Sajak Anwar JIMPE Rahman
PEREMPUAN DALAM HUJAN
- kepada Aslan Abidin
pukul delapan pagi yang hujan, dua perempuan
dari sajak-sajakmu cekikikan di bawah payung hitam
terbungkus daster tembus pandang
lalu hilang dalam hujan.
kubayangkan engkau tertawa terbatuk hingga terbungkuk
hilang di balik pintu kamar mandi. onani, barangkali.
tapi tidakkah engkau tahu, onani seperti sajak, tidaklah
menggemukkan?
perempuan dari sajakmu sudah kembali, menenteng
sekantong penganan untuk sarapan. sesampai di kamar
kontrakan, kantong plastik dicampak ke tong buangan.
kita yang dikutuk menjadi kecoak, menghambur saling tindih
demi ampas dan kerat yang kelak dirawat jadi sajak
engkau kecoak nanar yang mabuk sudut-sudut kamarku
sedang aku kecoak yang pening, mabuk apek dan pesing
bandar dan terminalmu
setelah berebut dan saling tindih
aku kembali ke sudut kamarku
engkau ke bandar dan terminalmu
sambil merawat sakit atau memelihara genit
karena hujan segera turun lagi.
[01.2005]
SAYA serta merta teringat motto sebuah majalah ketika membaca sajak ini. Apalagi ketika saya hendak membuat coret-coret lepas untuk puisi ini. Ya, saya kira ini sajak lahir karena ada kejujuran, imajinya jelas, diksinya jernih dan - sebagai bonus - ada kejenakaan dalam sajak ini. Karena itu saya suka.
JUJUR. Puisi yang baik, selalu saya lihat, lahir dari kejujuran penyairnya. Kejujuran untuk membuka sesuatu yang kalau tidak dipuisikan, sesuatu itu akan tetap terahasiakan dalam kenangan, hingga kelak direbut oleh lupa. Kejujuran dan kerendahan hati pula yang diperlukan untuk mengolah bahan di seputar kamar kontrakan, kecoak, apek, dan bau pesing. Kejujuran pula yang diperlukan untuk secara enteng menyamakan onani dan sajak.
JELAS. Sajak di atas tak memumetkan saya pada tahap pertama pembacaan saya. Saya gambar-gambar yang ditampilkan begitu jelas. Saya merasa ikut kedinginan karena hujan yang menjadi pengikat seluruh gambar dalam sajak ini dari awal hingga akhir. Hujan seperti menjadi bingkai. Dan saya jadi nyaman menonton gambar-gambar lain di dalam bingkai itu. Berulang-ulang.
JERNIH. Kejelasan imaji di atas, terbentuk karena kata-kata yang dipilih secara jernih. Tidak tumpang tindih. Tidak saling mengaburkan. Tidak saling berebut tempat. Saya keasyikan mengikuti aliran imajinasi dari kata-kata benda: Dua perempuan, payung hitam, daster tembus pandang, pintu kamar mandi, kamar kontrakan,sekantong penganan, ampas den kerat, kecoak, bandar dan terminal.
JENAKA. Saya sudah tersenyum sejak bertemu kejenakaan dalam "dua perempuan yang cekikian", dan terutama pada "onani dan sajak yang tidak menggemukkan", lalu "kita yang dikutuk jadi kecoak", dan terakhir senyum saya makin lebar pada "sambil merawat sakit atau memelihara genit".
JADI sajak ini sebenarnya bicara tentang apa? Dia bicara tentang banyak hal. Dia bisa disimpulkan bicara tentang apa saja. Mungkin tentang sebuah negeri dengan sistem yang tidak pernah adil. Mungkin tentang hubungan lelaki dan perempuan yang tak pernah bisa sepenuhnay dimengerti. Mungkin tentang kerasnya jalan hidup seorang lelaki. Mungkin tentang persahabatan yang hendak dijaga meskipun simpangan-simpangan yang dipilih justru menjauhkan jarak persahabatan.
JUGA, sebagaimana berita yang baik, dia harus memberi informasi dan pengalaman. Informasi dalam sajak, bukan seperti informasi dalam berita. Pengalamannya mungkin bisa sama. Dari sajak ini saya dapat keduanya. Informasi dan terutama pengalaman.
