dari sajak To Sit Down/Pablo Neruda
Semua telah duduk
duduk di meja
duduk di singgasana
duduk di rapat-rapat pertemuan
duduk di kereta penumpang
duduk di kapel
di pesawat, di sekolah, di stadion
semua telah duduk atau bersiap hendak duduk
tapi tak ada yang mengenang
kursi-kursi
yang telah kubuat dengan tanganku.
Apa yang telah terjadi? Kenapa, ketika takdirku
membuat ku duduk, di antara hal ihwal lainnya,
kenapa mereka tak membiarkanku
merekatkan empat kaki
dari pohon mati
menjadi sebuah tempat duduk yang memangku
tetanggaku
kenapa harus menunggu di sana? menunggu kelahiran
dan kematian orang terkasihnya?
(Kursi yang tidak bisa kubuat, yang tak pernah kubuat
mengubah bentuk, mengubah gaya
setiap kayu yang semula sejati
menjadi benda yang dingin, datar, bersih
tak terlindung bayang, seremoni pohon-pohon)
Lingkaran gergaji
seperti planet
menjelang turun, ketika malam
ke bumi
lalu bergulung menerabas hutan-hutan
di negeriku ini
melintas saja tanpa sempat melihat menembus lubang cacingku
yang hilang dalam pekik sendiri
dan demikianlah, aku melangkah
dalam aroma sakral
hutan belantara
tanpa melakukan apa-apa
melawan tajuk-tajuk pohon
mesti ada sebatang kapak di tangan
meski ada ilmu yang membuat keputusan
meski aku tahu bagaimana menebang belukar
dan merakit kursi
imobilitas
dan terus mengulanginya lagi
sampai setiap orang di dunia
duduk, mendapat jatah kursi.