MASALAHNYA memang kesiapanmu. Ketika puisi datang seperti wahyu. Bahkan nabi pun pernah dirudung ragu. Puisi akan selalu datang padamu. Mula-mula ia datang hanya untukmu. Eh, dia bahkan selalu ada di sekitarmu. Ketika kau siaga menerima ia akan hinggap begitu saja. Seperti debu. Padahal mungkin saja itu biji pohon besar yang melayang dibawa angin jauh. Mungkin yang harus kau lakukan adalah, kau tak perlu buru-buru menyeka debu itu.
MULA-MULA ia datang hanya untukmu. Dia tidak memaksamu. Kerap kali, kaulah yang memaksa dirimu sendiri untuk bertemu dengannya. Dengan paksaan itu mungkin saja akhirnya kau memang bertemu. Mungkin saja kau yakin bahwa memang dia puisilah yang telah kau temui. Tapi bisa jadi itu sebuah pertemuan palsu. Apalagi kau suka menyombongkan pertemuan-pertemuanmu dengannya kepada orang lain. Kau suka memamer-mamerkan dia yang menampakkan diri di depanmu, seolah dia itu milikmu. .
JADI sebenarnya, apa perlunya berjanji apalagi sampai memaksa ketemu? Saranku, yang penting adalah siapkan dirimu. Tak perlu terlalu tegang menanti pertemuan itu. Santai saja. Ada memang penyair yang menjadi pemburu yang punya banyak peluru, pendaki yang tak gentar walau harus mendaki jauh ke puncak pencarian, ahli bedah yang teliti membongkar hingga ke sel-sel pertanyaan. Saya cuma seorang penunggu. Mungkin dengan secangkir kopi dan sebuah sore yang permai.***