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Saturday, January 29, 2005
[Kata Pujangga] Mencari, Menguji Puisi
PUISI itu penting. Tak lebih sepele dari ilmu pengetahuan, puisi juga mencari pautan ke atas realitas, dan keberhasilan puisi diuji dengan seberapa dekat jarak pencarian itu ke penemuan.
* Babette Deutsch (1895–1982), penyair Amerika. Dalam This Modern Poetry, Foreword (1935).
* Babette Deutsch (1895–1982), penyair Amerika. Dalam This Modern Poetry, Foreword (1935).
Thursday, January 27, 2005
Dia yang Betah Menatap Kalender Baru
lihat, dia kini sangat betah berdiri di tembok
depan stasiun kereta, dimana sebuah kalender
terpajang sudah. Sebuah kalender baru yang
seluruh nama harinya adalah tanda tanya, dan
seluruh tanggalnya hanya nol atau titik saja,
"Aku jadi tahu kini, kapan harus memulai dan
mengakhiri segalanya," katanya. Tahun dan
bulan sudah lama tak lagi ia perhitungkan.
Seorang pembaca di Brunei mengirim email ini:
Hasan, makasih buat renungannya (saya ndak katakan ini puisi atau apapun namanya). Sungguh bagi saya ini hal yang menyentuh hati dan membuka jiwa. Boleh kirim lebih sering ya. Juga yang Hasan kirim sebelumnya menyentuh hati. Insya Allah kita dapat dipahamkan dgn apa yang tertulis.
Salam dari Brunei,
HAN-17
depan stasiun kereta, dimana sebuah kalender
terpajang sudah. Sebuah kalender baru yang
seluruh nama harinya adalah tanda tanya, dan
seluruh tanggalnya hanya nol atau titik saja,
"Aku jadi tahu kini, kapan harus memulai dan
mengakhiri segalanya," katanya. Tahun dan
bulan sudah lama tak lagi ia perhitungkan.
Seorang pembaca di Brunei mengirim email ini:
Hasan, makasih buat renungannya (saya ndak katakan ini puisi atau apapun namanya). Sungguh bagi saya ini hal yang menyentuh hati dan membuka jiwa. Boleh kirim lebih sering ya. Juga yang Hasan kirim sebelumnya menyentuh hati. Insya Allah kita dapat dipahamkan dgn apa yang tertulis.
Salam dari Brunei,
HAN-17
[Kata Pujangga] Bahasa Universal
PUISI adalah bahasa universal dimana hati kukuh berpegang dengan alam dan teguh pada dirinya sendiri. Siapa yang melecehkan puisi, maka ia tidak bisa menaruh simpati pada dirinya sendiri, juga pada segala hal lainnya.
* William Hazlitt (1778–1830), essais Inggris, dalam “On Poetry in General,” (1818).
* William Hazlitt (1778–1830), essais Inggris, dalam “On Poetry in General,” (1818).
[Ruang Renung # 104] Undangan Menulis Puisi
HARI-HARI ini, mungkin kau banyak menerima undangan menyertakan puisimu dalam buku yang katanya bakal segera terbit. Si pengundang melihat, ada momen untuk membuat tema besar. Puisi harus turun haluan. Undangan itu menggodamu untuk memenuhinya, bukan?
TAPI pertimbangkanlah lagi. Tema besar memang menggoda untuk dipuisikan. Tentu tak ada salahnya untuk menggubah itu jadi puisi. Menulislah, seperti kau menulis puisi dengan tema apa saja. Kecil atau besar. Karena, sebenarnya tak ada pentarafan itu, bukan? Kecil besar tak ada bedanya, karena yang penting adalah seberapa kuat sebuah peristiwa mendorongmu, menggerakkanmu, menggodamu, merangsangmu, menggelorakanmu, menuntutmu untuk memuisikannya.
MENULIS puisi juga bukan sekadar melayani kejadian atau mendokumentasikan peristiwa, bukan? Juga bukan sekadar agar namamu masuk dalam deretan penyair yang kelak tampil dalam buku-buku puisi yang tengah disusun oleh panitia yang sudah mengundangmu.
SATU dua puisi saya, saya kirimkan juga setelah undangan tersebut. Soalnya saya menuliskankannya sebelum undangan itu datang. Saya tak punya lagi puisi untuk undangan yang datang kemudian. Saya tidak merasa bersalah tak melayani undangan itu.
