALAHNYA memang hanya seekor anjing. Tepatnya, cuma bangkai seekor anjing. Saya melihatnya lima hari lalu di badan jalan raya tepat di depan pertokoan Palm Spring, Batam Centre. Pagi itu, bangkainya masih segar. Punggungnya terkelupas sempurna. Tapi sepintas saya lihat dagingnya masih utuh. Tentu saja merah, berdarah. Sebagian darah itu ada yang tercecer di jalan. Saya perkirakan mungkin tak sampai sejam sebelumnya ada roda mobil yang menggilasnya. Kecelakaan biasa. Korbannya pun hanya seekor anjing.
Hari-hari berikutnya, setiap kali saya memacu motor menuju kantor di Graha Pena, Batam Centre bangkai anjing itu masih di sana. Saya tak sengaja merekamnya sebagai potongan-potongan gambar komik di benak. Tiap panel yang berubah adalah warna merah yang perlahan berganti ke coklat lalu hitam.
Saya tidak tahu apakah sudah ada bau busuk yang tercium. Kalau pun ada pasti tidak ada yang peduli, karena jalan itu dilalui oleh kendaraan yang dikebut tinggi. Itu bukan jalan untuk pejalan kaki. Pasti juga bukan tempat khusus untuk penyeberangan anjing.
Hingga tadi malam saya lihat bangkai anjing itu masih ada di sana. Tidak tepat di tempat semula. Bangkai anjing itu sudah disisihkan ke luar badan jalan. Paling hanya berjarak dua meter dari tempatnya tergilas. Saya tidak tahu apakah sudah mulai ada belatung di bangkai anjing itu. Mestinya ada, paling tidak telurnya sudah ada sebelum menetas jadi larva. Ini proses alamiah bukan? Bakteri pengurai pasti sudah bekerja menyempurnakan siklus kehidupan.
Tapi masalahnya memang hanya seekor anjing. Tepatnya bangkai seekor anjing. Saya, dalam lima hari ini ini, memendam serampaian pertanyaan sendiri: Tidak adakah pejabat Dinas Pasar dan Kebersihan kota ini yang melihat bangkai anjing itu? Lalu ia memerintahkan petugas untuk membuangnya ke tempat yang semestinya? Tidakkah si penabrak risau melihat anjing yang ditabraknya itu masih di sana? Pasti ia lewat di jalan itu lagi, dan pasti ia melihat bangkai anjing itu.
Masalahnya memang hanya seekor anjing. Seandainya ada seribu ekor bangkai anjing yang bertebaran di sepanjang jalan-jalan utama di kota ini, dan setelah lima hari belum juga dibersihkan, maka saya tentu boleh curiga ada yang sangat tidak beres pada instansi bernama Dinas Pasar dan Kebersihan Kota Batam.
Ya, masalahnya memang hanya seekor bangkai anjing. Seandainya bangkai anjing itu adalah manusia, pasti saya tidak harus menulis gerundelan ini.***
Hari-hari berikutnya, setiap kali saya memacu motor menuju kantor di Graha Pena, Batam Centre bangkai anjing itu masih di sana. Saya tak sengaja merekamnya sebagai potongan-potongan gambar komik di benak. Tiap panel yang berubah adalah warna merah yang perlahan berganti ke coklat lalu hitam.
Saya tidak tahu apakah sudah ada bau busuk yang tercium. Kalau pun ada pasti tidak ada yang peduli, karena jalan itu dilalui oleh kendaraan yang dikebut tinggi. Itu bukan jalan untuk pejalan kaki. Pasti juga bukan tempat khusus untuk penyeberangan anjing.
Hingga tadi malam saya lihat bangkai anjing itu masih ada di sana. Tidak tepat di tempat semula. Bangkai anjing itu sudah disisihkan ke luar badan jalan. Paling hanya berjarak dua meter dari tempatnya tergilas. Saya tidak tahu apakah sudah mulai ada belatung di bangkai anjing itu. Mestinya ada, paling tidak telurnya sudah ada sebelum menetas jadi larva. Ini proses alamiah bukan? Bakteri pengurai pasti sudah bekerja menyempurnakan siklus kehidupan.
Tapi masalahnya memang hanya seekor anjing. Tepatnya bangkai seekor anjing. Saya, dalam lima hari ini ini, memendam serampaian pertanyaan sendiri: Tidak adakah pejabat Dinas Pasar dan Kebersihan kota ini yang melihat bangkai anjing itu? Lalu ia memerintahkan petugas untuk membuangnya ke tempat yang semestinya? Tidakkah si penabrak risau melihat anjing yang ditabraknya itu masih di sana? Pasti ia lewat di jalan itu lagi, dan pasti ia melihat bangkai anjing itu.
Masalahnya memang hanya seekor anjing. Seandainya ada seribu ekor bangkai anjing yang bertebaran di sepanjang jalan-jalan utama di kota ini, dan setelah lima hari belum juga dibersihkan, maka saya tentu boleh curiga ada yang sangat tidak beres pada instansi bernama Dinas Pasar dan Kebersihan Kota Batam.
Ya, masalahnya memang hanya seekor bangkai anjing. Seandainya bangkai anjing itu adalah manusia, pasti saya tidak harus menulis gerundelan ini.***
Sunday, December 11, 2005
Kota Hantu
siapa semalam yang menebar kata kutuk?
pagi ini kota dikepung cuaca buruk
bukan pelancong, kita cuma lelaki tua
terbungkuk, dengan batuk mendandai usia
pagi ini kota dikepung cuaca buruk
bukan pelancong, kita cuma lelaki tua
terbungkuk, dengan batuk mendandai usia
Wednesday, December 7, 2005
Antara Agama dan Puisi
ANTARA apa yang disebut agama "ini adalah" dan apa yang dalam puisi disebut "tapi mungkin ini adalah", mesti selalu ada semacam ketegangan, hingga kemungkinan dan kenyataan bertemu pada ketakterhinggaan.
* Northrop Frye (b. 1912), kritikus sastra Kanada. “Anagogic Phase: Symbol as Monad,” Anatomy of Criticism (1957).
* Northrop Frye (b. 1912), kritikus sastra Kanada. “Anagogic Phase: Symbol as Monad,” Anatomy of Criticism (1957).
MAHKOTA sastra adalah puisi. Puisi adalah akhir dan tujuan. Puisi adalah aktivitas paling sublim pikiran manusia. Puisi adalah pencapaian keindahan dan kesedapan. Pengarang prosa hanya bisa menepi ketika penyair melintas.
W. Somerset Maugham (1874–1966), Pengarang Inggris. Saturday Review (New York, July 20, 1957).
W. Somerset Maugham (1874–1966), Pengarang Inggris. Saturday Review (New York, July 20, 1957).
Tuesday, December 6, 2005
Fosil Puisi
Bahasa adalah fosil puisi.
Ralph Waldo Emerson (1803–1882), esais, penyair, filosof Amerika. dalam “The Poet,” Essays, Second Series (1844).
Ralph Waldo Emerson (1803–1882), esais, penyair, filosof Amerika. dalam “The Poet,” Essays, Second Series (1844).
Subscribe to:
Posts (Atom)