SAYA tak ingin merasa berdosa dengan puisi.[]
TAPI pertimbangkanlah lagi. Tema besar memang menggoda untuk dipuisikan. Tentu tak ada salahnya untuk menggubah itu jadi puisi. Menulislah, seperti kau menulis puisi dengan tema apa saja. Kecil atau besar. Karena, sebenarnya tak ada pentarafan itu, bukan? Kecil besar tak ada bedanya, karena yang penting adalah seberapa kuat sebuah peristiwa mendorongmu, menggerakkanmu, menggodamu, merangsangmu, menggelorakanmu, menuntutmu untuk memuisikannya.
MENULIS puisi juga bukan sekadar melayani kejadian atau mendokumentasikan peristiwa, bukan? Juga bukan sekadar agar namamu masuk dalam deretan penyair yang kelak tampil dalam buku-buku puisi yang tengah disusun oleh panitia yang sudah mengundangmu.
SATU dua puisi saya, saya kirimkan juga setelah undangan tersebut. Soalnya saya menuliskankannya sebelum undangan itu datang. Saya tak punya lagi puisi untuk undangan yang datang kemudian. Saya tidak merasa bersalah tak melayani undangan itu.
SAYA tak ingin merasa berdosa dengan puisi.[]
Bisakah Kita Tidak Jadi Siapa-siapa Saja?
Seketika terjaga, aku masih berada di ruang keberangkatan ini,
pesawat terakhir sudah berangkat. "Anda tertidur lama," kata
tiket di balik jaket. Aku tidak bertanya, hanya ingin tahu
sekarang jam berapa. Di dinding tak ada jam, dan tangan
orang-orang tak pernah diam, mengimbangi langkah kaki
yang senantiasa buru-buru. Senantiasa. Aku tidak bertanya
pada mereka. Aku benci ditanya, pertanyaan itu saja, "Anda ini
siapa?" Aku justru ingin pergi jauh dari pertanyaan itu. Ke tempat
yang baru saja kukunjungi dalam mimpi. Sampai akhirnya
tiba-tiba terjaga. Dan aku masih di ruang keberangkatan ini.
Seorang mengirim email berikut setelah membaca sajak di atas:
San,
kau pasti dengar,
tentang orang yang mengejar bayangan diri sendiri,
***
puisi dan penanya akan hal puisi
maupun
puisi dan pencipta puisi itu sendiri
adalah orang dan bayangannya sendiri itu
***
tentang tidak jadi siapa-siapa
maupun apa-apa
juga sama
***
tentunya cuma hantu yang tidak mempunyai bayangan diri
terkadang justru hantu itu adalah bayangan kita sendiri koq
Ben Abel, AS
pesawat terakhir sudah berangkat. "Anda tertidur lama," kata
tiket di balik jaket. Aku tidak bertanya, hanya ingin tahu
sekarang jam berapa. Di dinding tak ada jam, dan tangan
orang-orang tak pernah diam, mengimbangi langkah kaki
yang senantiasa buru-buru. Senantiasa. Aku tidak bertanya
pada mereka. Aku benci ditanya, pertanyaan itu saja, "Anda ini
siapa?" Aku justru ingin pergi jauh dari pertanyaan itu. Ke tempat
yang baru saja kukunjungi dalam mimpi. Sampai akhirnya
tiba-tiba terjaga. Dan aku masih di ruang keberangkatan ini.
Seorang mengirim email berikut setelah membaca sajak di atas:
San,
kau pasti dengar,
tentang orang yang mengejar bayangan diri sendiri,
***
puisi dan penanya akan hal puisi
maupun
puisi dan pencipta puisi itu sendiri
adalah orang dan bayangannya sendiri itu
***
tentang tidak jadi siapa-siapa
maupun apa-apa
juga sama
***
tentunya cuma hantu yang tidak mempunyai bayangan diri
terkadang justru hantu itu adalah bayangan kita sendiri koq
Ben Abel, AS
[Kata Pujangga] Puisi = Jalan Kehidupan
PUISI bukan sebuah profesi, dia adalah jalan kehidupan. Dia adalah keranjang kosong; Anda menaroh hidup Anda di keranjang itu dan membuat sesuatu menjelma dari sana.
* Mary Oliver (lahir 1935), penyair Amerika, Georgia Review, halaman. 733 (Musim Dingin, 1981).
* Mary Oliver (lahir 1935), penyair Amerika, Georgia Review, halaman. 733 (Musim Dingin, 1981).
[Kata Pujangga] Puisi = Lelucon
MENGGUBAH puisi seperti menyusun sebuah lelucon. Kalau ada satu kata saja yang salah di akhir lelucon Anda, maka Anda kehilangan segalanya.
* W.S. Merwin (Lahir 1928), penyair Amerika. Dalam awancara “A Poet of Their Own,” dalam The Majalah New York Times, 19 Februari, 1995).
* W.S. Merwin (Lahir 1928), penyair Amerika. Dalam awancara “A Poet of Their Own,” dalam The Majalah New York Times, 19 Februari, 1995).
Tuesday, January 25, 2005
Makanan Cahaya dari Surga
Syair Jalaluddin Rumi
Santapan hakiki manusia adalah cahaya Tuhan;
bahan makanan sesungguhnya tak tercipta baginya;
kecuali dari penyakit saja,
fikirnya telah jatuh ke angan-angan
siang dan malam hanya ini yang mesti ia santap.
Maka ia pun pucat, lunglai dan sekarat:
dimana gerangan makanan yang "disajikan surga
dengan jejak bintang ada padanya?"
Itulah santapan yang sudah dipilihkan,
yang disantap tanpa garpu, tanpa tenggorokan.
* Dari Mathnawi II: 1083-1086
Judul dari penerjemah.
Gambar dari SIGGIEPLUS
Santapan hakiki manusia adalah cahaya Tuhan;
bahan makanan sesungguhnya tak tercipta baginya;
kecuali dari penyakit saja,
fikirnya telah jatuh ke angan-angan
siang dan malam hanya ini yang mesti ia santap.
Maka ia pun pucat, lunglai dan sekarat:
dimana gerangan makanan yang "disajikan surga
dengan jejak bintang ada padanya?"
Itulah santapan yang sudah dipilihkan,
yang disantap tanpa garpu, tanpa tenggorokan.
* Dari Mathnawi II: 1083-1086
Judul dari penerjemah.
Gambar dari SIGGIEPLUS
Monday, January 24, 2005
[Ruang Renung # 103] Puisi: Foto, Sketsa, Kolase
PUISI saya kira bukan sekedar selembar foto close-up dari sebuah peristiwa. Penyair bukan fotografer yang hanya tertarik pada detil sebuah gambar. Puisi adalah selembar gambar yang mungkin kabur, tidak fokus, melenceng tetapi semua catat fotografis itu dalam sebuah puisi bermakna dan punya alasan untuk menjadi seperti itu.
Puisi mungkin lebih tepat diibaratkan coretan lekas yang tetapi secara pas mewakili seluruh peristiwa. Keterwakilan itu penting dan menentukan harkat puisi tersebut. Dia tidak menjelaskan peristiwa itu. Dia tidak mendikte pembaca untuk sekadar "tahu" peristiwa itu atau mengajukan pemaknaan yang tunggal atas peristitwa itu, tetapi membebaskan pembaca untuk memberi makna sendiri berdasarkan sedikit coretan tadi.
Puisi mungkin lebih tepat diibaratkan sebagai kolase: tempelan dari banyak potongan gambar yang menyusun sebuah penafsiran lain dari gambar-gambar yang besar yang dibawa oleh potongan kecil yang ditempel-tempelkan tadi. Ujian bagi penyair adalah seberapa banyak gambar yang bisa ia kumpulkan, dan seberapa pandai dia memilih bagian mana yang akan ia robek untuk digabungkan dengan potongan gambar lain. Atau bahkan merasa cukup dengan sebuah robekan saja.[]
Puisi mungkin lebih tepat diibaratkan coretan lekas yang tetapi secara pas mewakili seluruh peristiwa. Keterwakilan itu penting dan menentukan harkat puisi tersebut. Dia tidak menjelaskan peristiwa itu. Dia tidak mendikte pembaca untuk sekadar "tahu" peristiwa itu atau mengajukan pemaknaan yang tunggal atas peristitwa itu, tetapi membebaskan pembaca untuk memberi makna sendiri berdasarkan sedikit coretan tadi.
Puisi mungkin lebih tepat diibaratkan sebagai kolase: tempelan dari banyak potongan gambar yang menyusun sebuah penafsiran lain dari gambar-gambar yang besar yang dibawa oleh potongan kecil yang ditempel-tempelkan tadi. Ujian bagi penyair adalah seberapa banyak gambar yang bisa ia kumpulkan, dan seberapa pandai dia memilih bagian mana yang akan ia robek untuk digabungkan dengan potongan gambar lain. Atau bahkan merasa cukup dengan sebuah robekan saja.[]
Lelaki yang Menggambar Peta di Dadanya
Dia tak pernah bertanya pada hari esok, "harus pergi kemana?",
karena dia telah menggambar peta dunia di dadanya.
Dia tak pernah mengenang semalam telah sampai di mana,
karena dia lekas menghapus semua sisa jejak di punggungnya.
Tapi tahukah dia siapa namanya dalam hikayat yang ia reka?
"Aku tak tahu. Kalian juga. Bukankah kita kekal dalam tanya?"
karena dia telah menggambar peta dunia di dadanya.
Dia tak pernah mengenang semalam telah sampai di mana,
karena dia lekas menghapus semua sisa jejak di punggungnya.
Tapi tahukah dia siapa namanya dalam hikayat yang ia reka?
"Aku tak tahu. Kalian juga. Bukankah kita kekal dalam tanya?"
Sunday, January 23, 2005
Puisi Memberi Jalan
APA yang saya pikir bisa dilakukan puisi adalah memberi jalan kepada orang banyak agar bisa melihat dunia dengan cara yang benar-benar segar. Saya berupaya dalam puisi-puisi saya, mengambil tema apa saja yang biasa lalu melihatnya dalam cahaya baru.
* Ted Kooser, Penyair Amerika.
* Ted Kooser, Penyair Amerika.
Tuesday, January 18, 2005
[Kata Penyair] Terombang Ambing Dua Dunia
DUA buah dunia di mana saya pernah tinggal, sama-sama menjemukan. Tapi masing-masing akan tetap mempunyai gairah, mempunyai daya penarik agar sekali waktu datang kembali padanya - apabila sudah jemu dengan yang satu. Terombang ambing antara dua dunia inilah, puisi akan lahir. Lantaran puisi lahir sebagai penetapan akan rangsang kerinduan penyair. Lantaran puisi lahir sebagai penetapan dari pada ketidaktetapan penyair.
* Ajib Rosidi, dalam pengantar Kumpulan Puisi Cari Muatan, Balai Pustaka, 1958.
* Ajib Rosidi, dalam pengantar Kumpulan Puisi Cari Muatan, Balai Pustaka, 1958.
[Kata Penyair] Dikecewakan Bayangan
ADALAH sikap yang khas penyair, bahwa meksi ia dikecewakan bayangannya, tidak mengutuk tapi menerima, sumerah. Kalaupun ia mengutuk, kutukannya bukan lantaran benci, namun lantaran cinta. Cintanya tak terbatas pada hal-hal yang memuaskan hatinya saja, tak terbatas pada apa-apa yang memenuhi harapannya saja, tapi cinta akan menjamah dunia yang bahkan tidak dia inginkan, dunia yang tidak dia harapkan. Kalaupun lahir kutukan, kutukannya mesra serta ikhlas.
* Ajib Rosidi, dalam pengatar, Kumpulan Puisi Cari Muatan, Balai Pustaka, 1958.
* Ajib Rosidi, dalam pengatar, Kumpulan Puisi Cari Muatan, Balai Pustaka, 1958.
Sunday, January 2, 2005
Hujan Tiba-tiba Sangat Lebat
Langit terang. Penuh malaikat.
Hanya mengambang,
seakan ada yang menahan kuat-kuat.
Cahaya yang kian cemerlang.
Bumi hanya hening. Ada yang
kembali. Setelah gelombang,
lumpur laut, pasang besar sekelebat,
lalu segera surut. Riuh malaikat.
Aku tak sanggup melihat, yang kian
kelam, mata benderang yang semula berkilat.
Tetapi, setipis apa pun tak ada mendung, lalu hujan
tiba-tiba saja turun. Sangat lebat.
Hanya mengambang,
seakan ada yang menahan kuat-kuat.
Cahaya yang kian cemerlang.
Bumi hanya hening. Ada yang
kembali. Setelah gelombang,
lumpur laut, pasang besar sekelebat,
lalu segera surut. Riuh malaikat.
Aku tak sanggup melihat, yang kian
kelam, mata benderang yang semula berkilat.
Tetapi, setipis apa pun tak ada mendung, lalu hujan
tiba-tiba saja turun. Sangat lebat.
Subscribe to:
Posts (Atom)